Di beberapa desa di Kabupaten Kendal, Provinsi Jawa Tengah, terdapat sebuah desa yang unik, berbeda dengan desa yang lain. Masyarakat sekitar menyebut desa itu dengan sebutan Desa Orang Kalang. Mitos yang beredar mereka adalah keturunan anjing dan memiliki ekor. Bagaimana kisahnya?
Masyarakat Kalang memiliki corak budaya yang tak serupa dari Jawa pada umumnya. Ternyata Orang Kalang tidak cuma di Kendal, mereka masih terjumpai di sejumlah daerah di Pulau Jawa.
Di Kabupaten Kendal, komunitas Orang Kalang terkonsentrasi di tujuh desa di tiga kecamatan, yakni Montongsari, Terataimulyo (Kecamatan Weleri), Lomansari, Poncorejo, Krompaan (Gemuh), Wonotenggang, serta Sendangdawuhan (Rowosari).
Achmad Sholeh dalam penelitian tesisnya mengenai agama dan budaya masyarakat Kalang, menyebut, hingga 2004 jumlah mereka di Kabupaten Kendal mencapai lebih dari 4.000 jiwa.
Warga desa-desa itu masih melaksanakan sadranan untuk memeringati haul Mbah Coyudho. Dia adalah leluhur yang dipercaya sebagai Ingkang Mbubak Yasa dan Mbahu Reksa Dukuh tersebut. Selain berdoa dan memberi caos dhahar di makam Mbah Coyudho, mereka juga menerima pembagian gule kambing yang dimasak di kompleks pekuburan itu.
Cerita tutur yang berkembang di kalangan warga menyebutkan, Mbah Coyudho bersama pepunden-pepunden di dukuh lain merupakan Orang Kalang generasi pertama yang mendiami wilayah Kendal. Konon mereka seluruhnya berasal dari Surakarta. Dari Mbah Coyudho lahirlah keturunan yang pada masa kemudian mengidentifikasikan diri sebagai Orang Kalang.
Secara fisik, tak ada beda antara Orang Kalang dan warga Jawa pada umumnya. Mereka juga tak menutup diri dengan lingkungan di sekitarnya. Sehari-hari, Orang Kalang di Wangklukrajan, serta desa-desa lain di Kabupaten Kendal hidup berbaur bersama masyarakat lainnya.
Bedanya, Orang Kalang sejati masih menjalankan ritus-ritus yang diajarkan nenek moyang mereka. Ada upacara obong untuk memperingati kematian, ewuhan, serta ritus-ritus lain.
“Orang Kalang yang berkewajiban menjalankan ritus-ritus leluhur adalah kelompok Kalang sejati. Mereka keturunan yang lahir dari kedua orang tua orang Kalang asli. Kelompok itu punya kewajiban moral tradisi. Jika tidak melaksanakan, mereka percaya akan menerima akibat buruk,” ujar Kelana, budayawan yang juga pengamat sosial yang pernah meneliti Orang Kalang, ketika ditemui di Kendal.
Kelana mengisahkan ada seorang Kalang yang menderita penyakit aneh. Meski telah berulang kali menjalani pemeriksaan medis menggunakan peralatan canggih, jenis penyakitnya tak terdeteksi. Suatu ketika, orang yang sakit itu mengakui pernah meninggalkan kewajibannya sebagai Orang Kalang.
"Ternyata dia pernah tidak melaksanakan upacara obong saudara yang menjadi tanggungannya. Setelah dilaksanakan, tak lama kemudian orang itu sembuh," ujar Kelana.
Sementara itu, keturunan Kalang hanya dari satu pihak orangtua, tidak wajib menjalankan tradisi leluhur. Mereka boleh ikut, boleh juga tidak.
Sumber: https://www.viva.co.id/berita/nasional/613345-legenda-manusia-berekor-dari-kendal
Kelahiran seorang anak yang dinantikan tentu membuat seorang ibu serta keluarga menjadi bahagia karena dapat bertemu dengan buah hatinya, terutama bagi ibu (melahirkan anak pertama). Tetapi tidak sedikit pula ibu yang mengalami stress yang bersamaan dengan rasa bahagia itu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan tentang makna dari pra-kelahiran seseorang dalam adat Nias khusunya di Nias Barat, Kecamatan Lahomi Desa Tigaserangkai, dan menjelaskan tentang proses kelahiran anak mulai dari memberikan nama famanoro ono khora sibaya. Metode pelaksanaan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode observasi dan metode wawancara dengan pendekatan deskriptif. pendekatan deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan fakta sosial dan memberikan keterangan yang jelas mengenai Pra-Kelahiran dalam adat Nias. Adapun hasil dalam pembahasan ini adalah pra-kelahiran, pada waktu melahirkan anak,Pemberian Nama (Famatorõ Tõi), acara famangõrõ ono khõ zibaya (Mengantar anak ke rumah paman),...
Prajurit pemanah dari komunitas pemanah berkuda indonesia (KPBI) mengikuti Festival Keraton Nusantara 2017. mewakili kesultanan kasepuhan cirebon. PAKAIAN: terdiri dari ikat kepala/ totopong khas sunda jenis mahkuta wangsa. kain sembongb berwarnaungu di ikat di pinggang bersamaan dengan senjata tajam seperti golok dan pisau lalu baju & celana pangsi sunda. dengan baju corak ukiran batik khas sunda di bagian dada. untuk alas kaki sebagian besar memakai sendal gunung, namun juga ada yang memakai sepatu berkuda. BUSUR: sebagian besar memakai busur dengan model bentuk turkis dan ada juga memakai busur model bentuk korea. ANAK PANAH: Semua nya memakai anak panah bahan natural seperti bambu tonkin, kayu mapple & kayu spruce QUIVER (TEMPAT ANAK PANAH): Semua pemanah menggunakan quiver jenis backside quiver atau hip quiver . yaitu quiver yang anak panah di pasang di pinggang dan apabila anak panah di pasang di dalam quiver , nock anak panah menghadap ke belaka...
aksi pertunjukan pusaka dan pasukan kesultanan kacirebonan dari balaikota cirebon sampai ke keraton kacirebonan
Para pasukan penjaga keraton Sumedang larang