Cerita Rakyat
Cerita Rakyat
Legenda Kalimantan Selatan Banjar
Legenda Datu Pujung
- 17 Mei 2018

Pada zaman dahulu, di daerah Kuin pernah berdiri sebuah kerajaan yang bernama Kerajaan Banjar, yang diperintah oleh Sultan Suriansyah-Sultan Kerajaan Banjar I (1520 – 1550 M.). Konon, pada masa pemerintahaannya, Sultan Suriansyah pernah mendapat ancaman bahaya dari luar. Sebuah kapal asing yang tidak diundang berlabuh di Muara Sungai Kuin. Sikap angkuh para anak buah kapal itu menunjukkan bahwa kedatangan mereka tampaknya mempunyai maksud yang tidak baik. Hal ini diketahui oleh Sultan Suriansyah, yang segera mengumpulkan seluruh punggawa kerajaan untuk mengadakan musyawarah.

Dalam musyawarah itu, seorang peserta musyawarah mengusulkan, bahwa untuk menghadang kapal para tamu yang tidak diundang itu, mereka harus membuat barikade dengan menanam pohon-pohon yang besar di dasar sungai. Namun, karena waktunya sangat mendesak, tidak satu pun punggawa kerajaan yang hadir dalam musyawarah mampu melakukan hal itu. Hanya orang sakti yang bisa melakukannya. Kebetulan, dalam rapat itu hadir seorang tua mengenakan jubah yang tidak dikenal oleh Sultan. Dengan sopan, ia meminta izin kepada Sultan untuk melakukan pekerjaan itu sesuai dengan kemampuan dan caranya sendiri. Setelah meminta izin, orang tua itu pun tiba-tiba menghilang. Siapa sebenarnya orang tua yang berjubah itu? Mampukah dia membarikade kapal asing itu? Penasaran kan? Ikuti kisahnya dalam cerita Datu Pujung berikut ini.

* * *
Alkisah, pada zaman dahulu kala, di daerah Kalimantan Selatan telah berdiri sebuah kerajaan besar yang bernama Kerajaan Banjar. Rajanya bernama Sultan Suriansyah. Pada masa itu, hiduplah seorang laki-laki yang sudah tua. Masyarakat di sekitarnya memanggilnya si Pujung. Karena usianya yang sudah tua, ia juga sering dipanggil Datu Punjung. Ia sangat arif dan bijaksana serta menguasai banyak ilmu, sehingga ia dijadikan sebagai panutan oleh warga sekitarnya. Namun anehnya, tak seorang pun yang mengetahui asal usulnya.

Pada suatu hari Kerajaan Banjar kedatangan tamu yang tidak diundang. Sebuah kapal berbendera asing bergerak menuju pelabuhan Muara Sungai Barito, yaitu Muara Kuin atau Delta Kuin. Beberapa penduduk negeri segera mengayuh jukung kecil menyongsong kedatangan kapal itu. Penduduk negeri terheran-heran melihat bentuk kapal yang panjang dan besar itu. Keheranan mereka tidak hanya itu, tetapi juga anak buah kapalnya yang berkulit salau, berambut pirang seperti rambut jagung, dan bermata biru seperti air laut. Sikap mereka yang ada di dalam kapal itu menunjukkan keangkuhan.

Mengetahui hal itu, beberapa penduduk negeri segera memberi tahu penguasa negeri. Sadarlah Sultan Suriansyah, sang Penguasa negeri, bahwa kerajaannya kedatangan tamu yang tidak diundang dan mempunyai maksud yang tidak baik terhadap negerinya. Sultan Suriansyah segera mengumpulkan para punggawa Kerajaan Banjar untuk mengadakan musyawarah. Untuk mengantisipasi serangan mendadak dari tamu asing tersebut, Sultan Suriansyah pun menyiagakan seluruh prajuritnya di sekitar istana.

Seluruh para punggawa telah berkumpul. “Aku mempunyai firasat kalau kedatangan orang-orang yang ada di dalam kapal besar itu akan membawa bencana di negeri kita. Sebelum kapal itu berlabuh di pelabuhan dan masuk ke pusat kerajaan, sebaiknya kita tempatkan barikade di muara sungai,” titah Sultan Suriansyah dalam musyawarah itu.

“Mohon ampun, Baginda. Muara sungai sangat dalam dan berarus deras. Untuk membuat barikade, tidak ada pilihan lain kecuali meramu pohon-pohon yang besar dan batangnya tinggi. Pohon-pohon tersebut selanjutnya kita tancapkan ke dasar sungai,” saran salah seorang punggawa. Usulan itu ternyata diterima oleh seluruh peserta musyawarah, termasuk Sultan Suriansyah. “Bentuk dan bahannya terserah kalian!” seru Sultan Suriansyah memberikan putusan.

“Mengingat waktunya sangat mendesak dan kemampuan kita sangat terbatas, bagaimana kalau kita membuat sayembara? Barang siapa yang mampu meramu dan menancapkan batang kayu ke dasar sungai, akan kita berikan hadiah yang besar,” usul punggawa lainnya. “Aku setuju usulan itu,” ujar Sultan Suriansyah.

“Tapi…Baginda. Hanya orang yang memiliki kesaktian yang mampu melakukan pekerjaan itu,” komentar petugas pelabuhan. “Benar, Baginda! Kita tidak pernah mendengar ada warga di kerajaan ini yang memiliki kesaktian seperti itu,” tambah punggawa lainnya. “Wah, kalau begitu, rencana ini kita batalkan. Kita cari cara yang lainnya,” sambung Sultan Suriansyah. Ucapan Sultan membuat suasana menjadi hening. Seluruh peserta yang hadir hanya terdiam dan menunduk. Tiba-tiba, suasana keheningan menjadi pecah mendengar suara dari arah belakang. “Hamba pikir itu saran yang sangat bagus,” ujar seorang yang mengenakan jubah. Semua pandangan tertuju kepadanya.

“Bagus memang. Tapi siapa orang yang sanggup melaksanakan pekerjaan seberat itu dalam waktu singkat? Apakah kamu sanggup…?” bantah seorang punggawa dengan nada sedikit melecehkan. Peserta musyawarah lainnya pun tertawa. Keadaan itu segera ditenangkan oleh ketukan palu Sultan Suriansyah pada meja di depannya. “Teruskan bicaramu!” titah Sultan Suriansyah.

“Baiklah, Baginda. Hamba memang belum selesai berbicara. Rupanya ada di antara kita yang tidak sabaran,” kata orang yang duduk paling belakang itu merendah. Lalu ia menjelaskan kepada seluruh peserta musyawarah, “Perlu diketahui, meramu kayu memerlukan waktu yang lama. Apalagi, menancapkan kayu-kayu ke dasar sungai bukanlah pekerjaan yang mudah. Musuh kita dalam kapal layar tersebut akan cepat mengetahui. Tidak mustahil mereka akan menyerang sebelum barikade diselesaikan.”

“Lalu bentuk barikade bagaimana yang mesti kita buat?” tanya Sultan Suriansyah penasaran.

“Jika dipercaya, izinkan hamba mengerjakannya menurut kemampuan dan cara hamba. Hamba jamin kapal asing itu akan kandas di Muara Sungai Barito. Namun, perlu diingat bahwa pekerjaan ini hamba lakukan bukan karena memburu hadiah, tapi demi keamanan negeri kita. Permisi!” orang itu langsung berdiri dan berkelebat, kemudian hilang dari pandangan mata para peserta musyawarah. Sultan Suriansyah tercengang-cengang menyaksikan kejadian itu. “Siapa orang itu tadi?” tanya Sultan Suriansyah kepada seorang yang duduk paling dekat dengan orang yang baru saja pergi. “Datu Pujung, Baginda,” jawab orang itu dengan penuh hormat.

Malam semakin gelap. Di atas kapal asing itu terlihat beberapa anak buah kapal sedang berjaga-jaga. Mereka mondar-mandir sambil menenteng senjata. Tiba-tiba, langkah mereka terhenti. Mereka merasakan kapal sedang miring ke kanan. Belum sempat berkata-kata, mereka sudah terjatuh ke sungai. Tak lama, kapal miring ke kiri. Penjaga di sebelah kiri kapal juga terjatuh ke sungai. Menyadari ada sesuatu yang tidak beres, kapten kapal segera membunyikan tanda bahaya. Sejumlah anak buah kapal yang bersenjata lengkap keluar dari ruangan dalam kapal. Di atas geladak, mereka melihat seseorang berjubah putih yang tidak dikenal. Mereka segera mengejar dan mengepungnya. Ketika orang berjubah putih sudah tersudut di haluan kapal, kapten kapal pun segera memerintahkan anak buahnya untuk menangkapnya, “Jangan biarkan dia lolos. Tangkap dia hidup-hidup!”
Karena tidak mungkin lagi menghindar, orang berjubah putih itu tiba-tiba menghentakkan kakinya ke geladak kapal dan menyebabkan kapal berderak pecah. Orang berjubah putih itu pun jatuh ke sungai. Namun, dengan satu lompatan yang ringan, ia sudah berada jauh di buritan kapal. Anak buah kapal yang berjaga di buritan terkesiap. Tanpa menunggu perintah dari kapten kapal, ia menembak orang berjubah itu dengan sebuah tembakan, sehingga bergema memecah keheningan malam. Anak buah kapal melihat si Jubah Putih terkapar di geladak. Rupanya tembakan mereka mengenainya. Karena belum yakin si Jubah Putih sudah mati, mereka melakukan tembakan salvo ke tubuh yang terkapar itu, diikuti tusukan serempak lebih dari selusin bayonet.

“Ha…, ha …, itu hanya bajuku,” terdengar suara lantang di sudut kapal. Karena gelapnya malam, semua mata awak kapal disipitkan ke sumber suara. Mereka melakukan tembakan salvo ke arah suara itu. Sejumlah anak buah kapal di posisi itu bertumbangan terkena sasaran tembakan kawannya sendiri. Tak lama, suara lantang dengan nada terdengar kembali, “Mata kalian kurang jeliii…!” Sumber suara itu dari arah kemudi kapal. Tembakan salvo anak buah kapal mengarah ke sumber suara itu. Seorang anak buah kapal menjadi sasaran tembakan itu sehingga terkapar tak berdaya.

Si Jubah Putih, rupanya sudah bosan bermain kucing-kucingan dengan anak buah kapal yang goblok tersebut. “Cukup!” seru suara itu. Tiba-tiba terlihat bayangan putih melambung tinggi-tinggi dan kemudian meluncur ke arah geladak kapal. Sekali hentakan, kapal itu terbelah menjadi dua. Anak buah kapal dan seluruh isi kapal tenggelam seketika ke dasar Sungai Barito.

Dengan demikian, selamatlah Kerajaan Banjar dari acaman berbahaya itu. Sultan Suriansyah dan para punggawa kerajaan serta seluruh penduduk negeri sangat gembira. Sultan Suriansyah pun mengadakan kenduri besar, sebagai tanda syukur karena terhindar dari bencana. Sesuai dengan janjinya, sang Sultan memberi imbalan atas jasa-jasa dan pengabdian Datu Pujung terhadap negeri. Sang Sultan menghadiahi Datu Pujung berupa pangkat, jabatan, emas berlian dan makanan yang banyak sekali.

Sesuai dengan janjinya pula, Datu Pujung tidak rela menerima semua pemberian sang Sultan. “Hadiah pangkat dan jabatan hamba terima dengan senang hati. Namun, saat ini izinkan hamba untuk mengembalikannya kepada Tuanku! Hamba tidak layak diberi pangkat dan jabatan. Hamba kembalikan juga semua makanan dan barang mewah ini. Hamba hanya seorang diri. Selembar baju yang ada sudah lebih dari cukup hamba gunakan sebagai penutup aurat. Hamba tidak pernah kekurangan makanan. Bumi Tuhan ini sangat luas dan setiap jengkal tanahnya menjadikan rezeki bagi yang mau berusaha. Barangkali ada warga kerajaan yang lebih membutuhkan. Ke sanalah sebaiknya hadiah ini Tuanku berikan,” Datu Pujung menolak segala macam hadiah dengan halus.

“Mulia benar hatimu,” puji Sultan Suriansyah. “Terima kasih atas pujian Baginda!”, ucap Datu Pujung seraya berpamitan, “Hamba mohon pamit, Baginda!”
Dalam sekejap mata, Datu Pujung tiba-tiba menghilang dari pandangan Sultan Suriansyah. Sejak saat itu, Datu Pujung tidak pernah kembali lagi ke Kerajaan Banjar.

Setelah peristiwa di atas, potongan-potongan kapal asing yang tenggelam di Muara Sungai Barito itu, lama kelamaan tertimbun lumpur dan membentuk sebuah delta. Oleh masyarakat sekitar, tempat itu disebut dengan Pulau Kaget. Pulau ini terletak di Kecamatan Tabunganen, Barito Kuala, Kalimantan Selatan. Sementara, para anak buah kapal itu dikutuk oleh Datu Pujung berganti wujud menjadi bekantan yang sekarang menjadi penghuni pulau tersebut. Hidung binatang itu mancung-mancung seperti bentuk hidung awak kapal dalam cerita di atas.
Cerita rakyat ini termasuk ke dalam cerita-cerita teladan yang mengandung nilai-nilai moral dan dapat dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Adapun nilai-nilai moral dalam cerita tersebut di antaranya adalah sikap hidup sederhana. Sikap ini tercermin pada sikap Datu Pujung ketika ia menolak pemberian hadiah dari Sultan Suriansyah. Dengan selembar pakaian yang melekat di tubuhnya, ia sudah merasa lebih dari cukup. Datu Pujung merasa bahagia dengan hidup sederhana.

Pola hidup sederhana memang sangat mulia. Orang yang pola hidupnya sederhana akan terhindar dari rasa kesombongan dan lebih mudah meraba penderitaan orang lain. Pola hidup sederhana merupakan suatu kekuatan untuk mengendalikan keinginan-keinginan. Oleh karena itu, hendaklah kita membudayakan hidup sederhana dalam masyarakat, terutama dalam lingkungan keluarga. Jika orang tua telah memberikan contoh kepada anak-anaknya tentang kesederhanaan, maka anak itu akan terjaga dari merasa lebih dari orang lain dan dari hidup bermewah-mewah.

Sumber: https://histori.id/legenda-datu-pujung/

Diskusi

Silahkan masuk untuk berdiskusi.

Daftar Diskusi

Rekomendasi Entri

Gambar Entri
Wisma Muhammadiyah Ngloji
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
SMP Negeri 1 Berbah
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Pabrik Gula Randugunting
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Kompleks Panti Asih Pakem
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Jembatan Plunyon Kalikuning
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Jembatan Plunyon merupakan bagian dari wisata alam Plunyon-Kalikuning yang masuk kawasan TNGM (Taman Nasional Gunung Merapi) dan wisatanya dikelola Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) setempat, yaitu Kalikuning Park. Sargiman, salah seorang pengelola wisata alam Plunyon-Kalikuning, menjelaskan proses syuting KKN Desa Penari di Jembatan Plunyon berlangsung pada akhir 2019. Saat itu warga begitu penasaran meski syuting dilakukan secara tertutup. Jembatan Plunyon yang berada di Wisata Alam Plunyon-Kalikuning di Cangkringan, Kabupaten Sleman. Lokasi ini ramai setelah menjadi lokasi syuting film KKN Desa Penari. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan zoom-in-whitePerbesar Jembatan Plunyon yang berada di Wisata Alam Plunyon-Kalikuning di Cangkringan, Kabupaten Sleman. Lokasi ini ramai setelah menjadi lokasi syuting film KKN Desa Penari. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan "Syuting yang KKN itu kebetulan, kan, 3 hari, yang 1 hari karena gunungnya tidak tampak dibatalkan dan diu...

avatar
Bernadetta Alice Caroline