Untuk mendidik rakyat Pamekasan agar mencintai lingkungan hidup, Pangeran Ronggosukowati senang memelihara ikan hias. Oleh karena itu, pada waktu kota Pamekasan di bawah kekuasaan Pangeran Ronggosukowati, ia memerintahkan pembuatan Kolam Si Kool di belakang Keraton Mandiraras. Ikan-ikan hias yang amat disenangi orang terdapat disana. Di tepi kolam Si Kool ditanami bunga beraneka warna dan pepohonan pelindung yang amat rindang.
Dalam waktu senggangnya, Pangeran Ronggosukowati dan Ratu Inten, isterinya, sering bercengkerama di sana. Tak seorang pun yang berani mendekati kolam itu, apa lagi mengambil ikan kesayangan Sang Pangeran dari Pamekasan ini. Untuk menjaga kebersihan kolam, Pangeran Ronggosukowati memiliki petugas khusus. Tak sembarang orang yang diizinkan berada di kolam itu. Sehingga Kolam Si Ko’ol kelihatan berwibawa dan cukup angker.
Kunjungan Pangeran Lemah Duwur Dari Bangkalan
Diceritakan bahwa Pangeran Lemah Duwur dari Keraton Anyar di wilayah Arosbaya, kota Bangkalan melakukan kunjungan ke keraton Pamekasan. Semula rombongan Pangeran Lemah Duwur akan bermalam di Pamekasan, mengingat perjalanannya yang akan ditempuhnya amat jauh, ditambah pula setelah keluarga Keraton Mandiraras menyilakan mereka beristirahat di pesanggrahan yang letaknya tidak jauh dari kolam si Ko’ol, maka senanglah mereka.
Pangeran Lemah Duwur memutuskan beristirahat di Keraton Mandiraras. Sebelum shalat ashar, Pangeran Lemah Duwur sudah bangun dari tidur siangnya. Kemudian dia duduk di teras depan pesanggrahan. Pandangannya dilayangkan ke kolam Si Kool yang anggun tersebut.
Pangeran Lemah Duwur Ingin Melihat Kolam Si Ko’ol
Pangeran Lemah Duwur bergumam bahwa hanya kolam itulah yang belum pernah dilihatnya. Kemudian Pangeran Lemah Duwur mengajak sebagian rombongannya untuk melihat kolam itu tanpa sepengetahuan Pangeran Ronggosukowati karena pada waktu itu ia masih berada di dalam Keraton Mandiraras.
Walau demikian, rombongan tamu agung dari Arosbaya itu disambut dengan ramah oleh penjaganya, kemudian terjadilah percakapan. Pangeran Lemah Duwur bertanya apakah dia boleh masuk untuk melihat keindahan kolam Si Ko’ol. Penjaga tersebut meminta maaf karena tidak bersedia membuka pintu menuju kolam.
Penjaga kolam Si Ko’ol mengatakan bahwa setiap orang yang akan mengunjungi kolam harus meminta ijin langsung kepada Pangeran Ronggosukowati. Dan tidak sembarang orang yang diizinkannya karena kolam ini adalah tempat untuk menenangkan, menyatukan pikiran dan perasaan, ketika beliau sedang menghadapi masalah yang agak ruwet pemecahannya. Selama ini, hanya Kanjeng Ratu Inten yang diperbolehkan masuk ke lokasi kolam Si Ko’ol.
Salah Paham Antara Pangeran Lemah Duwur Dan Pangeran Ronggosukowati
Dengan penuh rasa hormat, penjaga kolam si ko’ol yang terpercaya itu pergi menghadap Pangeran Ronggosukowati untuk meminta ijin membukakan pintu untuk Pangeran Lemah Duwur dari keraton Arosbaya. Pada saat itu Pangeran Ronggosukowati sedang tertidur pulas. Maka penjaga tidak berani membangunkan tidur sang raja.
Sementara itu Pangeran Lemah Duwur gelisah menanti kembalinya sang penjaga pintu gerbang kolam. Dia sudah lama berdiri di depan pintu kolam Si Ko’ol tetapi yang ditunggunya belum datang juga. Ia menyangka Pangeran Ronggosukowati tidak mengizinkannya. Berbagai perasaan dan prasangka buruk timbul di pikirannya. Demikian pula sumpah serapah telah dilontarkan kepada Pangeran Ronggosukowati.
Akhirnya Pangeran Lemah Duwur mengajak pulang rombongannya kembali ke keraton Arosbaya tanpa berpamitan kepada Pangeran Ronggosukowati selaku pemimpin keraton Mandiraras. Saat penjaga kolam kembali, alangkah terkejut ia karena Pangeran Lemah Duwur sudah pergi dari sana. Hal itu dianggap sebagai perilaku tidak baik.
Penjaga tersebut melaporkan kejadian ini kepada Pangeran Ronggosukowati yang baru terbangun dari tidurnya. Pangeran Ronggosukowato gusar mendengar laporan itu. Ia merasa diperlakukan secara tidak baik. Oleh karena itu, ia langsung menghunus keris Joko Piturun dan mengejar Pangeran Lemah Duwur ke Arosbaya. Tetapi Pangeran Lemah Duwur sudah pergi jauh dari Keraton Mandiraras. Melihat Pangeran Ronggosukowati marah, tak seorangpun berani mendekatinya.
Pangeran Lemah Duwur Bertemu Adipati Madegan Sampang
Sesampai di Sampang, rombongan Pangeran Lemah Duwur beristirahat sebentar di bawah pohon waru yang rindang. Ia menyandarkan dirinya di pohon itu. Sesaat kemudian datanglah adik Pangeran Ronggosukowati yang menjadi Adipati Madegan, Sampang. Adipati Madegan mengundang Pangeran Lemah Duwur untuk beristirahat di Kadipaten Madegan.
Tawaran Adipati Madegan tersebut bukannya diterima dengan senang hati, malah menimbulkan amarah Pangeran Lemah Duwur. Tanpa memberi jawaban, ia beranjak dari tempat duduknya lalu bergegas meninggalkan tempat itu bersama rombongannya. Adipati Madegan heran dengan sikap Pangeran Lemah Duwur. Kejadian apakah yang sedang menimpa kangmas nya tersebut, ia bertanya dalam hati.
Tidak lama kemudian, ketika matahari mulai terbenam di ufuk barat, datanglah Pangeran Ronggosukowati dengan menunggang kuda putih. Dengan tergopoh-gopoh, dari atas kuda putih Pangeran Ronggosukowati bertanya apakah Pangeran Lemah Duwur dan rombongannya tadi lewat kadipaten Madegan.
Adipati Madegan menceritakan pertemuannya dengan Pangeran Lemah Duwur. Pangeran Ronggo Suko Wati pun ikut menceritakan kedatangan Pangeran Lemah Duwur di Pamekasan dan maksud mereka untuk masuk ke area kolam Si Ko’ol tidak terlaksana. Pangeran Ronggo Suko Wati berniat untuk mengejar rombongan Pangeran Lemah Duwur. Tetapi keinginan tersebut berhasil dicegah oleh Adipati Madegan.
Kesaktian Keris Joko Piturun Membunuh Pangeran Lemah Duwur
Karena Pangeran Ronggosukowati menuruti nasehat adiknya, maka ia hanya menusukkan kerisnya pada batang pohon waru tempat Pangeran Lemah Duwur bersandar tadi. Saat menusukkan kerisnya, Pangeran Ronggosukowati berkata, “Wahai pohon waru. Sebenarnya aku tidak bermaksud membunuhmu, akan tetapi dengan keris sakti Joko Piturun ini, ku bunuh Pangeran Lemah Duwur yang tak tahu diri.”
Pada malam hari itu juga, Pangeran Lemah Duwur bermimpi kejatuhan keris sakti Joko Piturun milik Pangeran Ronggosukowati. Keris itu menancap di punggungnya. Ajaib sekali. Begitu Pangeran Lemah Duwur terbangun dari tidurnya, seluruh badannya terasa panas. Rasa panas itu diakibatkan oleh bisul kecil yang ada di punggungnya yang tertancap keris dalam mimpinya. Bisul itu berwarna merah dan semakin lama semakin membesar sehingga Pangeran Lemah Duwur pingsan.
Keesokan harinya, di seluruh Madura tersiar kabar bahwa Pangeran Lemah Duwur wafat. Berita duka ini terdengar juga oleh Pangeran Ronggosukowati. Ia sangat menyesal atas tindakannya dua hari lalu. Menurut perhitungan akal, kalau tidak karena keris Joko Piturun, kiranya Pangeran Lemah Duwur masih panjang umurnya. Kesaktian Keris Joko Piturun secara tidak langsung telah membunuh Pangeran Lemah Duwur.
Pangeran Ronggosukowati Membuang Keris Joko Piturun Ke Kolam Si Ko’ol
Penyesalan Pangeran Ronggosukowati selalu menghantui pikirannya. Ia merasa bahwa dirinya senantiasa dikejar-kejar oleh perasaannya sendiri. Ia baru menyadari bahwa dirinya terlalu emosi dan berprasangka buruk terhadap mendiang Pangeran Lemah Duwur. Akibat terburu-buru mengambil dugaan, maka Pangeran Ronggosukowati secara tidak langsung telah membunuh Pangeran Lemah Duwur melalui tuah Keris Joko Piturun.
Oleh karena rasa penyesalan yang mendalam itulah, ia segera bergegas masuk ke kamarnya untuk mengambil keris sakti Joko Piturun. Dengan penuh amarah, Keris Joko Piturun dibuangnya ke dalam kolam Si Ko’ol. Saat keris Joko Piturun menyentuh air, terdengar suara gaib dari kolam, “Pangeran Ronggosukowati! Sayang engkau buang aku. Kalau tidak, Pulau Jawa tentu akan berada di bawah kekuasaanmu.” Suara gaib tersebut terdengar keras sekali dari arah Kolam Si Ko’ol.
Pangeran Ronggosukowati terperanjat mendengar suara gaib itu. Ia seolah tersadar dari mimpinya. Semua orang yang ada di keraton dipanggilnya, lalu diperintahkan untuk mencari keris sakti yang dibuang ke dalam kolam Si Ko’ol. Namun upaya mereka itu siasia saja. Bahkan sampai sekarang pun keberadaan keris Joko Piturun belum ditemukan keberadaannya. Kolam Si Ko’ol yang legendaris mungkin telah dilupakan oleh masyarakat Madura pada jaman modern. Tetapi keangkerannya sampai sekarang masih dipercaya oleh masyarakat Pamekasan.
Sumber : http://agussiswoyo.com/sejarah-nusantara/cerita-rakyat-madura-kolam-si-kool-pembawa-petaka-keraton-pamekasan/
Ginonjing adalah istilah yang digunakan untuk menamai emansipasi Kartini. Istilah tersebut diambil dari nama gending Ginonjing yang digemarinya dan adik-adiknya. Ginonjing berasal dari kata gonjing dalam bahasa Jawa yang berarti "goyah karena tidak seimbang". Ginonjing juga bisa berarti “digosipkan”. Ungkapan ini mengingatkan kepada gara-gara dalam pewayangan yang memakai ungkapan gonjang-ganjing . Menurut St. Sunardi, istilah itu dipilih Kartini sendiri untuk melukiskan pengalaman batinnya yang tidak menentu. Saat itu, dia sedang menghadapi zaman baru dan mencoba menjadi bagian di dalamnya.
Vila Van Resink adalah bangunan cagar budaya berbentuk vila yang terletak di Jalan Siaga, Kalurahan Hargobinangun, Kapanewon Pakem, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Pemilik awal vila ini adalah Gertrudes Johannes "Han" Resink, seorang anggota Stuw-groep , sebuah organisasi aktif pada Perang Dunia II yang memperjuangkan kemerdekaan dan pembentukan negara demokratis Hindia Belanda. Bangunan tersebut dibangun pada masa pemerintah Hindia Belanda sebagai bagian dari station hill (tempat tetirah pada musim panas yang berada di pegunungan) untuk boschwezen dienst (pejabat kehutanan Belanda). Pada era Hamengkubuwana VII, kepengelolaan Kaliurang (dalam hal ini termasuk bangunan-bangunan yang berada di wilayah tersebut) diserahkan kepada saudaranya yang bernama Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Mangkubumi. Tanah tersebut lantas dimanfaatkan untuk perkebunan nila, tetapi kegiatan itu terhenti kemudian hari karena adanya reorganisasi pertanian dan ekonomi di Vors...
Gereja Kristen Jawa (GKJ) Pakem Kertodadi adalah salah satu gereja di bawah naungan sinode Gereja Kristen Jawa, yang terletak di Jalan Kaliurang km. 18,5, Padukuhan Kertadadi, Kalurahan Pakembinangun, Kapanewon Pakem, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Awal mula pertumbuhan jemaat gereja ini berkaitan dengan keberadaan Rumah Sakit Paru-Paru Pakem, cabang dari Rumah Sakit Petronela (Tulung), yang didirikan di wilayah Hargobinangun. Sebelum tahun 1945, kegiatan keagamaan umat Kristen diadakan secara sederhana dalam bentuk renungan atau kebaktian pagi yang berlangsung di klinik maupun apotek rumah sakit yang dikenal dengan nama "Loteng". Para perawat di rumah sakit tersebut juga melakukan pelayanan kesehatan ke dusun-dusun di sekitarnya, yaitu Tanen, Sidorejo, Purworejo, dan Banteng. Menurut Notula Rapat Gerejawi, jemaat gereja ini mengadakan penetapan majelis yang pertama kali pada 21 April 1945. Tanggal tersebut lantas disepakati sebagai hari jadi GKJ Pa...
Situs Cepet Pakem adalah situs arkeologi yang terletak di Padukuhan Cepet, Kalurahan Purwobinangun, Kapanewon Pakem, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Berdasarkan temuan dua buah yoni dan sejumlah komponen arsitektur candi di sekitarnya, situs ini diduga merupakan reruntuhan sebuah candi Hindu dari masa klasik. Lokasinya kini berada di area permakaman umum Padukuhan Cepet, berdekatan dengan sebuah masjid. Benda cagar budaya (BCB) utama yang ditemukan di situs ini adalah dua buah yoni yang terbuat dari batu andesit. Kondisi keduanya telah rusak, sedangkan lingganya tidak ditemukan. Yoni pertama awalnya berada di pekarangan penduduk bernama Pujodiyono, tetapi sekarang dipindahkan di halaman makam. Yoni ini memiliki ukuran relatif besar dengan bentuk yang sederhana, yaitu lebar 134 sentimeter, tebal 115 sentimeter, dan tinggi 88 sentimeter. Bagian bawah cerat yoni tersebut tidak bermotif dan memberikan kesan bahwa pengerjaannya belum selesai. Sementara itu, terdap...
Situs Potro atau Pancuran Buto Potro adalah situs arkeologi yang terletak di Padukuhan Potro, Kalurahan Purwobinangun, Kapanewon Pakem, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Situs ini terdiri atas dua benda cagar budaya (BCB) utama yang seluruhnya terbuat dari batu andesit, yaitu jaladwara dan peripih. Jaladwara di situs ini oleh masyarakat setempat dikenal dengan nama Pancuran Buto, karena bentuknya menyerupai kepala raksasa (kala) dengan mulut terbuka, gigi bertaring, dan ukirannya menyerupai naga. Sementara itu, keberadaan peripih berukuran cukup besar di situs ini menimbulkan dugaan bahwa pernah berdiri sebuah bangunan keagamaan di sekitar lokasi, kemungkinan sebuah candi, meskipun bentuk dan coraknya tidak dapat dipastikan karena minimnya artefak yang tersisa.