Cerita Rakyat
Cerita Rakyat
Cerita Rakyat Jawa Barat Sumedang
Hormati Leluhur, Tidak Boleh Menyebut Ucing (Kucing) di Desa Cipancar
- 11 Februari 2015
Di Sumedang ada sebuah desa yang menerapkan larangan serupa, boleh percaya boleh juga tidak namun begitulah adanya, desa tersebut adalah desa Cipancar di kecamatan Sumedang Selatan, di desa ini ada larangan tidak boleh menyebut kata ucing (kucing) baik dalam lisan maupun tulisan. Sepintas, memang agak aneh kalau kita memikirkan larangan yang berbau mitos tersebut, namun tentunya kita sudah mafhum bahwa jika disuatu tempat terdapat larangan atau pantangan untuk tidak melakukan suatu hal, pasti ada "sesuatu" juga dibaliknya, dan pantangan tersebut menjadi kerifan lokal yang jadi ciri khas dari suatu daerah yang bukan semata-mata berbau takhayul, karena jika kita tahu latar belakang dari adanya pantangan ataupun mitos disuatu daerah, kita akan memahami bahwa mitos yang ada sangat rasional dan ditujukan untuk kebaikan, seperti mitos tidak boleh menyebut ucing/kucing di desa Cipancar yang akan saya ceritakan ini.
 
Menyangkut apa-apa yang dilarang seperti itu orang sunda biasa menyebutnya dengan istilah "pamali" (pantangan), dan seseorang akan mendapatkan akibat buruk jika melanggarnya. Warga desa Cipancar memiliki sebuah tradisi lisan, bahwa mereka tidak boleh menyebut kata ucing/kucing, larangan tersebut sudah berlaku dari semenjak generasi terdahulu, ia disampaikan dari mulut ke mulut melalui nasihat secara turun temurun dari generasi ke generasi. Untuk menyebut kata ucing, warga desa Cipancar menggantinya dengan kata "enyeng", enyeng sendiri dalam bahasa sunda berarti anak kucing.
 
Konon jika pantangan atau pamali tersebut dilanggar, bukan individu yang melanggarnya saja yang terkena akibatnya tapi semua warga akan terkena dampaknya, banyak yang percaya kalau sampai ada yang berani mengucapkan kata "ucing" maka akan terjadi musibah besar di desa tersebut, seperti hujan besar, guntur, dan angin ribut, atau bisa juga hanya orang yang mengucapkannya sajalah yang akan mendapatkan celaka. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan dan tetap menjaga tradisi, warga desa Cipancar memilih untuk mentaati dan sangat menghormati larangan tersebut, mereka tidak berani menyebut kata ucing, baik di dalam ataupun diluar kampung mereka sendiri.
 
Ada kisah yang cukup menarik tentang kuatnya warga desa Cipancar memegang larangan ini. Diceritakan suatu ketika ada seorang guru Sekolah Dasar yang berasal dari luar daerah Cipancar ditugaskan untuk mengajar di salah satu SD di desa Cipancar, ia sama sekali tidak mengetahui tentang adanya larangan tidak boleh menyebut kata ucing/kucing di desa tersebut. Ia sempat kaget ketika mengajar anak didiknya untuk membaca, keanehan terjadi ketika guru baru tersebut mengajar anak didiknya membaca dengan mengeja nama binatang kucing huruf per huruf, saat murid mulai mengeja, mereka mengejanya dengan lancar, tapi saat ejaannya digabung dan dirubah menjadi sebuah kata, semua murid serentak berkata "enyeng". Ia keheranan dan bertanya pada guru yang lain, barulah setelah guru lain menjelaskan tentang larangan di desa tersebut si guru baru itupun mengerti.
 
Dan dimanapun warga desa Cipancar tinggal, mereka tetap tidak akan berani melanggar larangan tersebut, mereka tidak akan berani menyebut kata ucing/kucing, lalu kenapa hal tersebut sampai sedemikian rupa? kenapa tradisi tersebut tetap dipegang walau mereka berada di luar kampung halaman? kenapa pantangan tidak boleh menyebut kata ucing/kucing ini sedemikian kuat mereka pegang? ternyata hal tersebut dimaksudkan untuk menghormati leluhur desa Cipancar.
 
Ya, ternyata "ucing" adalah nama leluhur warga desa Cipancar, hal tersebut bukanlah hal yang aneh karena kita pun sudah mengetahui bahwa nama-nama orang jaman dahulu memang kerap menggunakan atau menyisipkan nama binatang untuk nama mereka, nama binatang yang disisipkan pada nama mereka bisa berupa nama gelar ataupun nama sebenarnya, contohnya seperti patih Majapahit yang bernama "Gajah" Mada, atau rajanya yang bernama "Hayam" Wuruk. Raja-raja di Sumedang pun ada yang menggunakannya seperti Prabu "Gajah" Agung atau Prabu "Lembu" Agung.
 
Begitu juga dengan leluhur warga desa Cipancar yang bernama Mbah Ucing, dalam sebuah sumber dikatakan bahwa nama sebenarnya dari Mbah Ucing ini adalah Sunan Umbara, tapi saya kurang tahu juga kebenaran nama "Sunan Umbara" dari sumber tersebut karena di area situs atau makam keramat leluhur desa Cipancar (Makam Keramat Tajur Cipancar) saya melihat nama yang tertulis dimakamkan di tempat tersebut adalah Eyang Sutra Ngumbar seperti bisa dilihat disamping (maaf kurang jelas tulisan namanya), agak mirip-mirip memang namanya, dan mungkin nama yang dimaksud dalam sumber tersebut adalah tokoh yang sama dengan yang tertulis di makam keramat tajur cipancar ini, saya sendiri tidak sempat bertanya pada penduduk sekitar tentang hal tersebut karena waktu yang terbatas ketika berkunjung ke desa Cipancar. Makam ini terletak tidak jauh dari kantor desa Cipancar yang berada tepat dipusat keramaian desa, letaknya berada di jalan raya yang menghubungkan Cipameungpeuk-Baginda-Cipancar-Citengah.
 
Karena hal tersebutlah warga desa Cipancar tidak berani menyebut kata ucing/kucing, karena dengan melakukannya sama saja dengan menyebut nama leluhur mereka sendiri, dan tentunya tidak sopan  menyebut nama seseorang yang dihormati dengan hanya menyebut namanya saja, maka digantilah kata ucing dengan kata enyeng untuk menghindari ketidak sopanan pada leluhur. Hal tersebut juga berlaku pada nama permainan anak seperti kucing-kucingan, warga desa Cipancar menyebutnya dengan enyeng-enyengan, nama tumbuhan kumis kucing pun disebut dengan nama kumis enyeng (*Note : bagi sobat warga desa Cipancar yang kebetulan membaca artikel ini, mohon koreksi jika terdapat keterangan yang salah pada tulisan ini) 
 
 
Desa Cipancar berada tidak begitu jauh dari pusat kota Sumedang, jaraknya dari pusat kota kira-kira hanya 5 km-an, desa ini memiliki pemandangan yang sangat indah dengan pemandangan sawah, sungai, dan hamparan bukit-bukit karena ia berada di bawah kaki gunung Kareumbi. Lokasinya berada tidak jauh dari perkebunan teh Margawindu dan terlewati oleh mereka yang akan bertamasya ke Curug Gorobog

Sumber artikel https://www.jeryanuar.web.id/2014/10/hormati-leluhur-tidak-boleh-menyebut.html

Diskusi

Silahkan masuk untuk berdiskusi.

Daftar Diskusi

Rekomendasi Entri

Gambar Entri
Tradisi MAKA
Seni Pertunjukan Seni Pertunjukan
Nusa Tenggara Barat

MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...

avatar
Aji_permana
Gambar Entri
Wisma Muhammadiyah Ngloji
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
SMP Negeri 1 Berbah
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Pabrik Gula Randugunting
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Kompleks Panti Asih Pakem
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja

avatar
Bernadetta Alice Caroline