Gunung Wurung adalah sebuah gunung yang terletak di Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, Indonesia. Bentuk gunung ini cukup unik, karena tingginya hanya berkisar 80 meter dan tidak memiliki puncak tertinggi. Menurut masyarakat setempat, gunung ini dibuat oleh para dewa dari Kahyangan. Namun, mereka telah menghentikan pekerjaannya sebelum gunung itu selesai dibuat. Mengapa para dewa tidak menyelesaikan pembuatan gunung itu hingga tuntas? Kisahnya dapat Anda ikuti dalam cerita Legenda Gunung Wurung berikut ini.
* * *
Alkisah, di sebuah daerah (yang sekarang masuk ke dalam wilayah Kecamatan Karangsambung), terdapat sebuah perkampungan kecil yang wilayahnya terdiri dari hamparan tanah datar. Tak satu pun gundukan tanah atau perbukitan yang terlihat di sekitarnya.
Di suatu malam yang sunyi senyap, para sesepuh kampung tampak sedang berdoa kepada para dewa di Kahyangan. Dengan penuh khusyuk, mereka memohon agar dibuatkan sebuah gunung di dekat tempat tinggal mereka. Rupanya, doa mereka dikabulkan oleh para dewa. Pembuatan gunung itu akan dimulai besok harinya dan akan dikerjakan dalam waktu semalam. Tetapi dengan syarat, tak seorang pun warga yang boleh melihat pada saat gunung itu dibuat.
Para sesepuh kampung menyanggupi persyaratan itu. Keesokan paginya, mereka mengumpulkan para warga untuk menyampaikan berita gembira dan persyaratan tersebut.
“Wahai, seluruh wargaku! Kami menghimbau kepada kalian semua agar pada saat hari menjelang senja, masuklah ke dalam rumah kalian masing-masing dan tak seorang pun yang boleh keluar rumah hingga matahari terbit besok pagi!” ujar seorang sesepuh kampung.
“Maaf, Tuan! Bencana apa yang akan melanda kampung kita? Kenapa kami dilarang keluar rumah?” tanya seorang warga dengan bingung.
“Ketahuilah, semua bahwa para dewa akan membuatkan sebuah gunung untuk kita dan tak seorang pun yang boleh melihat ketika mereka sedang bekerja,” jelas seorang sesepuh kampung yang lain.
Setelah mendengar penjelasan itu, barulah para warga mengerti mengapa mereka dilarang keluar rumah. Ketika hari menjelang senja, suasana kampung mulai sepi. Seluruh warga telah masuk ke dalam rumah dan mengunci pintu rapat-rapat. Tak berapa lama kemudian, para dewa pun turun dari Kahyangan untuk mulai bekerja membangun sebuah gunung di daerah hulu kampung. Mula-mula mereka membangun tiang-tiang yang kokoh.
Setelah separuh malam bekerja, para dewa telah selesai membangun tiang-tiang tersebut. Tiang-tiang tersebut kemudian mereka timbuni dengan tanah hingga nantinya membentuk sebuah gunung. Para dewa bekerja sesuai dengan tugas masing-masing tanpa berbicara sepatah kata pun. Mereka terus bekerja hingga larut malam tanpa mengenal lelah.
Ketika hari menjelang pagi, pembuatan gunung itu hampir selesai, tinggal menyelesaikan penimbunannya yang tersisa sedikit lagi. Pada saat para dewa masih sibuk bekerja, tiba-tiba dari arah kampung seorang gadis berjalan menuju ke luk ulo (sungai) yang berada di sekitar tempat pembuatan gunung tersebut. Rupanya, gadis itu tidak mengetahui pengumuman tentang larangan keluar rumah pada malam itu. Sebab, pada waktu pengumuman itu disampaikan oleh salah seorang sesepuh kampung, ia tidak hadir dan tak seorang pun warga yang memberitahu tentang hal itu.
Gadis itu datang ke sungai karena ingin mencuci beras untuk dimasak. Ia berjalan tanpa memperhatikan keadaan di sekelilingnya karena suasana masih gelap. Pada saat akan turun ke sungai, gadis itu terperanjat karena tiba-tiba di hadapannya ada sebuah bukit.
“Hah, kenapa tiba-tiba ada bukit di tempat ini? Padahal, hari-hari sebelumnya tempat ini masih datar? Ya Tuhan, mimpikah aku ini?” gumam gadis itu seolah tidak percaya terhadap apa yang dilihatnya.
Namun, begitu melihat beberapa sosok makhluk yang menyeramkan bergerak cepat sambil mengangkat batu besar tanpa sepatah kata pun, gadis itu langsung berlari meninggalkan sungai karena ketakutan.
“Tolooong… Tolooong… Tolong aku!” teriaknya dengan keras.
Gadis itu terus berlari tanpa memperdulikan lagi keadaan dirinya sehingga beras yang hendak dicucinya dilemparkan begitu saja. Tak ayal lagi, beras tersebut berceceran di sekitar bukit. Konon, beras tersebut menjelma menjadi bebatuan yang bentuknya mirip dengan beras.
Para dewa yang mendengar suara teriakan gadis itu menjadi tersentak. Mereka pun menyadari bahwa ternyata pekerjaan mereka telah disaksikan oleh manusia.
“Penduduk kampung telah melanggar perjanjian kita. Ayo kita tinggalkan tempat ini!” seru salah satu dewa kepada dewa yang lainnya.
Akhirnya, para dewa tersebut menghentikan pekerjaannya. Mereka meninggalkan tempat itu dan bergegas kembali ke Kahyangan. Padahal, pembangunan gunung itu belum selesai. Akhirnya, batallah pembuatan gunung itu.
* * *
Demikianlah cerita Legenda Gunung Wurung dari daerah Kebumen, Jawa Tengah. Masyarakat setempat menamainya “Gunung Wurung” karena menganggap gunung tersebut belum jadi atau belum selesai. Kata wurung dalam bahasa Jawa berarti belum jadi atau batal. Secara geologis, Gunung Wurung terbentuk dari batuan intrusi, materi batuan yang sebelumnya berupa bahan cair, pijar, dan panas berasal dari magma di perut bumi yang hendak menerobos permukaan, namun terlanjur membeku sebelum muncul ke permukaan. Sedangkan batuan berwarna yang mirip dengan beras disebut dengan batu diabas.
Dengan membaca cerita ini, setidaknya kita telah mengetahui mengapa Gunung Wurung berbentuk demikian (hanya separuh), karena pembangunannya tidak diselesaikan oleh para dewa, sebagaimana yang diyakini oleh empunya cerita.
Sumber: https://histori.id/legenda-gunung-wurung/
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja