Dahulu kala di Pulau Halmahera, tepatnya di bagian paling utara pulau, terbentang perkampungan nelayan yang penduduknya menggantungkan hid up dari hasil tangkapan ikan di laut. Keadaan ini berlangsung selama berabadabad. Masyarakat pun hidup dengan keadaan yang sangat sejahtera. Mereka bahu-membahu, bantu-membantu, serta tolong-menolong dalam melakukan berbagai hal, mulai dari membuat perahu-perahu besar hingga mendirikan rumah adat yang mereka anggap sebagai simbol persatuan.
Di antara perkampungan nelayan tersebut yang paling dikenal adalah perkampungan Tobelo dan Galela. Uniknya, meskipun dua perkampungan nelayan ini memiliki budaya, kepercayaan, pemimpin, serta rumah adat yang berbeda, mereka terlihat seakan seperti satu komunitas perkampungan yang padu walaupun terkadang timbul perseteruan antara dua perkampungan ini. Masyarakat kedua kampung tersebut umumnya percaya bahwa nenek moyang mereka adalah satu yang diciptakan oleh Jou Giki Moi. Karena kepercayaan itulah, setiap perseturuan yang muncul tidak berlangsung lama karena masyarakat dengan sendirinya tersadarkan oleh adat-isitiadat.
Keunikan lain dari keteguhan masyarakat perkampungan Tobelo dan Galela terhadap adat-istiadat adalah adanya istilah Canga, yang diartikan sebagai wilayah tentorial masing-masing komunitas nelayan dalam menangkap ikan. Artinya, siapa saja yang ketahuan memasuki "wilayah tentorial" orang lain, yang bersangkutan akan diberi sanksi adat berupa Pemberian ngase/ngasi, kepada pemilik sah wilayah tentorial yang dimasukinya. Pemberian ngase adalah sebuah denda berupa penyerahan semua ikan hasil tangkapan yang dimilikinya pada saat itu juga.
Kehidupan masyarakat yang damai ini berjalan dalam waktu yang sangat lama hingga dunia memasuki era pelayaran Intemasional. Pada waktu itu muncullah di antara dua perkampungan tersebut para bajak laut dari wilayah Utara yang berasal dari Kepulauan Fillipina. Orang-orang menyebut para perompak ini sebagai bajak laut Balangingi dan bajak laut Mindanao. Kedatangan bajak laut Balangingi ke wilayah perairan Tobelo dan Galela sontak mengusik kedamaian yang telah berlangsung berabad-abad lamanya.
Para bajak laut itu merampas, membunuh, dan membakar perahu para nelayan. Sementara itu, ketika di darat mereka menjarah apa saja yang ada, memperkosa para wanita, menculik anak-anak dan perempuan dewasa untuk dijadikan sebagai budak. Kebrutalan para bajak laut Balangingi dan Mindanao tentu saja membuat kehidupan masyarakatTobelo dan Galela terlantar dian tara sudut-sudut penderitaan yang sebelumnya tidak pemah mereka alami. Ketidakmampuan masyarakat dalam menjalani penderitaan di bawah tekanan bajak laut Balangingi dan Mindanao akhirnya memaksa mereka untuk senantiasa berlindung di darat dengan membuat perkampungan baru dan bercocok tanam untuk menunjang kebutuhan hidupnya.
Dalam beberapa dekade, masyarakat Tobelo dan Galela terperosok di antara masa kelam akibat "agresi" bajak laut Balangingi dan Mindanao. Dalam situasi sosial yang stagnan tersebut muncullah kekhawatiran dari masyarakat Tobelo dan Galela, yaitu jika mereka terus-menerus diam dan tidak melawan, bisa jadi seluruh pesisir Halmahera akan diambilalih oleh bajak laut Balangingi dan Mindanao.
Berangkat dari pemikiran tersebut, muncullah inisiatif untuk mencari "rumah baru" sekaligus wilayah yang akan dijadikan sebagai tujuan eksodus apabila nantinya wilayah Tobelo dan Galela diambil-alih oleh bajak laut. Oleh karena itu, dengan rasa persatuan yang tinggi seperti yang telah dimiliki sebelumnya, masyarakat Tobelo dan Galela membangun perahu-perahu ekspedisi yang mereka sebut Yo Canga Canga. Dengan semangat yang tinggi mereka pun akhirnya dapat berlayar kembali. Tanpa diduga, di sebuah tempatyang bemama Jere, mereka berpapasan dengan bajak laut Balangingi dan Mindanao. Terjadilah pertempuran sengit. Para pelaut Tobelo dan Galela akhirnya memenangi pertempuran tersebut, dan secara tidak diduga pertempuran tersebut memukau dan membuat ciut nyali pimpinan-pimpinan bajak laut Balangingi dan Mindanao sehingga mereka menawarkan pembagian wilayah dan perjanjian untuk tidak saling menyerang apabila nantinya mereka bertemu di lautan.
Temyata, dalam perjanjian itu ada kesalahpahaman. Bajak laut Balangingi dan Mindanao menganggap bahwa pelaut-pelaut Tobelo dan Galela bemiat untuk menjadi bajak laut. Padahal, sebenamya mereka bertempur hanya sebagai upaya pertahanan diri. Meskipun demikian, anggapan ini menuai perspektif tersendiri bagi pelaut-pelaut Tobelo dan Galela, bahwa jika menginginkan kekuasaan, mereka harus sama dengan bajak laut Balangingi dan Mindanao.
Dalam waktu singkat orang-orang Tobelo dan Galela pun berubah menjadi ekspansionis. Mereka yang sebelumnya tertindas kini berubah menjadi penindas. Mereka bahkan lebih kejam dari para bajak laut Balangingi dan Mindanao. Hampir seluruh kepulauan bagian timur Nusantara mereka layari, bahkan hingga ke Madura. Orang-orang di Madura sendiri menganggap san gat tabu dan keramat apabila menyebut nama bajak laut Tobelo dan Galela di lautan. Kekejaman bajak laut Tobelo dan Galela pun membuat geram para penguasa di Jazirah Moloku Kie Raha dan Portugis, Spanyol, maupun Belanda, sebab bajak laut Tobelo dan Galela secara brutal telah mengganggu aktivitas pelayaran di sekitar perairan Maluku. Hal ini jelas memberikan kerugian finansial yang tidak sedikit bagi perdagangan intemasional dari dan ke bandar akhir selat Malaka.
Kejayaan bajak laut Tobelo dan Galela akhirnya berakhir ketika terjadi perpecahan intemal. Operasi bajak laut pun berhenti saat sebagian masyarakat Tobelo dan Galela keluar dari wilayah utara Pulau Halmahera dan secara kolonis menetap di pulau-pulau besar dan kecil, tepat di sebelah selatan Pulau Halmahera. Hingga sekarang masyarakat Tobelo dan Galela yang mendiami Pulau Bacan, Obi, serta pulau-pulau di sekitamya disebut sebagai suku Togale (Tobelo dan Galela). Mereka dianggap sebagai saudara tua. Sementara itu, masyarakat Tobelo dan Galela yang hingga saat ini masih menetap di daerah aslinya dianggap sebagai saudara muda (adik). Adapun makna Filosofis dari ekspedisi Canga pun berubah menjadi perjuangan bergelut dengan zaman, tidak lagi berarti membunuh, seperti yang terjadi pada masa dulu.
Hingga akhir a bad ke-18 operasi Canga (bajak laut) oleh orang Tobelo dan Galela masih berlangsung. Untuk diketahui, nenek dari kakek Penulis adalah seorang bangsawan dari Kerajaan Banggai (Sulawesi) yang diculik pada saat ekspedisi Canga dan dinikahi oleh Kakek dari Kakek Penulis.
Cerita ini didapat dari sumber terpercaya, yang kemudian disinkronkan oleh Penulis dengan menggunakan pendekatan Antropologis.
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja