Kalau menyusuri jalan utama pantai utara Pulau Madura, kita pasti akan melewati sebuah desa kecil yang terletak di Kecamatan Banyuates, Kabupaten Sampang. Desa itu memiliki pantai yang sering dijadikan tempat berwisata oleh penduduk setempat. Tidak jauh dari pantai, malah bisa dibilang berdampingan dengan bibir pantai, terdapat hutan yang dihuni kawanan kera ekor panjang. Karena posisinya yang sangat dekat dengan pantai itulah maka sampai sekarang pengunjung pantai sering bisa menyaksikan adanya kera-kera yang keluar dari hutan dan bermain-main di tepi pantai.
Selain terdapat hutan, di tepi pantai itu juga banyak ditumbuhi tanaman nipah. Dalam dialek setempat, ‘nipah’ disebut ‘nepa’. Karena banyaknya tumbuhan itu di sana, maka pantai itu dikenal dengan nama Pantai Nepa, meskipun ada juga yang menyebutnya sebagai Pantai Nipah. Desa yang kemudian muncul di sekitar pantai itu juga dikenal dengan nama Desa Nepa, pun hutan kecil yang dihuni kawanan kera di pantai itu dikenal sebagai Hutan Kera Nepa.
Mengenai kera-kera yang ada di Hutan Kera Nepa, masyarakat setempat mempercayai bahwa kera-kera itu bukanlah kera-kera biasa. Apalagi kalau diperhatikan bahwa kedua kelompok kera yang hidup di dalam hutan itu seolah-olah mempunyai aturan tidak tertulis, dimana masing-masing kelompok itu hidup di wilayahnya masing-masing yang dibatasi olah adanya sebuah patok kayu. Tidak akan ada seekorpun kera yang berani melanggar batas itu kecuali kalau kera tersebut sakit atau membutuhkan pertolongan kelompok lain. Aneh juga ya . . . ?
Nah . . buat yang ingin tahu bagaimana kisah asal mula kera-kera yang tinggal di Hutan Kera Nepa itu, aku akan coba menceritakannya kembali berdasarkan berdasarkan cerita yang aku dengar, yang singkatnya adalah sebagai berikut.
Konon pada jaman dahulu di tanah Jawa ada sebuah kerajaan yang dikenal dengan nama Kerajaan Medangkamulan dengan istananya yang bernama Keraton Gilingwesi. Raja Medangkamulan yang bernama Sangyangtunggal memiliki seorang puteri yang cantik jelita. Puterinya ini pada suatu malam bermimpi bahwa bulan purnama jatuh dari langit dan masuk ke dalam tubuhnya. Anehnya, setelah memperoleh mimpi itu, tidak lama kemudian Sang Puteri hamil.
Meskipun Sang Puteri berusaha menutupinya, tetapi akhirnya berita mengenai kehamilannya sampai juga ke telinga Baginda Sangyangtunggal. Dengan kemarahan yang menggelegak, Sang Raja segera mendatangi puterinya untuk menanyakan siapa gerangan pemuda yang berani menghamilinya itu; tetapi Sang Puteri tidak bisa memberikan jawaban yang memuaskan ayahnya. Hari demi hari berlalu dengan lambat, minggu dan bulanpun terlalui, sementara perut Sang Puteripun semakin membesar seiring dengan bertambahnya usia kandungannya. Melihat keadaan puterinya itu, Sang Raja semakin marah, apalagi Sang Raja beranggapan bahwa putrerinya itu sengaja tidak mau berterus terang kepadanya mengenai orang yang menghamilinya tersebut. Ketika kesabarannya sudah habis berganti dengan kemurkaan yang tak terbendung, Sang Raja menugaskan patih kerajaan yang bernama Patih Pranggulang, untuk membawa Sang Puteri ke hutan, memenggal kepalanya dan membawa kepalanya untuk diperlihatkan pada Sang Raja sebagai bukti bahwa tugasnya sudah dilaksanakan dengan baik. Kalau Patih Pranggulang tidak menyanggupinya ataupun tidak berhasil melaksanakan tugasnya itu, maka Patih Pranggulang tidak diperkenankan untuk kembali lagi ke istana.
Pada waktu yang telah ditentukan, berangkatlah Patih Pranggulang membawa Sang Puteri ke dalam hutan untuk dibunuh. Tetapi keanehan terjadi . . . tiap kali Sang Patih mengayunkan pedangnya untuk memenggal leher Sang Puteri, pedang itu terlepas dari tangannya dan terpental jauh. Beberapa kali hal ini terjadi, sehingga akhirnya Patih Pranggulang menyadari kalau kehamilan Sang Puteri bukanlah merupakan kesalahannya, melainkan terjadi karena sesuatu yang luar biasa. Karena itulah Patih Pranggulang mengurungkan niatnya untuk membunuh Sang Puteri, bahkan berbalik justru berniat melindunginya. Karena tidak mungkin kembali ke istana, dan juga supaya tidak mudah dikenali, Sang Patih kemudian menanggalkan pakaian kebesarannya dan menggantinya dengan pakaian yang terbuat dari kain poleng, sehingga kemudian Sang Patih lebih dikenal dengan nama Kyai Poleng. Sejak saat itulah Kyai Poleng bertindak sebagai pelindung Sang Puteri.
Setelah berlalu beberapa hari dan patihnya belum juga kembali menghadapnya dengan membawa kepala Sang Puteri, tahulah Baginda Sangyangtunggal bahwa patihnya yang sakti mandraguna itu telah gagal menjalankan tugasnya. Baginda yang semakin geram akhirnya memerintahkan pasukannya untuk mencari tahu dimana keberadaan patih dan puterinya itu, dan jika telah ditemukan harus segera dibunuh.
Dengan kesaktiannya, Kyai Poleng bisa mengetahui akan datangnya ancaman kepada dirinya dan juga kepada Sang Puteri yang semakin mendekati waktunya untuk melahirkan. Karena itulah Kyai Poleng mengajak Sang Puteri semakin menjauhi kota raja, sampai akhirnya tibalah di tepi pantai yang banyak ditumbuhi pohon bambu. Melihat itu, Kyai Poleng segera membuat sebuah rakit yang kuat dengan mengambil bahan dari hutan bambu yang ada di situ. Setelah rakit itu jadi, Kyai Poleng mengumpulkan perbekalan secukupnya dan meletakkan perbekalan tersebut di atas rakit. Beberapa saat kemudian ketika semuanya dianggap sudah beres, Kyai Poleng mendudukkan Sang Puteri di atas rakit, sambil berpesan bahwa di situ Kyai Poleng harus berpisah dengan Sang Puteri demi keamanan Sang Puteri sendiri; meskipun demikian Kyai Poleng berjanji akan terus membantu Sang Puteri tiap kali Sang Puteri menemui kesulitan. Kemudian Kyai Poleng mengajarkan sebuah mantra kepada Sang Puteri, dan meminta Sang Puteri untuk melafalkan mantra itu sambil menjejakkan kakinya ke bumi tiga kali tiap kali Sang Puteri memerlukan bantuannya. Jika hal itu dilakukan, maka Kyai Poleng akan segera muncul untuk membantu. Demikianlah, setelah Sang Puteri memahami pesannya, Kyai Poleng meminta Sang Puteri berpegangan pada tiang rakit itu, kemudian dengan kesaktiannya ditendanglah rakit itu, sehingga rakit itu meluncur deras menyeberangi laut dan mendarat di suatu tempat yang dikenal dengan nama Gunung Geger. Di tempat itulah Sang Puteri akhirnya tinggal.
Ketika tiba saatnya melahirkan, Sang Puteri merasakan kesakitan yang amat sangat. Tiba-tiba Sang Puteri teringat akan pesan Kyai Poleng, maka dilafalkannya mantera yang dahulu diajarkan oleh Kyai Poleng sambil kakinya menjejak bumi sebanyak tiga kali. Tiba-tiba, tanpa diketahui dari mana asalnya dan kapan datangnya, Kyai Poleng sudah berada dihadapannya. Dengan bantuan dan kesaktian Kyai Poleng, Sang Puteri melahirkan seorang putera yang tampan dan diberinya nama Raden Segoro. Setelah kelahiran Raden Segoro itu, Kyai Poleng menyertai ibu dan anak ini selama beberapa waktu di sana, dan dipercaya merekalah yang menjadi nenek moyang penduduk Pulau Madura.
Beberapa waktu kemudian, ketika Raden Segoro dan ibunya dirasa sudah dapat ditinggalkan, Kyai Poleng kembali menghilang. Sejak itulah para pelaut yang melewati laut di depan tempat tinggal Raden Segoro dan ibunya pada waktu malam, kerap melihat cahaya seterang sinar bulan purnama memancar dari tempat itu. Para pelaut tersebut kemudian banyak yang mengucapkan ‘janji’ atau kaul bahwa jika tujuan pelayaran mereka sukses, mereka akan mampir dan melakukan selamatan ataupun menyembah sumber cahaya tersebut sebagai ungkapan terimakasih dan syukur mereka. Dan itulah yang terjadi, karena banyak dari para pelaut itu yang sukses dengan urusannya, maka banyak pula ‘hadiah’ yang diterima ibu dan anak itu.
Raden Segoro kecil hidup berbahagia dengan ibunya di sana, dan sebagai seorang anak yang dilahirkan di daerah pesisir, maka Raden Segoro sangat suka bermain-main di pantai. Suatu ketika, ketika sudah berusia 2 tahun, ketika sedang bermain di pantai seperti biasa, tiba-tiba langit menjadi gelap dan anginpun semakin kencang bertiup. Ombak juga semakin meninggi dan bergulung liar. Ketika Raden Segoro yang keheranan dengan perubahan cuaca yang mendadak itu memandang ke arah laut, dilihatnya dua ekor naga raksasa sedang meluncur dengan cepat ke arahnya. Melihat itu, Raden Segoro segera berlari sekencang-kencangnya pulang ke rumah dengan ketakutan. Diceritakannya apa yang dilihatnya itu kepada ibunya. Sang Puteri ikut merasa takut dan kuatir, sehingga dengan segera dirapalnya mantera untuk memanggil Kyai Poleng.
Pada saat Kyai Poleng muncul, cuaca sudah cerah kembali; meskipun demikian, Sang Puteri masih merasa takut kalau-kalau kedua naga itu akan kembali dan mencelakakan dirinya beserta dengan puteranya. Kyai Poleng sendiri tetap tenang ketika mendengar tutur Sang Puteri mengenai naga yang dilihat oleh Raden Segara itu. Setelah bersemedi sejenak, Kyai Poleng segera mengajak Raden Segoro kembali ke pantai. Dan betul saja, tidak lama mereka berdua berada di pantai, cuaca kembali berubah menyeramkan dan kedua naga raksasa itu muncul kembali. Kyai Poleng bukannya menghindar, melainkan justru meminta Raden Segoro kecil untuk maju bertarung dan menangkap kedua naga itu. Raden Segoro yang ketakutan tentu saja menolak perintah Kyai Poleng. Tetapi Kyai Poleng terus memaksa, sehingga dengan hati tetap dipenuhi kengerian, Raden Segoro menyongsong kedua naga yang telah mencapai pantai itu.
Pertempuran yang tidak seimbang antara seorang bocah kecil melawan dua ekor naga raksasa segera pecah. Raden Segoro yang semula keteter, lambat laun mulai bisa menguasai keadaan. Akhirnya kedua naga tersebut berhasil dicengkeramnya erat-erat dan dibantingnya dengan keras ke tanah. Begitu menyentuh pasir pantai, kedua naga tersebut berubah menjadi dua bilah tombak yang segera diambil oleh Raden Segoro dan dibawanya kepada Kyai Poleng. Kyai Poleng menamakan kedua tombak itu Kyai Alugora dan Kyai Nenggala. Disampaikannya bahwa Kyai Alugora harus diserahkan pada ibunya untuk di simpan di rumah, sedangkan Kyai Nenggala harus selalu dibawanya, khususnya jika maju berperang. Sejak itulah Raden Segoro memiliki dua bilah tombak pusaka yang sangat bertuah.
Ketika Raden Segoro berusia 7 tahun, Sang Puteri memutuskan untuk meninggalkan daerah Gunung Geger dan mencari tempat tinggal baru. Dalam perjalanannya, Sang Puteri tiba di sebuah pantai yang banyak ditumbuhi pohon nipah. Suasana yang tenang di pantai itu membuat Sang Puteri memutuskan untuk tinggal di situ. Dengan bantuan puteranya, segera dibangunnyalah sebuah pondok. Tetapi masalah timbul ketika Sang Puteri tidak menemukan bahan yang baik untuk atap rumahnya. Untunglah masalah ini bisa diatasi ketika dilihatnya bahwa daun nipah yang lebar itu bisa dimanfaatkannya sebagai atap, bahkan ternyata atap dari daun nipah itu sangat kuat. Setelah semuanya selesai, Sang Puteri yang meilihat bahwa tanaman nipah sangat banyak di pantai itu, menamakan tempat itu dengan nama “Nepa”.
Sementara itu, Keraton Gilingwesi kerap diserang oleh pasukan yang sangat kuat yang berasal dari seberang lautan. Serangan-serangan tersebut membuat rakyat Medangkamulan sangat menderita, sementara pertahanan pasukan kerajaan juga semakin lemah dari hari ke hari. Sang Prabu yang sudah kehilangan akal dalam menangkal serangan tentara musuh itu, kemudian melakukan puja semedi kepada Yang Maha Kuasa untuk memohon petunjuk bagaimana caranya agar bisa keluar dari masalah yang dihadapi negaranya tersebut.
Pada suatu hari, Sang Prabu memperoleh wisik bahwa pasukan asing itu akan dapat dikalahkan, bahkan diusir jauh dengan bantuan seorang pemuda yang tinggal di sebuah pulau yang tampak antara ada dan tiada, karena ketika laut pasang maka pulau itu seolah-olah lenyap dari pandangan. Tanah yang tidak nyata disebut ‘lemah duro’ oleh masyarakat setempat. Nama Lemah Duro lama kelamaan berubah menjadi Madura, dan itulah asal mula nama Madura yang dipergunakan untuk menyebut pulau tempat tinggal Raden Segoro sampai sekarang.
Prabu Sangyangtunggal segera mengutus sepasukan pengawal dengan dipimpin oleh seorang pejabat tinggi kerajaan untuk mencari pemuda yang dimaksud dalam wisik yang diterima Sang Baginda. Singkat cerita, mereka sampai di depan rumah Raden Segoro yang ketika itu sudah beranjak remaja. Karena prajurit-prajurit itu semula hendak memaksa Raden Segoro untuk ikut ke Medangkamulan sementara Raden Segoro sendiri menolak, maka pecahnya keributan di situ. Ibunda Raden Segoro segera merapal mantera untuk memanggil Kyai Poleng yang segera hadir di situ. Dengan adanya Kyai Poleng, maka permasalahan menjadi jelas dan Raden Segoro bersedia ikut ke Medangkamulan untuk membantu memerangi musuh. Sesuai dengan pesan Kyai Poleng, Raden Segoro berangkat ke medan pertempuran dengan tidak lupa membawa tombak Kyai Nenggala. Kyai Polengpun menyertai Raden Segoro dalam perjalanan itu, hanya saja dengan kesaktiannya, hanya Raden Segoro seoranglah yang bisa melihat kehadiran Kyai Poleng.
Betul saja, dengan bantuan Raden Segoro, pasukan asing yang menyerbu Keraton Gilingwesi dapat dikalahkan dengan telak. Tombak Kyai Nenggala betul-betul sakti, karena dengan hanya mengarahkannya kepada musuh, maka musuhpun bertumbangan, sehingga akhirnya semuanya terusir dari Bumi Medangkamulan.
Dalam pesta yang diadakan untuk menyambut kemenangannya, Sang Prabu menganugerahi gelar Tumenggung Gemet kepada Raden Segoro, bahkan Sang Prabu bermaksud mengangkatnya sebagai menantunya. Untuk itu Sang Prabu berkeinginan untuk mengetahui siapa orang tua Raden Segoro. Raden Segoro tidak bisa menjawab pertanyaan Sang Baginda, khususnya mengenai ayahnya karena memang sejak lahir belum pernah mengenal siapa ayahnya. Oleh karena itulah Raden Segoro meminta ijin kepada Sang Baginda untuk pulang terlebih dahulu ke Nepa untuk bertanya kepada ibunya. Sang Baginda mengabulkan permintaan Raden Segoro, dan kemudian memerintahkan sepasukan prajurit pilihan untuk mengantar Raden Segoro kembali ke rumahnya di Pulau Madura.
Setiba di Nepa, dimintanya para prajurit yang mengiringinya itu untuk menunggu sementara Raden Segoro akan bertanya kepada ibunya. Dipesankannya pula supaya para prajurit tersebut jangan mendekat ke arah rumahnya, apalagi mencuri dengar pembicarannya dengan ibunya. Para prajurit itu menyanggupinya, sehingga Raden Segoro langsung masuk ke rumah untuk bertemu dengan ibunya.
Mendapat pertanyaan dari puteranya itu, ibunda Raden Segoro terdiam beberapa saat. Melihat ibunya hanya terdiam, Raden Segoro terus mendesaknya untuk menjelaskan siapa ayahandanya, sehingga akhirnya ibu Raden Segoro mengatakan bahwa ayah Raden Segoro adalah seorang siluman yang sangat sakti. Tengah Raden Segoro termangu mendengar jawaban ibunya itu, tiba-tiba didapatinya prajurit-prajurit yang ditugaskan mengawalnya tersebut tidak mematuhi perintahnya untuk tidak mencuri dengar pembicaraannya dengan ibunya, sehingga Raden Segoro menjadi sangat marah. Dalam kemurkaannya itu, dikutuklah prajurit-prajurit itu menjadi kera yang secara turun temurun akan mendiami daerah di sekitar rumah Raden Segoro. Kemudian, dengan kesaktiannya, rumah dan daerah sekitar tempat tinggalnya juga diubahnya menjadi hutan, sebelum kemudian Raden Segoro dan ibunya menghilang karena masuk ke dunia siluman untuk tinggal bersama ayah Raden Segoro yang tiba-tiba datang menjemput mereka.
Kera-kera yang dahulunya prajurit itu kemudian tinggal di hutan yang semula adalah kediaman Raden Segoro bersama ibunya, berkembang biak dan bertambah banyak, sampai sekarang. Karena itulah konon kera-kera tersebut cukup jinak dan bisa berinteraksi dengan baik kalau bertemu manusia. Sayangnya waktu aku di sana, aku tidak bertemu dengan seekor kera pun, mungkin karena cuaca yang cukup terik, menyebabkan kera-kera itu tetap tinggal dalam hutan, sementara akupun sengaja tidak masuk dan mejelajahi Hutan Kera Nepa karena waktu yang tidak memungkinkan.
Demikianlah kisah asal mula terbentuknya Hutan Kera Nepa. Konon di dalam hutan itu masih bisa ditemukan bekas-bekas runtuhan bangunan yang dipercaya sebagai sisa-sisa bagian bangunan tempat tinggal Raden Segoro dan ibunya yang tidak ikut berubah menjadi hutan ketika dalam marahnya Raden Segoro mengubah tempat tinggalnya itu menjadi hutan dimana kera-kera yang dulunya para prajurit Medangkamulan itu berdiam. Mudah-mudahan lain waktu aku berkesempatan menjelajah hutan iu untuk bisa melihat sendiri sisa-sisa reruntuhan dari jaman Raden Segoro itu.
Sumber: https://ceritasiomkris.wordpress.com/2014/07/11/hutan-kera-di-pantai-nepa/
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja