|
|
|
|
Kisah Cinta Legendaris Putri Dyah Kasmala dan Resi Ajar Windusana dari Kerajaan Majapahit Tanggal 13 Nov 2018 oleh Aze . |
Kisah percintaan para keluarga Kerajaan Majapahit selalu menarik untuk disimak. Dalam kisah Babad Tanah Jawa disebutkan bahwa Prabu Brawijaya adalah Raja Majapahit yang terakhir memerintah salah satu kerajaan besar di Nusantara ini. Sang Prabu berwajah tampan sebagai Hyang Asmara turun ke Bumi, adil dalam memerintah negara serta termasyhur sebagai raja yang senantiasa jaya dalam perang, hingga namanya terkenal di seluruh jagat. Ia mempunyai seorang putri yang sangat elok parasnya, cahayanya mengalahkan segala keindahan, namanya Putri Dyah Kasmala.
Sang putri telah dinikahkan tujuh kali, tetapi karena ia menderita sakit berbisa, suaminya semua meninggal. Kebahagiaan sang putri hanya berlangsung singkat karena setiap kali menikah dengan pria, maka pria tersebut meninggal dunia tak lama setelah melangsungkan malam pertama. Sang Maharaja sangat prihatin, bahkan agak merasa malu, hingga ia hampir tak pernah keluar dari keraton. Ia senantiasa ada di dalam sebuah gedung di taman indah, yang disebut Gupit Langenadi.
Sayembara Sang Raja
Cerita rakyat Jawa Timur ini menyebutkan bahwa pada suatu hari ia memanggil patihnya bernama Gajah Mada. Para abdi keraton tak diperkenankan menghadap kepadanya, kecuali Sang Nindyamantri atau Perdana Menteri, sebab ia hendak membicarakan sesuatu yang bersifat rahasia.
Sang Maharaja bersabda, “Hai Patih, dengarkanlah kataku, aku sangat berdukacita karena anak putriku Dyah Kasmala yang menderita sakit aneh. Setiap pria yang menikah dengannya pasti akan meninggal dunia. Bagaimanakah cara mengatasi masalah ini?”
Sang Patih menjawab sambil menyembah, “Ya daulat Tuanku, dijauhkanlah kiranya hambamu daripada murka Sang Raja. Sebaiknya Sri Paduka memerintahkan kepada para pertapa agar barang siapa dapat menyembuhkan sang putri dari sakitnya yang sangat aneh itu, ia akan dinikahkan dengan Sang Putri. Andai kata ia tak pantas menjadi menantu Sang Raja, kepadanya akan diberikan kedudukan yang penting.” Sang Raja bersabda dengan kata manis, “Hal ini sangat kusetujui, perintahkanlah kepada para hulubalang dan pendeta masing-masing dengan rahasia, jangan sampai terdengar oleh orang yang tak diharapkan.”
Patih Gajah Mada segera melaksanakan perintah sang raja dengan patuh. Ia menyebarkan berita tersebut kepada orang-orang tertentu yang dikenalnya memiliki sifat mulia, berasal dari keturunan resi dan memiliki kesaktian tinggi. Berita ini sengaja tidak disebarkan kepada masyarakat umum untuk menghindari masuknya pria yang bukan berasal dari keluarga jelata.
Salah satu resi yang diberitahukan kabar tersebut berada di Gunung Mahameru. Terdapat seorang pertapa di gunung Mahameru yang tidak pernah putus dalam mencari ilmu dan pengetahuan, bernama Ajar Kutawindu. Pada hari itu Ajar Kutawindu mengunjungi adiknya di gunung Merbabu, Ajar Windusana. Kakaknya diterima di bawah pohon sambil menghirup hawa yang segar di halaman ruang pemujaan.
Ketika mereka berdua asyik membicarakan ilmu, datanglah para utusan Sang Raja, yang dipersilakan masuk ke dalam rumah. Setelah selamat datang diucapkan kepadanya, Sang Ajar bertanya, apakah maksud kedatangannya. Mereka menyampaikan segala perintah Sang Raja. Sang Resi Kutawindu memberitahukan kepada adiknya yang duduk dekat padanya, bahwa sang Putri menderita sakit berbisa. Tak ada seorang pun yang mengetahui rahasia itu, Ajar Windusana mendapat petunjuk dari kakaknya, bagaimana caranya memusnahkan bisa itu. Maka berkatalah ia kepada para utusan Sang Raja, bahwa ia sanggup menyembuhkan Sang Putri daripada sakitnya.
Kesaktian Ajar Windusana
Kisah legenda dari Jawa Tengah menyebutkan bahwa Ajar Windusana pun ikut serta dengan para utusan menuju ke keraton Majapahit. Setibanya di Kepatihan para utusan melaporkan perjalanannya mulai awal sampai akhir. Sang Ajar lalu diantarkan menghadap kepada Sang Raja. Sang Raja memandang dengan senang hati kepada Sang Ajar yang tampan dan serba bersahaja di dalam tingkah lakunya.
Dengan kata yang lemah lembut Sang Raja bertanya, apakah Sang Ajar sudah lama bertapa dan mempunyai siswa banyak? Dijawabnya dengan rendah hati, “Demikianlah agaknya, tapi janganlah Sang Raja mengira, bahwa hamba telah putus dalam ilmu sastra, bahkan masih sangat banyak kekurangannya.”
Sang Ajar kembali berkata, “Hamba tinggal di lereng gunung, berumah di desa mengolah kebun dan ladang, lama-kelamaan banyak orang yang ikut serta bertani. Patik tak mengajak atau menghimpun mereka, dengan sukarela mereka ikut padi gaga dan berdiam bersama-sama dengan kami. Oleh karena kami menetap di desa, jika sedang tak ada pekerjaan, sebagai orang tua, hamba memberi pelajaran sedapat-dapatnya, sekedar mengisi waktu yang terluang, menjauhkan diri dari pada kejahatan. Sesungguhnya patik masih bodoh, namun disebut pandai. Menurut rasa patik sendiri tak pantas disebut pendeta.”
Sang Raja sungguh berkenan mendengar kata-kata Ajar Windusana yang sangat merendahkan diri, lalu bersabda dengan lemah lembut. “Hai Sang Ajar, apakah engkau sanggup mengobati anakku seperti yang dikatakan oleh para utusan kepadaku?”
Sang Ajar menjawab dengan sembahnya, “Ya Tuanku, hamba telah mengatakan dengan sesungguhnya, tiada lain hamba mohon restu dari Baginda Raja untuk melaksanakan perintah tersebut.”
Sebentar kemudian Ajar Windusana diperkenankan keluar dari keraton dan diantarkan kembali ke kepatihan. Langkah pertama untuk menyembuhkan Putri Dyah Kasmala adalah dengan menikahinya. Pada hari yang sudah ditetapkan Ajar Windusana pun dinikahkan dengan Sang Putri menurut adat keraton. Di dalam kebun keraton yang indah diadakan pesta perkawinan yang sangat meriah. Sehabis perjamuan pada malam hari itu Sang Ajar membujuk dan merayu Sang Putri dengan kata-kata manis, terkena hatinya hingga tertidur.
Sang Ajar telah bersedia menghadapi bahaya seperti yang dipesankan kakaknya. Tibatiba keluarlah seekor ular dari bawah bantal Sang Putri hendak memagutnya. Dengan tangkasnya Sang Ajar menghunus kerisnya dan memenggal kepala ular itu. Darahnya memancar keluar. Sang Putri pun tiba-tiba terbangun dan melihat suaminya memegang keris terhunus, timbul perkiraan bahwa Sang Ajar akan membunuhnya. Maka dengan ratap tangisnya Sang Putri mengadukan kepada Sang Raja tentang peristiwa itu.
Murka Sang Raja
Mendengar berita tersebut Sang Raja sangat murka, lalu raja memerintahkan abdi penjaga keraton untuk menangkap Sang Ajar. Dengan sangat tergesa-gesa Sang Ajar membawa bangkai ular keluar lewat pintu belakang. Setelah ia tiba di tamansari bangkai ular disampirkan pada sebatang pohon dekat pintu, agar mudah ditemukan oleh para hamba kraton yang mengejarnya. Sang Ajar melarikan diri menyusup lewat pipa air di bawah tembok keraton.
Tamansari diobrak-abrik, tetapi Sang Ajar tidak ditemukannya. Yang didapatnya hanya secarik kertas dengan tulisan, yang terlampir pada bangkai ular dan diberikan kepada Sang Raja. Setelah membaca surat itu, Sang Raja sangat keheranan. Demikian juga Sang Patih sangat terharu. Dengan segera Sang Raja memerintahkan untuk mengirimkan utusan ke gunung Mahameru untuk menanyakan apakah Ajar Windusana berada di sana.
Sang Patih keraton kemudian mengirimkan utusan ke Mahameru, tapi yang dijumpai hanya Ajar Kutawindu, sebab Ajar Windusana tidak singgah di sana, mungkin langsung pulang ke gunung Merbabu. Setelah mendapat keterangan itu para utusan kembali ke keraton menyampaikan hasil utusannya kepada Sang Raja. Sang Raja sangat menyesal karena telah berburuk sangka kepada Sang Ajar. Ia bertekad menebus kesalahannya dengan cara mengirim Putri Dyah Kasmala kepada suaminya yang baru dinikahinya, yaitu Putri Dyah Kasmala.
Pada waktu itu Sang Raja berkehendak menyusulkan Sang Ratna Kasmala ke gunung Merbabu. Hal ini disetujui oleh Sang Patih. Dan Sang Putri pun menurut saja apa yang diperintahkan Sang Ayah. Sang Putri pun menyesal karena terburu-buru mengambil keputusan telah menuduh suaminya yang bukan-bukan. Sang Putri kiranya telah benarbenar jatuh cinta pada Ajar Windusana. Para abdi keraton menyiapkan kereta dengan hiasannya, dan setelah siap Sang Putri dengan dayang-dayangnya lalu berangkat menuju ke gunung Merbabu.
Asmara Ajar Windusana
Cerita rakyat Jawa Tengah berlanjut dengan pergulatan batin Ajar Windusana. Ia sangat mencintai Putri Dyah Kasmala namun ia sedih mengapa Sang Putri tega menuduhnya akan membuat celaka. Ajar Windusana berjalan kaki meninggalkan keraton. Ia ingin memadamkan api asmara yang terlanjur berkobar di hatinya. Setelah fajar mulai menyingsing ia pun tiba di tengah hutan. Ia berhenti di bawah sebuah pohon, badannya lelah, lesu, maka teringatlah ia akan istrinya. Wajah Sang Putri, yang cantik masih terbayang-bayang di dalam mata hatinya.
Ajar Windusana berusaha menghibur duka di hatinya. Ia tidak ingin berlama-lama terlarut dalam kesedihan. Yang tampak di depannya saat itu adalah keindahan Sang Surya yang mulai terbit mengeluarkan sinar kemerah-merahan menghiasi ufuk timur bagaikan hutan terbakar, yang menambah rasa rindunya kepada istrinya, sampaisampai Sang Ajar menitikkan air mata.
Sebentar lagi matahari akan condong ke barat, dan tampaklah sinar merah di lereng gunung yang sangat indah bagaikan lukisan pemandangan alam. Margasatwa yang biasanya keluar pada waktu malam mencari tempat persembunyian, ular dan anjing hutan berebutan hendak berlindung di dalam gua, babi hutan dan harimau kumbang masuk ke dalam lubang yang lebih dalam.
Kijang dan rusa berlari-lari kian ke mari, tatkala mendengar auman harimau, mencari perlindungan di tengah semak-semak, bergiliran dengan hewan-hewan, yang berkeliaran pada siang hari. Ramai suara burung-burung menyongsong kedatangan Sang Matahari yang baru terbit. Ayam hutan bertengger di tempat yang agak gelap, yang kelihatan hanya jengger sebagai bunga merah. Burung elang berpasang-pasangan melayang di angkasa sambil memperhatikan mangsanya, yang secepat kilat disambarnya. Tupai berkejar-kejaran menurutkan dahan-dahan pohon. Lutung dan kera tak terbilang banyaknya melompat dari cabang ke cabang. Di cabang yang tertinggi mereka itu bergantungan dan berayun-ayun. Terdengarlah suara burung merak yang seolah-olah menghibur yang sedang dalam kesusahan. Dengan hati yang sedih, berdirilah Sang Resi lalu berjalan perlahan-lahan. Jalannya sangat sulit, sangat berbahaya. Ia harus menerobos hutan rotan yang saling berbelit. Meloncati batu karang yang tajam serta turun jurang yang curam, yang terhalang oleh batu melintang sukar dilalui untuk mencapai tempat yang ditujunya.
Di sela-sela gunung ia menempuh jalan licin yang dibasahi air yang selalu merembes, hatinya mulai agak gembira melihat keindahan air itu. Mata air yang memancarkan air jernih kena sinar matahari tampak berkilau-kilauan terkumpul di tempat yang mendaki, melalui daun-daunan mengalir ke batu-batu gunung dan memercik bagaikan intan berhamburan. Air yang terkumpul di lembah di dataran rendah tampaknya sebagai telaga dengan dasar batu karang, sungguh indah. Banyak burung-burung mencari ikan-ikan kecil yang berkeliaran di tengah sawah. Burung urang-urangan mengintai dan sebentar meluncur ke bawah menangkap seekor ikan, terbang ke atas lagi. Burung bangau berdiri pada satu kaki dengan sabar menantikan munculnya ikan makanannya. Ketika terpandang daun ganggeng yang samar-samar hijau, berhentilah Sang Ajar menikmati keindahan air itu.
Cinta Berakhir Bahagia
Ajar Windusana kemudian mulai ia bersemedi di sebuah batu. Ia bersembahyang untuk memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar ia segera bisa bertemu dengan kekasihnya, ia melanjutkan perjalanannya kembali. Ajar Windusana berjalan menempuh bahaya, akhirnya tibalah ia di pertapaan. Timbullah kesedihannya lagi karena ia teringat akan Dyah Kasmala, yang terasa semakin berat walau dilupa-lupakan tak bisa terhibur.
Siang dan malam terbayang-bayang segala tingkah laku Sang Putri, rindu hatinya makin memberat. Para punggawa keraton yang diutus mengantarkan Sang Putri sangat menarik perhatian orang banyak dalam perjalanannya. Tak terbilang banyaknya para bupati dan punggawa yang mengiringkan kereta Sang Putri, gamelan berbunyi terus, suaranya sangat merdu sebagai arak-arakan prajurit yang pulang dari medan perang memboyong putri.
Di sepanjang jalan penuh orang berjejal-jejal menonton. Siang dan malam jalannya dipercepat, agar segera sampai di tempat tujuannya. Akhirnya tibalah mereka itu di gunung Merbabu. Waktu Sang Ajar Windusana mendengar berita tentang kedatangan Sang Putri, ia sangat bergembira. Segera bersiap-siaplah ia diiringkan oleh para cantrik serta putut untuk menyongsong kedatangan rombongan dari keraton.
Mereka itu berhenti di bawah pohon beringin, mengelu-elukan para hulubalang dan punggawa, lalu dipersilakan mereka masuk ke dalam padepokan atau pasramaan. Sang Putri dengan dayang-dayangnya masuk ke dalam rumah Sang Ajar, sedang para petugas dan tentara dipondokkan di rumah para cantrik. Setelah mereka itu duduk sebentar, pengulu utusan menyampaikan pesan dari Sang Raja. “Sang Begawan, Sang Maharaja mengirimkan salam hormat kepada Sang Resi. Sang Raja telah mengetahui segala peristiwa dengan perantaraan surat yang dikalungkan pada bangkai ular di waktu malam. Sang Raja kelihatan sangat bersusah hati, mengingat akan kealpaannya,” ujar utusan raja.
Utusan raja kembali berkata, “Dengan segera ia lalu memberi perintah untuk menyusul Sang Bagawan ke gunung Mahameru. Tetapi kakanda tuan memberitahukan, bahwa tuan tidak singgah di padepokannya. Sang Raja lalu memberi perintah untuk menyusulkan putrinya ke gunung Merbabu. Sang Raja minta beribu-ribu maaf atas kesalahannya, janganlah hal itu menyebabkan masygul hati Sang Wiku.”
Sang Ajar menjawab atas pesan Sang Raja, “Ya duta Narendra, hal ini tak menyebabkan syak hatiku, sebab itu telah menjadi kehendak Sang Dewa Agung. Segala kehendak Sang Dewata tentu terlaksana, tak ada yang dapat menghalang-halangi. Apakah yang wajib kita katakan lagi, asal kita mendapat keselamatan kita harus mengucapkan puji syukur kepada-Nya.”
Diperintahkan kepada para cantrik menghidangkan jamuan dengan sekadarnya: palawija, hasil dari pegunungan, buah-buahan, nipah dan kelobot yang telah dihaluskan, di dalam talam kecil beserta tembakaunya. Para Senopati mengisapnya dengan nikmat.
Pada malam hari itu mereka duduk-duduk sambil bersuka ria dengan sepuas-puasnya. Gamelan dipukul terus-menerus dengan suara yang merdu, hingga terdengar sampai jauh. Orang pedesaan berbondong-bondong menyaksikan kedatangan para tamu agung yang baru pertama kali itu dilihatnya.
Ajar Windusana dan Putri Dyah Kasmala kemudian hidup dengan bahagia di desa. Mereka berdua menjalani kehidupan sederhana dan saling menyayangi. Kelak mereka akan memiliki anak yang bernama Naga Baru Kelinting, salah satu tokoh sakti dan legendaris dari Gunung Merbabu. Demikian The Jombang Taste membagikan kisah legenda percintaan Putri Dyah Kasmala dari Kerajaan Majapahit dan Resi Ajar Windusana. Amanat cerita rakyat dari Jawa Timur ini adalah bahwa cinta sejati tidak akan pernah salah memilih meski waktu kadang tidak berpihak pada kita. Pesan moral yang terkandung dalam kisah legenda Nusantara mengenai Putri Dyah Kasmala adalah agar kita jangan mudah menuduh orang lain berbuat jahat sebelum mendengar penjelasannya secara utuh. Selain itu, kisah percintaan para keluarga Kerajaan Majapahit ini mengingatkan kita bahwa orang yang dikuasai amarah tidak akan bisa berpikir jernih.
sumber : http://agussiswoyo.com/cerita-rakyat/kisah-cinta-legendaris-putri-dyah-kasmala-dan-resi-ajar-windusana-dari-kerajaan-majapahit/
Gambus
Oleh
agus deden
| 21 Jun 2012.
Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual... |
Hukum Adat Suku...
Oleh
Riduwan Philly
| 23 Jan 2015.
Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dala... |
Fuu
Oleh
Sobat Budaya
| 25 Jun 2014.
Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend... |
Ukiran Gorga Si...
Oleh
hokky saavedra
| 09 Apr 2012.
Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai... |