|
|
|
|
Legenda Bajak Laut Tobelo dan Galela Tanggal 27 Nov 2018 oleh Riani Charlina. |
Dahulu kala di Pulau Halmahera, tepatnya di bagian paling utara pulau, terbentang perkampungan nelayan yang penduduknya menggantungkan hid up dari hasil tangkapan ikan di laut. Keadaan ini berlangsung selama berabadabad. Masyarakat pun hidup dengan keadaan yang sangat sejahtera. Mereka bahu-membahu, bantu-membantu, serta tolong-menolong dalam melakukan berbagai hal, mulai dari membuat perahu-perahu besar hingga mendirikan rumah adat yang mereka anggap sebagai simbol persatuan.
Di antara perkampungan nelayan tersebut yang paling dikenal adalah perkampungan Tobelo dan Galela. Uniknya, meskipun dua perkampungan nelayan ini memiliki budaya, kepercayaan, pemimpin, serta rumah adat yang berbeda, mereka terlihat seakan seperti satu komunitas perkampungan yang padu walaupun terkadang timbul perseteruan antara dua perkampungan ini. Masyarakat kedua kampung tersebut umumnya percaya bahwa nenek moyang mereka adalah satu yang diciptakan oleh Jou Giki Moi. Karena kepercayaan itulah, setiap perseturuan yang muncul tidak berlangsung lama karena masyarakat dengan sendirinya tersadarkan oleh adat-isitiadat.
Keunikan lain dari keteguhan masyarakat perkampungan Tobelo dan Galela terhadap adat-istiadat adalah adanya istilah Canga, yang diartikan sebagai wilayah tentorial masing-masing komunitas nelayan dalam menangkap ikan. Artinya, siapa saja yang ketahuan memasuki "wilayah tentorial" orang lain, yang bersangkutan akan diberi sanksi adat berupa Pemberian ngase/ngasi, kepada pemilik sah wilayah tentorial yang dimasukinya. Pemberian ngase adalah sebuah denda berupa penyerahan semua ikan hasil tangkapan yang dimilikinya pada saat itu juga.
Kehidupan masyarakat yang damai ini berjalan dalam waktu yang sangat lama hingga dunia memasuki era pelayaran Intemasional. Pada waktu itu muncullah di antara dua perkampungan tersebut para bajak laut dari wilayah Utara yang berasal dari Kepulauan Fillipina. Orang-orang menyebut para perompak ini sebagai bajak laut Balangingi dan bajak laut Mindanao. Kedatangan bajak laut Balangingi ke wilayah perairan Tobelo dan Galela sontak mengusik kedamaian yang telah berlangsung berabad-abad lamanya.
Para bajak laut itu merampas, membunuh, dan membakar perahu para nelayan. Sementara itu, ketika di darat mereka menjarah apa saja yang ada, memperkosa para wanita, menculik anak-anak dan perempuan dewasa untuk dijadikan sebagai budak. Kebrutalan para bajak laut Balangingi dan Mindanao tentu saja membuat kehidupan masyarakatTobelo dan Galela terlantar dian tara sudut-sudut penderitaan yang sebelumnya tidak pemah mereka alami. Ketidakmampuan masyarakat dalam menjalani penderitaan di bawah tekanan bajak laut Balangingi dan Mindanao akhirnya memaksa mereka untuk senantiasa berlindung di darat dengan membuat perkampungan baru dan bercocok tanam untuk menunjang kebutuhan hidupnya.
Dalam beberapa dekade, masyarakat Tobelo dan Galela terperosok di antara masa kelam akibat "agresi" bajak laut Balangingi dan Mindanao. Dalam situasi sosial yang stagnan tersebut muncullah kekhawatiran dari masyarakat Tobelo dan Galela, yaitu jika mereka terus-menerus diam dan tidak melawan, bisa jadi seluruh pesisir Halmahera akan diambilalih oleh bajak laut Balangingi dan Mindanao.
Berangkat dari pemikiran tersebut, muncullah inisiatif untuk mencari "rumah baru" sekaligus wilayah yang akan dijadikan sebagai tujuan eksodus apabila nantinya wilayah Tobelo dan Galela diambil-alih oleh bajak laut. Oleh karena itu, dengan rasa persatuan yang tinggi seperti yang telah dimiliki sebelumnya, masyarakat Tobelo dan Galela membangun perahu-perahu ekspedisi yang mereka sebut Yo Canga Canga. Dengan semangat yang tinggi mereka pun akhirnya dapat berlayar kembali. Tanpa diduga, di sebuah tempatyang bemama Jere, mereka berpapasan dengan bajak laut Balangingi dan Mindanao. Terjadilah pertempuran sengit. Para pelaut Tobelo dan Galela akhirnya memenangi pertempuran tersebut, dan secara tidak diduga pertempuran tersebut memukau dan membuat ciut nyali pimpinan-pimpinan bajak laut Balangingi dan Mindanao sehingga mereka menawarkan pembagian wilayah dan perjanjian untuk tidak saling menyerang apabila nantinya mereka bertemu di lautan.
Temyata, dalam perjanjian itu ada kesalahpahaman. Bajak laut Balangingi dan Mindanao menganggap bahwa pelaut-pelaut Tobelo dan Galela bemiat untuk menjadi bajak laut. Padahal, sebenamya mereka bertempur hanya sebagai upaya pertahanan diri. Meskipun demikian, anggapan ini menuai perspektif tersendiri bagi pelaut-pelaut Tobelo dan Galela, bahwa jika menginginkan kekuasaan, mereka harus sama dengan bajak laut Balangingi dan Mindanao.
Dalam waktu singkat orang-orang Tobelo dan Galela pun berubah menjadi ekspansionis. Mereka yang sebelumnya tertindas kini berubah menjadi penindas. Mereka bahkan lebih kejam dari para bajak laut Balangingi dan Mindanao. Hampir seluruh kepulauan bagian timur Nusantara mereka layari, bahkan hingga ke Madura. Orang-orang di Madura sendiri menganggap san gat tabu dan keramat apabila menyebut nama bajak laut Tobelo dan Galela di lautan. Kekejaman bajak laut Tobelo dan Galela pun membuat geram para penguasa di Jazirah Moloku Kie Raha dan Portugis, Spanyol, maupun Belanda, sebab bajak laut Tobelo dan Galela secara brutal telah mengganggu aktivitas pelayaran di sekitar perairan Maluku. Hal ini jelas memberikan kerugian finansial yang tidak sedikit bagi perdagangan intemasional dari dan ke bandar akhir selat Malaka.
Kejayaan bajak laut Tobelo dan Galela akhirnya berakhir ketika terjadi perpecahan intemal. Operasi bajak laut pun berhenti saat sebagian masyarakat Tobelo dan Galela keluar dari wilayah utara Pulau Halmahera dan secara kolonis menetap di pulau-pulau besar dan kecil, tepat di sebelah selatan Pulau Halmahera. Hingga sekarang masyarakat Tobelo dan Galela yang mendiami Pulau Bacan, Obi, serta pulau-pulau di sekitamya disebut sebagai suku Togale (Tobelo dan Galela). Mereka dianggap sebagai saudara tua. Sementara itu, masyarakat Tobelo dan Galela yang hingga saat ini masih menetap di daerah aslinya dianggap sebagai saudara muda (adik). Adapun makna Filosofis dari ekspedisi Canga pun berubah menjadi perjuangan bergelut dengan zaman, tidak lagi berarti membunuh, seperti yang terjadi pada masa dulu.
Hingga akhir a bad ke-18 operasi Canga (bajak laut) oleh orang Tobelo dan Galela masih berlangsung. Untuk diketahui, nenek dari kakek Penulis adalah seorang bangsawan dari Kerajaan Banggai (Sulawesi) yang diculik pada saat ekspedisi Canga dan dinikahi oleh Kakek dari Kakek Penulis.
Cerita ini didapat dari sumber terpercaya, yang kemudian disinkronkan oleh Penulis dengan menggunakan pendekatan Antropologis.
Gambus
Oleh
agus deden
| 21 Jun 2012.
Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual... |
Hukum Adat Suku...
Oleh
Riduwan Philly
| 23 Jan 2015.
Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dala... |
Fuu
Oleh
Sobat Budaya
| 25 Jun 2014.
Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend... |
Ukiran Gorga Si...
Oleh
hokky saavedra
| 09 Apr 2012.
Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai... |