Cerita Rakyat
Cerita Rakyat
Cerita Rakyat Jawa Tengah Blora
Legenda Gunung Tugel
- 13 Juli 2018

Jika orang berjalan-jalan di sepanjang kaki lima di kota Surakarta, Yogyakarta, dan mungkin juga di beberapa kota lain, akan melihat adanya warung tenda yang menjual susu sapi Boyolali. Legenda Gunung Tugel juga berasal dari Boyolali. Dari kota Solo, Boyolali berjarak 27 kilometer; dari Semarang,

Seperti kebanyakan legenda di Jawa Tengah, le­genda ini bermula dari sebuah makam. Makam itu adalah makam Kiai Singaprana, seorang cucu Raden Joko Dandun, yang oleh masyarakat Surakarta sering disebut dengan nama Syekh Bela-Belu, putra Brawijaya V, raja Majapahit terakhir.

Singaprana adalah seorang kiai yang sakti dan baik hati. la selalu bersedia menolong orang yang memerlukan bantuan tanpa memandang derajat, pangkat, maupun golongan. Sebagaimana layaknya keturunan raja, ia memiliki tanah kekuasaan, letaknya di wilayah Boyolali. Hidupnya sederhana, tetapi wajahnya selalu ceria. Pekerjaannya bertani; pada saat musim tanam selesai dan menunggu masaknya padi, Singaprana berjualan nasi dan cendol di pasar. Meskipun baik hatinya, ada juga orang membenci Singaprana, di antaranya Raga Ranting.

Pada suatu malam, Raga Ranting tidak dapat me­mejamkan mata. Dadanya panas dan hatinya ge­muruh. Seluruh tubuhnya terbakar iri hati. Oleh ka­rena itu, saat matanya terbuka, pandangannya gelap; ketika matanya terpejam, terbayang wajah Kiai Si­ngaprana yang senantiasa penuh tawa dan murah senyum. Tanpa alasan yang masuk akal, dendam menyusup ke seluruh susunan syarafnya. Malam itu, Raga Ranting memutuskan untuk membunuh Kiai Singaprana.

Raga Ranting tinggal di Pegunungan Kendeng. Kiai Singaprana tinggal di puncak pegunungan se­belahnya. Untuk menghabisi riwayat Singaprana, pagi harinya, Raga Ranting mengikatkan seutas tali di dua puncak pegunungan itu. Kemudian, dia menggulirkan sebutir telur yang bergulir luar biasa cepatnya dari rumahnya dan membentur puncak pegunungan tem­pat tinggal Kiai Singaprana. Benturan itu menim­bulkan bunyi yang luar biasa kerasnya, melebihi seribu bom nuklir. Oleh karena itu, puncak gunung itu patah (tugel). Akan tetapi, Kiai Singaprana selamat; rumahnya pun tetap utuh, termasuk segala perabot di dalamnya. Apakah Kiai dendam? Tidak! Jangankan dendam, marah pun tidak.

Melihat hal itu, Raga Ranting semakin panas dadanya. Dendamnya berkobar. Seluruh tubuh dan jiwanya dikuasai kebenciannya sendiri sehingga akhir­nya seluruh tubuhnya hancur luluh (penduduk Surakarta mengatakan rontang-ranting, suatu istilah yang sampai kini masuk kosakata Bahasa Jawa.)

Hati Kiai Singaprana yang begitu baik memberikan kesan bagi penduduk setempat bahwa mungkin Kiai itu sebenarnya salah seorang wali. Pembicaraandemikian makin meluas sehingga wilayah tempat tinggal Kiai Singaprana sampai sekarang disebut Walen. Kesaktian dan kebaikan hati Kiai Singaprana tersebar luas ke mana-mana sehingga Sultan Bintara di Demak pun tertarik mendengar cerita punggawa tentang kiai itu. Tidak mengherankan jika Bintara ingin mengunjungi Kiai Singaprana untuk membukti­kan seberapa jauh kesaktian kiai itu.

Agar kedatangannya tidak mencurigakan, Sultan Bintara menyamar sebagai pengemis. ketika tiba di depan rumah Kiai Singaprana, pengemis itu disambut dengan penuh hormat, bahkan disilakan duduk di balai-balai. Kiai Singaprana sendiri duduk di lantai tanah, bagaikan menghadap raja. Setiap kali pe­ngemis itu bertanya, dijawabnya dengan bahasa tinggi penuh hormat, serta dimulai dan diakhiri de­ngan sembah. Setelah tiga kali berturut-turut Kiai Singaprana menyembah, pengemis itu tidak tahan lagi. Dia turun dari balai-balai dan Kiai Singaprana dipeluk serta dipuji sebagai kiai yang waskita (tajam pengamatannya).

Bersamaan dengan itu, Bintara mengemukakan bahwa ia akan menghajar Kebo Kenanga, Adipati Pengging yang congkak. Kiai Singaprana tidak menyetujui gagasan itu karena Kebo Kenanga adalah orang yang sakti. Kenyal kulitnya, tidak bisa dilukai oleh senjata; keras tulangnya bagaikan besi; dan kuat ototnya bagaikan kawat baja. Untuk mengalah­kannya harus diusahakan suatu cara tertentu. Pen­deknya, Sultan Bintara harus bersabar. Saran ini ditafsirkan Sultan Bintara sebagai usaha Kiai Singa­prana untuk menghalangi maksudnya, bahkan Bintara menuduhnya bersekutu dengan Kebo Kenanga. Kiai pun menunduk, sedih, lalu menggeiengkan kepala tiga kali.

Untuk menghindari perdebatan yang berkepanjang­an, Kiai Singaprana segera berkata agar Bintara membuktikan ucapannya. Caranya sebagai berikut. Jika menjelang penyerangan nanti pasukan Demak memukul bendhe (gong kecil) sebagai tanda pe­nyerbuan dan bunyinya pelan, itu tanda serangan mereka akan gagal total. Jika berbunyi keras, akan lancar gempuran pasukan Demak, dan kemenangan jelas pada pihak Bintara.

Dengan agak jengkel, Bintara keluar dari rumah. la berjalan lebih tegap, tidak lagi sebagai pengemis. Akan tetapi, alangkah terkejut hatinya ketika tiba di suatu desa. Di sana ia menjumpai pasukan Demak bersiaga. Karena tidak tega, Pasukan Demak meng­ikuti perjalanan Bintara dari belakang sambil berlatih perang-perangan. Kesetiaan pasukan itu dipuji Bin­tara. Sebagai tanda terima kasih, desa itu dinama­kannya dusun Manggal. Kata ini berasal dari kata manggala, yang artinya pimpinan pasukan.

Tibalah saatnya bagi Bintara untuk membuktikan kata-kata Kiai Singaprana. Bendhe yang tergantung di pohon duwet diperintahkan untuk dipukul. Bintara heran, yang terdengar hanya suara goyangan bendhe bergesekan dengan ranting pohon duwet. Pukulan kedua menghasilkan bunyi aum, suara harimau. Pen­duduk yang tinggal di desa lain, tidak jauh dari peristirahatan pasukan Demak, berteriak bahwa mereka mendengar suara simo (harimau). Oleh karena itu, desa itu hingga kini disebut desa Simo.

Suara aum dari gong akhirnya meyakinkan Sultan Bintara bahwa Kiai Singaprana memang benar-benar sakti. Beliau pun bertitah kepada pasukannya agar kembali ke Demak bersamanya.

Tidak lama kemudian, Kiai Singaprana, yang se­benarnya sudah tua, merasa bahwa ajalnya hampir tiba. la berpesan kepada istrinya, Nyai Singaprana, jika ia meninggal agar dikuburkan di gunung yang putus karena ledakan benturan telur Raga Ranting.

Demikianlah, Kiai Singaprana akhirnya dimakam­kan di Gunung Tugel. Oleh penduduk setempat, Kiai Singaprana juga disebut Kiai Singaprana Simawalen. Perlu diketahui, desa Simo yang terletak di sebelah timur dan desa Walen yang terletak di sebelah barat berjarak empat kilometer.

 

Kesimpulan

Cerita tentang Gunung Tugel memang lebih tepat disebut legenda karena kisahnya menjelaskan adanya peninggalan. Dari legenda ini kita dapat mengambil hikmah bahwa dengki, dendam, dan iri hati dapat menghancurkan diri sendiri, bahkan lebih dari itu. Sementara itu, kesabaran, keikhlasan, dan kebaikan hati kepada sesama, mendatangkan pahala dan ke­tenteraman serta kebahagiaan untuk diri sendiri mau­pun orang lain.

Sumber: https://serengan1.wordpress.com/2008/10/28/legenda-gunung-tugel/

Diskusi

Silahkan masuk untuk berdiskusi.

Daftar Diskusi

Rekomendasi Entri

Gambar Entri
Tradisi MAKA
Seni Pertunjukan Seni Pertunjukan
Nusa Tenggara Barat

MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...

avatar
Aji_permana
Gambar Entri
Wisma Muhammadiyah Ngloji
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
SMP Negeri 1 Berbah
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Pabrik Gula Randugunting
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Kompleks Panti Asih Pakem
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja

avatar
Bernadetta Alice Caroline