Kue Keranjang
Apa sih yang sangat identik dari perayaan Imlek? Selain lampion, barongsai, dan pernak-pernik berwarna merah, ada satu makanan khas yang selalu menjadi incaran warga Tionghoa setiap tahunnya. Mungkin teman-teman sudah pernah melihat kue ini di pasar, mall, ataupun supermarket, tetapi belum tau namanya. Kue berwarna cokelat ini dinamakan kue keranjang. Kue keranjang? Bukan berarti kue ini disajikan dalam keranjang lho ya karena penyajiannya hanya dalam bentuk balutan plastik bening nih teman-teman!
Penasaran akan si kue coklat ini? Yuk kita simak bareng-bareng!
Asal Usul Nama
Kue keranjang dalam bahasa mandarin disebut “Nian Gao” atau kue tahunan karena hanya dibuat setahun sekali menjelang perayaan Imlek. “Gao” dalam bahasa mandarin juga dapat diartikan sebagai “tinggi”, dengan maksud rejeki yang diperoleh terus meningkat.
Di Jawa Timur, kue keranjang ini dibuat menggunakan cetakan berbentuk keranjang bolong-bolong. Sedangkan di Jawa Barat, kue ini disebut “Dodol Cina” karena teksturnya kenyal dan lengket seperti kue dodol.
Dalam bahasa hokkien, kue yang terbuat dari tepung ketan dan gula ini disebut “Ti Kwe” yang berarti kue manis.
Makna Kue Keranjang
Kue keranjang merupakan kue wajib dalam perayaan Imlek yang dirayakan oleh warga Tionghoa setiap tahun. Kue keranjang ini mulai dipergunakan sebagai sesaji pada upacara sembahyang leluhur, tujuh hari menjelang tahun baru Imlek dan puncaknya pada malam menjelang tahun baru Imlek. Sebagai sesaji, kue ini biasanya tidak dimakan sampai Cap Go Meh (malam ke-15 setelah tahun baru Imlek).
Dalam tradisi Imlek, terdapat kebiasaan untuk menyantap kue keranjang terlebih dahulu sebelum menyantap nasi. Hal ini bermaksud agar keluarga yang merayakan Imlek dapat memulai tahun baru dengan hal-hal yang manis dan penuh keberuntungan sepanjang tahun.
Kue keranjang ada yang disajikan satuan, tetapi ada juga yang disajikan bertingkat. Kue yang bertingkat ini melambangkan peningkatan dalam hal rezeki atau kemakmuran. Pada zaman dahulu banyaknya atau tingginya kue keranjang menandakan kemakmuran keluarga pemilik rumah. Biasanya kue keranjang disusun ke atas dengan kue mangkok berwarna merah di bagian atasnya. Ini adalah simbol kehidupan manis yang kian meningkat dan mekar seperti kue mangkok.
Filosofi Kue Keranjang
Kue keranjang terbuat dari tepung ketan yang sifatnya lengket. Hal ini bermakna persaudaraan yang erat dan menyatu dalam keluarga. Rasa manis dari gula pun menggambarkan rasa suka cita, berkat, dan kegembiraan dalam hidup.
Bentuk bulat dari kue keranjang melambangkan kebulatan tekad dalam menghadapi tahun yang akan datang, Bentuk bulat dan tidak memiliki sudut sama sekali, melambangkan keluarga yang bersatu dan tidak ada yang membatasi kepentingan keluarga. Diharapkan juga keluarga dapat berkumpul minimal setahun sekali sehingga kerukunan antar anggota tetap terjaga.
Pada bagian atas kue, biasanya ditempeli dengan stiker merah bertuliskan “Fu” yang berarti keberuntungan dan kemakmuran. Pemberian kue keranjang kepada sanak saudara dan orang-orang dekat bermakna agar kita selalu menjaga kerukunan dan komunikasi dengan orang lain.
Kue keranjang biasanya tidak disantap hingga hari raya Imlek berakhir. Daya tahannya yang begitu lama mempunyai arti hubungan yang abadi biarpun jaman telah berubah.
Banyaknya makna dan keberuntungan yang tersirat dari penyajian kue keranjang membuat kue ini tetap lestari hingga saat ini. Bagaimana teman-teman? Tertarik untuk mencoba kue manis ini?
#OSKMITB2018
Balai Padukuhan Klajuran merupakan bangunan dengan arsitektur tradisional Jawa yang ditandai oleh bentuk atap limasan dan kampung. Bangunan ini terdiri dari pendhapa, nDalem, dan gandhok, serta menghadap ke selatan. Pendhapa memiliki denah persegi panjang dan merupakan bangunan terbuka dengan atap limasan srotong yang terbuat dari genteng vlam dan rangkaian bambu yang diikat dengan ijuk. Atap tersebut ditopang oleh 16 tiang kayu, termasuk 8 tiang utama dan 8 tiang emper, yang berdiri di atas umpak batu. Di belakang pendhapa terdapat pringgitan yang menyambung dengan nDalem, yang memiliki denah persegi panjang dan atap limasan srotong dengan atap emper di sebelah timur. Atap nDalem terbuat dari genteng vlam, dindingnya dari bata, dan disangga oleh empat tiang di bagian tengah. nDalem memiliki pintu masuk di bagian tengah serta pintu yang menghubungkan dengan gandhok, dan dilengkapi dengan senthong yang terdiri dari senthong tengen, senthong tengah, dan senthong kiwo. Di sebelah timur n...
Pesanggrahan Hargopeni adalah rumah tinggal milik Keluarga Kadipaten Pakualaman yang didirikan sekitar tahun 1930-an pada masa Paku Alam VII. Bangunan ini dirancang oleh Ir. Wreksodiningrat, insinyur pribumi pertama lulusan Belanda dan kerabat Kadipaten Pakualaman. Pesanggrahan ini pernah digunakan untuk menginap delegasi dari Australia selama Perundingan Komisi Tiga Negara pada 13 Januari 1948. Selama Agresi Militer II, bangunan ini menjadi camp tawanan perang Belanda. Saat ini, Pesanggrahan Hargopeni masih dimiliki oleh Kadipaten Pakualaman. Pesanggrahan Hargopeni adalah bangunan milik Kadipaten Pakualaman yang terletak di Jalan Siaga, Pedukuhan Kaliurang, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman. Difungsikan sebagai tempat penginapan bagi Keluarga Pakualaman, bangunan ini mengusung gaya arsitektur New Indies Style, sebuah perpaduan antara arsitektur modern Belanda dan tradisional Nusantara yang disesuaikan dengan iklim tropis Indonesia. Pesanggrahan Hargopeni menampilk...
Joglo milik Fajar Krismasto dibangun oleh Soerodimedjo (Eyang buyut Fajar Krismasto, seorang Lurah Desa), semula berbentuk limasan. Kemudian dilakukan rehabilitasi menjadi bangunan tradisional dengan tipe Joglo dan digunakan sebagai Kantor Kalurahan Karanglo, tempat pertemuan, pertunjukan kesenian dan kegiatan sosial lainnya. Pada masa perang kemerdekaan, rumah ini digunakan sebagai markas pejuang dan tempat pengungsian Agresi Militer II. Rumah milik Fajar Krismasto merupakan bangunan dengan arsitektur tradisional Jawa tipe Joglo. Mempunyai empat sakaguru di bagian pamidhangan dengan atap brunjung, dan 12 saka pananggap di keempat sisinya. Di ketiga sisi, depan dan samping kiri-kanan terdapat emper. Saka emper terdapat Bahu Danyang untuk menahan cukit. Joglo ini mempunyai lantai Jerambah untuk bagian Pamidhangan dan Pananggap, dan Jogan pada bagian Emper. Di bagian depan dengan dinding dari kayu atau biasa disebut gebyok, sedangkan di bagian lain dengan tembok. Lantainya menggunakan t...
Ginonjing adalah istilah yang digunakan untuk menamai emansipasi Kartini. Istilah tersebut diambil dari nama gending Ginonjing yang digemarinya dan adik-adiknya. Ginonjing berasal dari kata gonjing dalam bahasa Jawa yang berarti "goyah karena tidak seimbang". Ginonjing juga bisa berarti “digosipkan”. Ungkapan ini mengingatkan kepada gara-gara dalam pewayangan yang memakai ungkapan gonjang-ganjing . Menurut St. Sunardi, istilah itu dipilih Kartini sendiri untuk melukiskan pengalaman batinnya yang tidak menentu. Saat itu, dia sedang menghadapi zaman baru dan mencoba menjadi bagian di dalamnya.
Vila Van Resink adalah bangunan cagar budaya berbentuk vila yang terletak di Jalan Siaga, Kalurahan Hargobinangun, Kapanewon Pakem, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Pemilik awal vila ini adalah Gertrudes Johannes "Han" Resink, seorang anggota Stuw-groep , sebuah organisasi aktif pada Perang Dunia II yang memperjuangkan kemerdekaan dan pembentukan negara demokratis Hindia Belanda. Bangunan tersebut dibangun pada masa pemerintah Hindia Belanda sebagai bagian dari station hill (tempat tetirah pada musim panas yang berada di pegunungan) untuk boschwezen dienst (pejabat kehutanan Belanda). Pada era Hamengkubuwana VII, kepengelolaan Kaliurang (dalam hal ini termasuk bangunan-bangunan yang berada di wilayah tersebut) diserahkan kepada saudaranya yang bernama Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Mangkubumi. Tanah tersebut lantas dimanfaatkan untuk perkebunan nila, tetapi kegiatan itu terhenti kemudian hari karena adanya reorganisasi pertanian dan ekonomi di Vors...