×

Akun anda bermasalah?
Klik tombol dibawah
Atau
×

DATA


Kategori

Seni Pertunjukan

Elemen Budaya

Seni Pertunjukan

Provinsi

DI Jogjakarta

Asal Daerah

Jogjakarta

Jemparingan

Tanggal 28 Dec 2018 oleh Aze .

Jemparingan merupakan olah raga panahan khas Kerajaan Mataram. Berbeda dari panahan pada umumnya yang dilakukan sambil berdiri, jemparingan dilakukan dengan duduk bersila. Hingga kini jemparingan masih lestari, baik di Yogyakarta maupun di Surakarta.

Asal usul jemparingan di Kesultanan Yogyakarta, atau juga dikenal sebagai jemparingan gaya Mataram Ngayogyakarta, dapat ditelusuri sejak awal keberadaan Kesultanan Yogyakarta. Sri Sultan Hamengku Buwono I (1755-1792), raja pertama Yogyakarta, mendorong segenap pengikut dan rakyatnya untuk belajar memanah sebagai sarana membentuk watak kesatria.

Watak kesatria yang dimaksudkan adalah empat nilai yang harus disandang oleh warga Yogyakarta. Keempat nilai yang diperintahkan Sri Sultan Hamengku Buwono I untuk dijadikan pegangan oleh rakyatnya tersebut adalah sawiji, greget, sengguh, dan ora mingkuh. Sawiji berarti berkonsentrasi, greget berarti semangat, sengguh berarti rasa percaya diri, dan ora mingkuh berarti bertanggung jawab.

Filosofi Jemparingan

Sehubungan dengan tujuan pembentukan watak sawiji itulah maka jemparingan tampak sangat berbeda dengan panahan lain yang berfokus pada kemampuan pemanah untuk membidik target dengan tepat. Pemanah jemparingan gaya Mataram tidak hanya memanah dalam kondisi bersila, namun juga tidak membidik dengan mata. Busur diposisikan mendatar di hadapan perut sehingga bidikan panah didasarkan pada perasaan pemanah.

Gaya memanah semacam ini sejalan dengan filosofi jemparingan gaya Mataram itu sendiri, pamenthanging gandewa pamanthenging cipta. Filosofi ini memiliki arti bahwa membentangnya busur seiring dengan konsentrasi yang ditujukan pada sasaran yang dibidik. Dalam kehidupan sehari-hari, pamenthanging gandewa pamanthenging cipta memiliki pesan agar manusia yang memiliki cita-cita hendaknya berkonsentrasi penuh pada tujuan tersebut agar cita-citanya dapat terwujud.

Peralatan Jemparingan

Jemparingan berasal dari kata jemparing yang berarti anak panah. Busurnya disebut dengan gandewa, sedang sasarannya bukan lingkaran melainkan berupa silinder kecil yang disebut wong-wongan atau bandulan. Jemparing terdiri dari deder, bedor, wulu, dan nyenyep.

Deder adalah batang anak panah, terbuat dari bambu berbentuk silinder. Bedor adalah mata panah, terbuat dari besi. Wulu adalah bulu pada pangkal panah , terbuat dari bulu unggas, berfungsi untuk menstabilkan laju jemparing. Sedang nyenyep adalah bagian paling pangkal dari jemparing yang nantinya diletakkan pada tali busur saat digunakan untuk memanah.

Gandewa terdiri cengkolak, lar, dan kendheng. Cengkolak adalah pegangan busur, biasanya terbuat dari kayu yang keras namun ringan. Lar adalah bilah yang terdapat pada kiri dan kanan cengkolak, biasanya terbuat dari bambu, kelentingannya digunakan untuk melontarkan jemparing. Kendheng adalah tali busur, masing-masing ujungnya dikaitkan ke ujung-ujung lar.

Bandul adalah sasaran yang digunakan untuk jemparingan. Bandul atau wong-wongan mencitrakan orang yang sedang berdiri. Bentuknya silinder tegak sepanjang 30 cm dengan diameter sekitar 3 cm. Sekitar 5 cm bagian atas diberi warna merah, dinamakan molo atau sirah (kepala). Bagian bawah diberi warna putih, dinamakan awak (badan). Pertemuan antara molo dan awak diberi warna kuning setebal 1 cm, dinamakan jangga (leher). Sebuah bola kecil yang hubungkan dengan seutas tali ditaruh di bawah bandulan, pemanah yang mengenai bola ini akan mendapat pengurangan nilai. Bandul dan bola tersebut tergantung kencang dengan ikatan tali di bagian atas dan bawah. Di bagian atas digantung lonceng kecil yang akan berdenting sebagai penanda jika ada jemparing yang mengenai bandulan.

Gandewa maupun jemparing dibuat khusus oleh pengrajin. Tiap gandewa dan jemparing disesuaikan dengan postur tubuh pemanah, salah satunya adalah rentang tangan pemanah. Penyesuaian ini perlu dilakukan agar pemanah nyaman dan dapat memanah dengan optimal. Hal ini menyebabkan perlengkapan jemparingan bersifat pribadi dan sulit untuk dipinjam-pinjamkan.

Jemparingan Masa Kini

Seiring dengan perkembangan zaman, jemparingan gaya Mataram Ngayogyakarta pun berkembang. Hingga kini terdapat berbagai cara memanah ataupun bentuk sasaran yang dibidik. Namun semuanya tetap berpijak pada filosofi awal jemparingan sebagai sarana latihan konsentrasi dan tidak meninggalkan cara memanah sambil duduk bersila.

Beberapa kelompok jemparingan tidak lagi membidik dalam posisi gendewa horizontal di depan perut, gendewa berada dalam posisi vertikal sedikit miring sehingga pemanah dapat membidik dengan mata. Teknik jemparingan yang membidik dengan mata ini menghasilkan bentuk gendewa yang baru, yaitu lekukan pada bagian cengkolak sebagai tempat menaruh jemparing, bagian yang tidak dibutuhkan jika gendewa dalam posisi horizontal. Bandulan pun memiliki beberapa varian. Ada yang hanya terdiri dari molo dan awak, ada juga yang menambah bokong, yaitu bagian hitam sepanjang 1 cm di pangkal bandulan.

Di lingkungan Keraton Yogyakarta, jemparingan masih rutin dilaksanakan. Kegiatan ini diselengarakan tiap hari Selasa sore di Plataran Kamandungan Kidul, yang terletak di sebelah utara Alun-Alun Selatan.

Seminggu sekali, para pemanah melesatkan jemparing-jemparing ke arah bandulan. Mereka merentang busur untuk menempa hati dan membangun kekuatan batin. Soal memanah bukan sekadar olahraga ketangkasan, namun sarana mengolah rasa. Bahwa dalam meraih harapan, musuh utama manusia adalah dirinya sendiri. Seberapa mampu manusia mengarahkan rasa dan karsanya, segenap hati penuh konsentrasi, kepada tujuan yang ingin dicapai.

sumber :https://kratonjogja.id/tak-benda/Lainnya/14/jemparingan-gaya-mataram

DISKUSI


TERBARU


Ulos Jugia

Oleh Zendratoteam | 14 Dec 2024.
Ulos

ULOS JUGIA Ulos Jugia disebut juga sebagai " Ulos na so ra pipot " atau pinunsaan. Biasanya adalah ulos "Homitan" yang disimp...

Tradisi Sekaten...

Oleh Journalaksa | 29 Oct 2024.
Tradisi Sekaten Surakarta

Masyarakat merupakan kesatuan hidup dari makhluk-makhluk manusia saling terikat oleh suatu sistem adat istiadat (Koentjaraningrat, 1996: 100). Masyar...

Seni Tari di Ci...

Oleh Aniasalsabila | 22 Oct 2024.
Seni Tari Banyumasan

Seni tari merupakan salah satu bentuk warisan budaya yang memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat Cilacap. Tari-tarian tradisional yang ber...

Wayang Banyumas...

Oleh Aniasalsabila | 22 Oct 2024.
Wayang Banyumasan

Wayang merupakan salah satu warisan budaya tak benda Indonesia yang memiliki akar dalam sejarah dan tradisi Jawa. Sebagai seni pertunjukan, wayang te...

Ekspresi Muda K...

Oleh Journalaksa | 19 Oct 2024.
Ekspresi Muda Kota

Perkembangan teknologi yang semakin pesat tidak hanya ditemui pada bidang informasi, komunikasi, transportasi, konstruksi, pendidikan, atau kesehatan...

FITUR


Gambus

Oleh agus deden | 21 Jun 2012.
Alat Musik

Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual...

Hukum Adat Suku...

Oleh Riduwan Philly | 23 Jan 2015.
Aturan Adat

Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dal...

Fuu

Oleh Sobat Budaya | 25 Jun 2014.
Alat Musik

Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend...

Ukiran Gorga Si...

Oleh hokky saavedra | 09 Apr 2012.
Ornamen Arsitektural

Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai...