Cerita Rakyat
Cerita Rakyat
Cerita Rakyat Jawa Tengah Demak
Kisah Ki Ageng Selo, Sang Penakluk Kilat
- 13 Juli 2018

KEHEBATAN Ki Ageng Selo tak asing lagi bagi penduduk sekitar. Bahkan tersohor hingga ke berbagai negeri. Banyak ora…ng datang padanya dengan berbagai tujuan. Ada yang ingin berguru, ada pula yang datang sekadar untuk minta doa atau disembuhkan dari penyakit yang dideritanya. Kesaktian Ki Ageng Selo tak hanya sampai di situ. Ia pun dapat menangkap kilat yang menyambar-nyambar saat hujan tengah membasahi bumi. Dialah manusia yang ditakuti kilat.

Suatu hari, Ki Ageng Selo sedang asyik duduk di masjid sambil bermunajad. Tangannya memutar-mutar tasbih dan mulutnya tak henti-henti berdzikir. Sementara itu, di luar hujan mengguyur bumi dengan derasnya. Suasana itu tidak mengganggu kekhusyukan Ki Ageng Selo sama sekali. Bahkan, ia semakin khusyuk. Suara hujan menjadi irama tersendiri dalam hatinya untuk menyenandungkan nama-nama Ilahi.

Namun keadaan menjadi lain ketika kilat datang. Menyambar-nyambar di atas kubah masjid. Penduduk desa takut karenanya. Ki Ageng Selo sejenak membiarkannya. Mungkin hanya sebentar saja mengganggu, batinnya. Semakin dibiarkan, semakin kencang dan sering pula kilat itu menyambar-nyambar. Suaranya menggelegar, memekakkan telinga, membuat anak-anak meringkuk di atas kasurnya, dalam pelukan ibunya. Sementara orang-orang dewasa tak meneruskan pekerjaannya.

Di dalam masjid, Ki Ageng Selo mencoba tetap berkonsentrasi pada dzikirnya. Tetap khusyuk pada wiridnya.

Tiba-tiba di luar masjid penduduk desa berteriak-teriak. Tingkah kilat makin menjadi-jadi. Beberapa pohon tumbang disambarnya. Beberapa rumah roboh ikut terbakar. Mendengar kegaduhan itu, Ki Ageng Selo tak lagi bisa konsentrasi dan khusyuk berdzikir. Maka keluarlah Ki Ageng Selo.

Begitu Ki Ageng Selo sampai di ambang masjid, penduduk desa sudah menyambutnya dengan berbagai keluhan agar Ki Ageng Selo mau menolong mereka.

“Rumah saya, Ki. Sudah terbakar gara-gara kilat itu,” kata salah seorang penduduk.

“Rumah saya juga, hancur karena pohon di depan rumah tumbang gara-gara disambar kilat jahat itu,” kata yang lainnya.

“Lihatlah anak saya, Ki. Kakinya patah terkena reruntuhan rumah,”

Ki Ageng Selo tak banyak bicara. Ia memandangi satu-persatu wajah penduduk yang menyiratkan kesedihan sebab kehilangan harta bendanya.

“Masuklah kalian ke dalam masjid,” suruh Ki Ageng Selo kepada penduduk desa. “Jangan lupa cuci kaki kalian dulu.” Lanjutnya memperingatkan.

Perlahan kaki Ki Ageng Selo melangkah menuruni anak tangga masjid. Sebelum sampai ke tanah, ia berhenti sejenak. Matanya terpejam, bibirnya bergerak-gerak tanda memanjatkan doa.

Setelah selesai dengan ritual kecil tersebut, Ki Ageng Selo lantas melangkahkan kaki dengan mantap.

Aneh! Kata penduduk desa. Hujan yang begitu derasnya, tanpa payung tanpa topi, sama sekali tak membasahi baju Ki Ageng Selo, sedikit pun. Mata penduduk desa terheran-heran menyaksikan kejadian di depan mereka. Mereka tak pernah menyaksikan hal itu sebelumnya.

Langkah kaki terus semakin mantap. Langkah yang aneh. Tak seperti manusia biasa. Tapi ia memang manusia. Manusia yang dikasihi Tuhan. Manusia yang dekat dengan Tuhan.

Langkah aneh itu lama kelaman tidak menyentah tanah. Kaki tetap melangkah tapi tanpa berpijak pada tanah. Hanya angin yang menopang langkahnya menuju lapangan besar di depan masjid, orang-orang menyebutnya alun-alun.

Sampai di tengah alun-alun, Ki Ageng Selo berhenti, tak berbuat apa-apa. Diam. Hanya menyilangkan tangannya di depan dadanya. Sejenak ia menundukkan kepalanya, mungkin berdoa lagi. Lantas mendongakkan kepalanya ke atas langit. Masih diam. Tapi matanya nanar menatap langit.

Ketakutan penduduk desa semakin menjadi-jadi. Kejadian langkah seperti tak pernah mereka saksikan. Yang laki-laki menatap dengan tatapan yang mengherankan pada orang yang mereka kagumi itu di tengah alun-alun, yang perempuan mendekap anaknya yang ketakutan. Semua penduduk merapatkan barisan.

Sang kepala desa berdiri di tengah-tengah penduduk desa.

“Saudara-saudara semua, mari kita panjatkan doa kepada Tuhan sebisa mungkin, agar Ki Ageng Selo selamat dan dapat menghentikan bencana ini.”

“Ya. Mari…” sambut penduduk.

Mulut semua penduduk lantas berkomat-kamit. Tak banyak dari penduduk yang tak hafal doa, bahkan ada yang tidak bisa sama sekali. Tapi mereka berupaya semampu mereka. Mengeja apa yang mereka tahu sebagai doa.

Sementara itu, di atas alun-alun depan masjid, suara guntur dan sambaran kilat makin menjadi-jadi. Langit makin gelap. Mendung berputar-putar melingkar di atas alun-alun.

Seketika mulut penduduk desa menjerit. Sekelebat cahaya penuh amarah menyambar Ki Ageng Selo yang berada di tengah-tengah lapangan. Semuanya menutup mata dan menyembunyikan wajah, seolah takut menerima kenyataan.

“Masyaallah. Astaghfirullah.” seru salah seorang penduduk yang mengagetkan penduduk lainnya.

Bukan kelegaan yang mereka lihat. Tapi justru ketegangan semakin memompa darah. Tak disangka-sangka, kilat yang selama ini ditakuti manusia, sekarang berada di tangan Ki Ageng Selo. Sungguh pemandangan yang mengagumkan. Lantas terjadi dialog di antara keduanya.

“Wahai, Kilat. Berhentilah mengganggu penduduk sekitar.” Kata Ki Ageng Selo kepada kilat yang berada di tangannya.

“Baiklah. Aku tidak akan mengganggu penduduk lagi, juga beserta anak-cucumu.” Jawab Kilat.

Lega juga hati penduduk desa. Selesai juga peristiwa menegangkan itu. Penduduk desa menyambut Ki Ageng Selo penuh rasa haru dan menyalami tangannya dengan mencium tangannya.

Besoknya para penduduk membuat gambar kilat yang pada kayu berbentuk ukiran sebesar pintu masjid. Lantas mereka menyerahkannya kepada Ki Ageng Selo. Dengan senang hati Ki Ageng Selo menerimanya dan dipasang di pintu depan masjid Demak. Dan masih bisa dilihat hingga sekarang.

Sejak saat itu kilat tak lagi membuat kacau dan mengganggu penduduk. Hanya sesekali bersuara di atas desa itu. Penduduk desa semakin rajin menunaikan ibadah di masjid dan menghentikan pekerjaan mereka ketika adzan berkumandang.

Selain itu, ketika hujan dan kilat datang, anak-anak dan penduduk desa tak lagi takut. Jika ada kilat yang menyambar, mereka akan mengatakan dengan tenang, “Aku cucunya Ki Ageng Selo.”

Sumber: https://duniakeris.com/legenda-sungai-serayu-mitos-serta-laku-paripurnaning-dumadi/

Diskusi

Silahkan masuk untuk berdiskusi.

Daftar Diskusi

Rekomendasi Entri

Gambar Entri
Tradisi MAKA
Seni Pertunjukan Seni Pertunjukan
Nusa Tenggara Barat

MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...

avatar
Aji_permana
Gambar Entri
Wisma Muhammadiyah Ngloji
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
SMP Negeri 1 Berbah
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Pabrik Gula Randugunting
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Kompleks Panti Asih Pakem
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja

avatar
Bernadetta Alice Caroline