×

Akun anda bermasalah?
Klik tombol dibawah
Atau
×

DATA


Kategori

Cerita Rakyat

Elemen Budaya

Cerita Rakyat

Provinsi

Jawa Barat

Asal Daerah

Sumedang

Hormati Leluhur, Tidak Boleh Menyebut Ucing (Kucing) di Desa Cipancar

Tanggal 11 Feb 2015 oleh Muhammad Arif Nurrohman17.

Di Sumedang ada sebuah desa yang menerapkan larangan serupa, boleh percaya boleh juga tidak namun begitulah adanya, desa tersebut adalah desa Cipancar di kecamatan Sumedang Selatan, di desa ini ada larangan tidak boleh menyebut kata ucing (kucing) baik dalam lisan maupun tulisan. Sepintas, memang agak aneh kalau kita memikirkan larangan yang berbau mitos tersebut, namun tentunya kita sudah mafhum bahwa jika disuatu tempat terdapat larangan atau pantangan untuk tidak melakukan suatu hal, pasti ada "sesuatu" juga dibaliknya, dan pantangan tersebut menjadi kerifan lokal yang jadi ciri khas dari suatu daerah yang bukan semata-mata berbau takhayul, karena jika kita tahu latar belakang dari adanya pantangan ataupun mitos disuatu daerah, kita akan memahami bahwa mitos yang ada sangat rasional dan ditujukan untuk kebaikan, seperti mitos tidak boleh menyebut ucing/kucing di desa Cipancar yang akan saya ceritakan ini.
 
Menyangkut apa-apa yang dilarang seperti itu orang sunda biasa menyebutnya dengan istilah "pamali" (pantangan), dan seseorang akan mendapatkan akibat buruk jika melanggarnya. Warga desa Cipancar memiliki sebuah tradisi lisan, bahwa mereka tidak boleh menyebut kata ucing/kucing, larangan tersebut sudah berlaku dari semenjak generasi terdahulu, ia disampaikan dari mulut ke mulut melalui nasihat secara turun temurun dari generasi ke generasi. Untuk menyebut kata ucing, warga desa Cipancar menggantinya dengan kata "enyeng", enyeng sendiri dalam bahasa sunda berarti anak kucing.
 
Konon jika pantangan atau pamali tersebut dilanggar, bukan individu yang melanggarnya saja yang terkena akibatnya tapi semua warga akan terkena dampaknya, banyak yang percaya kalau sampai ada yang berani mengucapkan kata "ucing" maka akan terjadi musibah besar di desa tersebut, seperti hujan besar, guntur, dan angin ribut, atau bisa juga hanya orang yang mengucapkannya sajalah yang akan mendapatkan celaka. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan dan tetap menjaga tradisi, warga desa Cipancar memilih untuk mentaati dan sangat menghormati larangan tersebut, mereka tidak berani menyebut kata ucing, baik di dalam ataupun diluar kampung mereka sendiri.
 
Ada kisah yang cukup menarik tentang kuatnya warga desa Cipancar memegang larangan ini. Diceritakan suatu ketika ada seorang guru Sekolah Dasar yang berasal dari luar daerah Cipancar ditugaskan untuk mengajar di salah satu SD di desa Cipancar, ia sama sekali tidak mengetahui tentang adanya larangan tidak boleh menyebut kata ucing/kucing di desa tersebut. Ia sempat kaget ketika mengajar anak didiknya untuk membaca, keanehan terjadi ketika guru baru tersebut mengajar anak didiknya membaca dengan mengeja nama binatang kucing huruf per huruf, saat murid mulai mengeja, mereka mengejanya dengan lancar, tapi saat ejaannya digabung dan dirubah menjadi sebuah kata, semua murid serentak berkata "enyeng". Ia keheranan dan bertanya pada guru yang lain, barulah setelah guru lain menjelaskan tentang larangan di desa tersebut si guru baru itupun mengerti.
 
Dan dimanapun warga desa Cipancar tinggal, mereka tetap tidak akan berani melanggar larangan tersebut, mereka tidak akan berani menyebut kata ucing/kucing, lalu kenapa hal tersebut sampai sedemikian rupa? kenapa tradisi tersebut tetap dipegang walau mereka berada di luar kampung halaman? kenapa pantangan tidak boleh menyebut kata ucing/kucing ini sedemikian kuat mereka pegang? ternyata hal tersebut dimaksudkan untuk menghormati leluhur desa Cipancar.
 
Ya, ternyata "ucing" adalah nama leluhur warga desa Cipancar, hal tersebut bukanlah hal yang aneh karena kita pun sudah mengetahui bahwa nama-nama orang jaman dahulu memang kerap menggunakan atau menyisipkan nama binatang untuk nama mereka, nama binatang yang disisipkan pada nama mereka bisa berupa nama gelar ataupun nama sebenarnya, contohnya seperti patih Majapahit yang bernama "Gajah" Mada, atau rajanya yang bernama "Hayam" Wuruk. Raja-raja di Sumedang pun ada yang menggunakannya seperti Prabu "Gajah" Agung atau Prabu "Lembu" Agung.
 
Begitu juga dengan leluhur warga desa Cipancar yang bernama Mbah Ucing, dalam sebuah sumber dikatakan bahwa nama sebenarnya dari Mbah Ucing ini adalah Sunan Umbara, tapi saya kurang tahu juga kebenaran nama "Sunan Umbara" dari sumber tersebut karena di area situs atau makam keramat leluhur desa Cipancar (Makam Keramat Tajur Cipancar) saya melihat nama yang tertulis dimakamkan di tempat tersebut adalah Eyang Sutra Ngumbar seperti bisa dilihat disamping (maaf kurang jelas tulisan namanya), agak mirip-mirip memang namanya, dan mungkin nama yang dimaksud dalam sumber tersebut adalah tokoh yang sama dengan yang tertulis di makam keramat tajur cipancar ini, saya sendiri tidak sempat bertanya pada penduduk sekitar tentang hal tersebut karena waktu yang terbatas ketika berkunjung ke desa Cipancar. Makam ini terletak tidak jauh dari kantor desa Cipancar yang berada tepat dipusat keramaian desa, letaknya berada di jalan raya yang menghubungkan Cipameungpeuk-Baginda-Cipancar-Citengah.
 
Karena hal tersebutlah warga desa Cipancar tidak berani menyebut kata ucing/kucing, karena dengan melakukannya sama saja dengan menyebut nama leluhur mereka sendiri, dan tentunya tidak sopan  menyebut nama seseorang yang dihormati dengan hanya menyebut namanya saja, maka digantilah kata ucing dengan kata enyeng untuk menghindari ketidak sopanan pada leluhur. Hal tersebut juga berlaku pada nama permainan anak seperti kucing-kucingan, warga desa Cipancar menyebutnya dengan enyeng-enyengan, nama tumbuhan kumis kucing pun disebut dengan nama kumis enyeng (*Note : bagi sobat warga desa Cipancar yang kebetulan membaca artikel ini, mohon koreksi jika terdapat keterangan yang salah pada tulisan ini) 
 
 
Desa Cipancar berada tidak begitu jauh dari pusat kota Sumedang, jaraknya dari pusat kota kira-kira hanya 5 km-an, desa ini memiliki pemandangan yang sangat indah dengan pemandangan sawah, sungai, dan hamparan bukit-bukit karena ia berada di bawah kaki gunung Kareumbi. Lokasinya berada tidak jauh dari perkebunan teh Margawindu dan terlewati oleh mereka yang akan bertamasya ke Curug Gorobog

Sumber artikel https://www.jeryanuar.web.id/2014/10/hormati-leluhur-tidak-boleh-menyebut.html

DISKUSI


TERBARU


ASAL USUL DESA...

Oleh Edyprianto | 17 Apr 2025.
Sejarah

Asal-usul Desa Mertani dimulai dari keberadaan Joko Tingkir atau Mas Karebet atau Sultan Hadiwijaya yang menetap di Desa Pringgoboyo, Maduran, Lamong...

Rumah Adat Karo...

Oleh hallowulandari | 14 Apr 2025.
Rumah Tradisional

Garista adalah Rumah Adat Karo di Kota medan yang dikenal sebagai Siwaluh Jabu. Rumah adat ini dipindahkan dari lokasi asalnya di Tanah Karo. Rumah A...

Kearifan Lokal...

Oleh Artawan | 16 Mar 2025.
Budaya

Setiap Kabupaten yang ada di Bali memiliki corak kebudayaan yang berbeda antara satu daerah dengan daerah yang lainnya. Salah satunya Desa Adat Tenga...

Mengenal Sejara...

Oleh Artawan | 16 Mar 2025.
Budaya

Pura Lempuyang merupakan salah satu tempat persembahyangan umat hindu Bali tertua dan paling suci di Bali. Terletak di lereng Gunung Lempuyang, di Ka...

Resep Layur Bum...

Oleh Masterup1993 | 24 Jan 2025.
Makanan

Ikan layur yang terkenal sering diolah dengan bumbu kuning. Rasa ikan layur yang dimasak dengan bumbu kuning memberikan nuansa oriental yang kuat...

FITUR


Gambus

Oleh agus deden | 21 Jun 2012.
Alat Musik

Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual...

Hukum Adat Suku...

Oleh Riduwan Philly | 23 Jan 2015.
Aturan Adat

Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dal...

Fuu

Oleh Sobat Budaya | 25 Jun 2014.
Alat Musik

Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend...

Ukiran Gorga Si...

Oleh hokky saavedra | 09 Apr 2012.
Ornamen Arsitektural

Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai...