Warga desa Serang, Karangreja Purbalingga punya tradisi unik dalam menjaga keseimbangan alam yang jadi tempat tinggal mereka.
Syamsuri, sesepuh desa tak dapat membayangkan kengerian yang terjadi jika sumber mata air Sikopyah mati.
Mata air itu telah menghidupi sejumlah desa di lereng gunung Slamet, terutama wilayah Kecamatan Karangreja Kabupaten Purbalingga.
Dari sumber itu, air dialirkan untuk kebutuhan rumah tangga hingga mengaliri tanaman agar tumbuh menghasilkan.
Saat cuaca kering dan masyarakat di tempat lain menjerit kehausan, sumber mata air Sikopyah tetap menyemburkan air tanpa henti.
Karena perannya yang vital, penduduk sejak era nenek moyang berusaha merawat mata air itu dengan beragam cara.
Selain dirawat secara lahir, mata air itu diruwat dengan cara gaib.
"Setiap malam satu Suro, kami mujahadah dan salawatan, berharap agar yang Maha Kuasa menjaga mata air itu agar tetap mengalir dan bermanfaat bagi warga," katanya.
Warga juga masih melestarikan ritual yang dipraktikkan nenek moyang terdahulu dalam meruwat mata air.
Mereka mengunjungi mata air sambil membawa sesajen saat menjelang Syuro dan malafalkan doa di depan mata air.
Seiring dengan perkembangan masyarakat yang lebih relijius, kini mereka memaknai sesaji sebatas wewangian, bukan persembahan untuk makhluk halus.
Mantra yang mereka baca adalah doa berisi puja puji kepada Allah dan Salawatan bukan yang lain.
Mata air Sikopyah menjadi lebih keramat lantaran dihubungkan dengan legenda Kyai Mustafa, tokoh ulama yang dianggap berperan menyebarkan Islam di kaki gunung Slamet.
Syamsuri mengungkapkan, dahulu kala, Kyai Mustafa sempat bertapa di dekat sumber mata air itu.
Suatu waktu, Mustafa berwudu dengan sumber mata air yang mengalir di dekatnya.
Ia melepas kopyah yang dipakai agar bisa mengusap rambut kepala yang menjadi rukun wudu.
Selesai wudu, Mustafa ternyata lupa mengambil kopyah yang ia taruh saat berwudu.
Setelah ingat sesaat kemudian, ia kembali ke sumber mata air untuk mengambil kopyah miliknya yang tertinggal. Sayang, kopyah yang ia tinggalkan telah raib entah kemana.
"Karena itulah mata air itu dinamakan mata air Sikopyah, karena cerita kopyah Kyai Mustafa yang hilang di situ," katanya.
Kekeramatan mata air Sikopyah nyatanya berdampak positif bagi kelestarian sumber tersebut.
Karena cerita wingitnya, mata air itu aman dari gangguan tangan jahil manusia yang serakah dalam mengeksploitasi alam.
Warga juga menyadari pentingnya merawat keseimbangan alam demi keberlangsungan hidup mereka.
Sumber mata air tetap terjaga hingga sekarang dan mampu menghidupi masyarakat yang tinggal di sekitarnya.
Warga menanami sekitar sumber dengan bermacam tanaman keras yang bisa mengikat air agar cadangan air tanah terjaga.
"Karena mata air itu vital, kami menjaganya dengan tanami pepohonan,"katanya
Kemarin, Kamis (21/9), seribuan warga menggelar ritual pengambilan air dari sumber Sikopyah dengan wadah bambu atau lodong.
Setelah didoakan bersama, air itu diarak menuju balai desa Serang untuk disemayamkan. Minggu (23/9) mendatang, air yang dipercaya mengandung berkah itu akan dibagikan ke warga.
Sumber: http://jateng.tribunnews.com/2017/09/22/legenda-mata-air-sikopyah-di-kaki-gunung-slamet?page=all
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja