Hampatong (Tempatong atau Sepundu) berasal dari kata patong yang memiliki arti patung atau dalam Bahasa Inggris berarti Ancestor Statue (patung tetua/leluhur).  Hampatong merupakan patung-patung yang umumnya berukuran tinggi dibuat dari kayu ulin atau kayu besi.  Hampatong memiliki makna khusus bagi masyarakat Dayak di pedalaman Kalimantan, karena berkaitan dengan kepercayaan yang mereka anut. Konsep kepercayaan terhadap roh nenek moyang sudah ada sejak masa prasejarah dan hingga kini masih berlaku pada masyarakat Dayak seperti halnya pada sebagian besar suku bangsanya yang masih tinggal di pedalaman.  Hampatong berkaitan dengan kematian dan leluhur, dianggap sebagai representasi dari individu yang sudah meninggal atau secara umum dikenal sebagai figur nenek moyang.

 

Patung-patung ini dipercaya sebagai penjaga untuk melindungi masyarakat setempat dari penyakit dan gangguan roh jahat.  Figur nenek moyang ini umumnya diletakkan di pintu masuk desa, di tepi sungai atau di depan sebelah kiri rumah Panjang (tempat tinggal suku Dayak). Pada masyarakat Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah, hampatong diletakkan di dalam rumah karena dipercaya akan membawa keberuntungan dalam keluarga, memberi kesehatan dan hasil panen yang berlimpah.  Pada masyarakat Dayak Benuaq, Hampatong biasanya menggambarkan figur manusia yang sedang memegang ular.  Patung ini digunakan saat upacara pengobatan yang disebut ‘Balian Senteu’ dalam upaya mengusir roh-roh jahat yang mengganggu orang-orang yang sedang sakit tersebut.

 

Ada pula hampatong dibuat dengan ukuran kecil yang digunakan sebagai jimat pada masyarakat Dayak.  Hampatong tersebut biasanya digunakan dalam bentuk liontin atau kalung dimana disebutkan dalam kepercayaan tersebut bahwa pemakainya dapat terlindungi dari segala macam marabahaya, kekuatan jahat dan nasib buruk atau malapetaka lainnya (sumber didapat dari penjelasan mengenai patung tersebut dari Museum Nasional).