Jepa adalah salah satu makanan khas orang Mandar yang terbuat dari sagu atau singkong.
- “Pengawal! Cepat ambil benda itu dan bawa kemari!” titah sang Raja yang sedang duduk beristirahat di bawah sebuah pohon.
- “Hamba laksanakan, Tuan,” jawab seorang pengawal lalu menghampiri anjing itu.
- “Ampun, Tuan! Benda ini ternyata sepotong jepa yang masih hangat,” lapor pengawal itu sambil menyerahkan jepa itu kepada raja.
- “Apa katamu ? Jepa hangat” Dari mana anjing itu mendapat jepa hangat di tengah hutan belantara seperti ini”“ tanya sang Raja penuh keheranan.
“Permisi... apakah ada orang di dalam”“ tanya sang Raja sambil mengetuk pintu.
“Aduhai... cantiknya gadis ini,” ucap sang Raja dalam hati dengan takjub.
- “Silahkan masuk, Tuan!” Samba` Paria mempersilahkan sang Raja sambil memberi hormat.
- “Terima kasih, gadis cantik! Kalau boleh aku tahu, siapa namamu dan kamu tinggal bersama siapa di rumah ini”“ tanya sang Raja.
- “Ampun, Tuan! Hamba Samba` Paria. Hamba tinggal di rumah ini bersama adik hamba yang masih berumur sepuluh tahun,” jawab Samba` Paria.
- “Aku adalah raja negeri ini. Aku bersama beberapa orang pengawalku sedang berburu binatang di hutan ini,” kata sang Raja memperkenalkan dirinya.
- “O, iya. Aku sangat haus, bolehkah aku minta air minum”“ pinta sang Raja.
- Samba` Paria pun segera menyuruh adiknya untuk mengambilkan air untuk sang Raja. Setelah adiknya masuk ke dapur, ternyata persediaan air minum mereka telah habis.
- “Ampun, Tuan! Kebetulan persediaan air minum hamba telah habis. Tapi, jika Tuan berkenan menunggu, hamba akan menyuruh adik hamba untuk mengambil air minum di sungai yang terletak di balik gunung,” kata Samba` Paria.
- “Dengan senang hati, aku akan menunggu di sini. Apalagi ada gadis cantik menemaniku,” ucap sang Raja mulai merayu.
- “Ampun, Tuan! Jangan bawa hamba ke istana! Kasihan adik hamba jika ditinggal sendirian di sini,” kata Samba` Paria mengiba kepada sang Raja.
- “Ah, biarkan dia sendirian di sini dimakan binatang buas,” ucap sang Raja dengan nada ketus.
- “Pengawal! Bawa segera calon permaisuriku ini!” titah sang Raja.
- “Baik, Tuan!” jawab para pengawal serentak dan segera melaksanakan perintah.
- “Ampun, Tuan! Sebelum Tuan membawa hamba, bolehkah hamba mengajukan satu permintaan” pinta Samba` Paria.
- “Apakah itu” Katakanlah!” seru sang Raja.
- “Bolehkah hamba membawa beberapa lembar daun paria” Hamba sangat senang makan sayur daun paria,” ungkap Samba` Paria.
“Kenapa sepi begini” Apakah rombongan raja itu sudah pergi”“ tanyanya dalam hati.
“Kak... ! Kak Samba`... ! Adik pulang...!”
“Ka.... kak..., kamu di mana”“ anak itu menangis tersedu-sedu sambil duduk di depan rumahnya.
“Kak...! Kak Samba`...!” teriak anak itu di samping rumah raja.
“Jika Kakak tidak sudi menemui Adik, perlihatkanlah separuh wajah Kakak di jendela!” pintanya.
“Jika Adik tidak boleh melihat wajah Kakak, perlihatkanlah tangan Kakak!”
“Jika Kakak masih menyayangi Adik, tunjukkanlah kaki Kakak!”
“Baiklah, jika Kakak tidak sudi menemui Adik, Adik akan pulang ke rumah. Adik akan menanam sebatang pohon kelor di sini. Jika batang kelor ini layu berarti Adik sedang sakit keras. Dan, jika batang kelor ini mati, berarti Adik juga sudah mati,” kata anak itu lalu bergegas pergi dengan perasaan sedih dan kecewa.
“Tolong... tolong... cincinku jatuh ke dalam air!” teriak Samba` Paria.
“Hei, Samba` Paria, buka pintunya! Kalau tidak, aku dobrak pintu ini!” seru sang Raja yang sudah berdiri di depan pintu dengan geram.
Vila Van Resink adalah bangunan cagar budaya berbentuk vila yang terletak di Jalan Siaga, Kalurahan Hargobinangun, Kapanewon Pakem, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Pemilik awal vila ini adalah Gertrudes Johannes "Han" Resink, seorang anggota Stuw-groep , sebuah organisasi aktif pada Perang Dunia II yang memperjuangkan kemerdekaan dan pembentukan negara demokratis Hindia Belanda. Bangunan tersebut dibangun pada masa pemerintah Hindia Belanda sebagai bagian dari station hill (tempat tetirah pada musim panas yang berada di pegunungan) untuk boschwezen dienst (pejabat kehutanan Belanda). Pada era Hamengkubuwana VII, kepengelolaan Kaliurang (dalam hal ini termasuk bangunan-bangunan yang berada di wilayah tersebut) diserahkan kepada saudaranya yang bernama Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Mangkubumi. Tanah tersebut lantas dimanfaatkan untuk perkebunan nila, tetapi kegiatan itu terhenti kemudian hari karena adanya reorganisasi pertanian dan ekonomi di Vors...
Gereja Kristen Jawa (GKJ) Pakem Kertodadi adalah salah satu gereja di bawah naungan sinode Gereja Kristen Jawa, yang terletak di Jalan Kaliurang km. 18,5, Padukuhan Kertadadi, Kalurahan Pakembinangun, Kapanewon Pakem, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Awal mula pertumbuhan jemaat gereja ini berkaitan dengan keberadaan Rumah Sakit Paru-Paru Pakem, cabang dari Rumah Sakit Petronela (Tulung), yang didirikan di wilayah Hargobinangun. Sebelum tahun 1945, kegiatan keagamaan umat Kristen diadakan secara sederhana dalam bentuk renungan atau kebaktian pagi yang berlangsung di klinik maupun apotek rumah sakit yang dikenal dengan nama "Loteng". Para perawat di rumah sakit tersebut juga melakukan pelayanan kesehatan ke dusun-dusun di sekitarnya, yaitu Tanen, Sidorejo, Purworejo, dan Banteng. Menurut Notula Rapat Gerejawi, jemaat gereja ini mengadakan penetapan majelis yang pertama kali pada 21 April 1945. Tanggal tersebut lantas disepakati sebagai hari jadi GKJ Pa...
Situs Cepet Pakem adalah situs arkeologi yang terletak di Padukuhan Cepet, Kalurahan Purwobinangun, Kapanewon Pakem, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Berdasarkan temuan dua buah yoni dan sejumlah komponen arsitektur candi di sekitarnya, situs ini diduga merupakan reruntuhan sebuah candi Hindu dari masa klasik. Lokasinya kini berada di area permakaman umum Padukuhan Cepet, berdekatan dengan sebuah masjid. Benda cagar budaya (BCB) utama yang ditemukan di situs ini adalah dua buah yoni yang terbuat dari batu andesit. Kondisi keduanya telah rusak, sedangkan lingganya tidak ditemukan. Yoni pertama awalnya berada di pekarangan penduduk bernama Pujodiyono, tetapi sekarang dipindahkan di halaman makam. Yoni ini memiliki ukuran relatif besar dengan bentuk yang sederhana, yaitu lebar 134 sentimeter, tebal 115 sentimeter, dan tinggi 88 sentimeter. Bagian bawah cerat yoni tersebut tidak bermotif dan memberikan kesan bahwa pengerjaannya belum selesai. Sementara itu, terdap...
Situs Potro atau Pancuran Buto Potro adalah situs arkeologi yang terletak di Padukuhan Potro, Kalurahan Purwobinangun, Kapanewon Pakem, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Situs ini terdiri atas dua benda cagar budaya (BCB) utama yang seluruhnya terbuat dari batu andesit, yaitu jaladwara dan peripih. Jaladwara di situs ini oleh masyarakat setempat dikenal dengan nama Pancuran Buto, karena bentuknya menyerupai kepala raksasa (kala) dengan mulut terbuka, gigi bertaring, dan ukirannya menyerupai naga. Sementara itu, keberadaan peripih berukuran cukup besar di situs ini menimbulkan dugaan bahwa pernah berdiri sebuah bangunan keagamaan di sekitar lokasi, kemungkinan sebuah candi, meskipun bentuk dan coraknya tidak dapat dipastikan karena minimnya artefak yang tersisa.
Resep Sambal Matah Bahan-bahan: Bawang Merah Cabai Rawit Daun Jeruk Sereh Secukupnya garam Minyak panas Pembuatan: Cincang bawang merah, cabai rawit, daun jeruk, dan juga sereh Campur semua bahan yang sudah dicincang dalam satu wadah Tambahkan garam secukupnya atau sesuai selera Masukkan minyak panas Aduk semuanya Sambal matah siap dinikmati