Cerita Rakyat
Cerita Rakyat
Cerita Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta DI Yogyakarta
Gunung Genthong
- 19 November 2018

Pada zaman dahulu, di tanah Jawa ada sebuah kerajaan besar yang bernama Majapahit. Salah seorang diantara raja-raja yang pernah memerintah kerajaan Majapahit itu bernama Prabu Brawijaya V. Sang Prabu Brawijaya V atau Brawijaya Pungkasan (terakhir), mempunyai seorang permaisuri dan beberapa orang selir. Salah seorang diantara para selir sang Prabu ialah Ratu Mayangsari. Suatu hari, pada saat Ratu Mayangsari mulai menampakkan gejala-gejala mengandung, sang Prabu Brawijaya menitipkannya kepada salah seorang saudaranya yang tinggal di desa dan hidup sebagai petani. Nama saudara sang Prabu yang diserahi tugas untuk menjaga Ratu Mayangsari itu ialah Ki Juru Sawah. Beberapa bulan kemudian, tibalah saatnya Ratu Mayangsari melahirkan seorang putera yang diberinya nama Raden Patah.

Suatu ketika, saat Raden Patah sudah mulai beranjak remaja, ia melihat Ki Juru Sawah akan pergi ke kerajaan untuk posok glondong pangareng-areng atau mempersembahkan upeti berupa sebagian dari hasil sawahnya kepada Raja. Saat Ki Juru Sawah berangkat ke kerajaan, Raden Patah mengikutinya secara sembunyi-sembunyi.

Sesampai di istana, Ki Juru Sawah langsung menghadap raja untuk menghaturkan upeti. Sementara Raden Patah yang mengikutinya dari belakang, mulai berkeliling untuk melihat istana raja. Ia yang sekali pun belum pernah ke istana, merasa kagum melihat barang-barang serba indah yang ada di sana. Dan, tanpa menghiraukan tata-krama yang berlaku di istana, Raden Patah langsung masuk ke sebuah gedung tempat menyimpan pusaka keraton. Setelah masuk ke dalam gedung, dengan tanpa ragu-ragu, Raden Patah memukul sebuah gong pusaka hingga menimbulkan suara yang menggelegar.

Mendengar suara gong pusaka yang menggelegar itu, Sang Prabu Brawijaya terkejut. Ia lalu memerintahkan Mahapatihnya, untuk melihat siapa orang yang telah berani memukul pusaka itu tanpa seizinnya.

Setelah mendapat perintah tersebut, sang Mahapatih lalu bergegas menuju gedung pusaka. Di sana ia melihat seorang anak muda yang di tangannya masih menggenggam alat pemukul gong. Setelah melihat siapa pelakunya, sang Mahapatih segera kembali ke istana untuk melaporkannya pada raja.

Ketika mendapat laporan dari Mahapatihnya itu, sang Prabu agak terkejut, sebab selain dirinya sendiri, di seluruh kerajaan hanya ada beberapa orang saja yang mempunyai kekuatan luar biasa yang mampu memukul gong pusaka itu hingga berbunyi. Sang Prabu kemudian berkata, “Anak siapa dia? Lekas panggil kemari!”

Sang Mahapatih kemudian kembali lagi ke gedung pusaka untuk membawa Raden Patah menghadap raja. Setelah Raden Patah dibawa menghadap baginda raja, Ki Juru Sawah yang juga masih di tempat itu menjadi terkejut sekali. Ia tidak menyangka kalau Raden Patah telah mengikutinya ke kota. Dan, agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, Ki Juru Sawah segera berkata, “Ampun Baginda Prabu, hamba sama sekali tidak menyangka kalau dia ikut ke kota. Sudah berkali-kali hamba melarang dia ikut, tetapi rupanya secara sembunyi-sembunyi dia mengikuti perjalanan hamba.”

“Kau kenal anak muda ini, Ki Juru?” tanya Sang Prabu.

“Ya. Hamba mengenalnya,” jawab Ki Juru Sawah.

“Siapakah dia?” tanya baginda.

“Ia adalah anak asuhan hamba,” jawab Ki Juru Sawah.

“Lalu, anak siapa dia?” tanya baginda lagi.

“Dia adalah anak yang dilahirkan oleh Ratu Mayangsari.”

“Wah, kalau begitu dia adalah anakku,” kata baginda.

“Benar, Baginda Prabu,” sembah Ki Juru Sawah.

“Kalau begitu, biarlah dia tinggal di keraton ini,” kata baginda dengan nada gembira, sebab anak dari salah seorang selirnya itu telah tumbuh menjadi seorang pemuda yang gagah dan tampan.

Singkat cerita, sejak saat itu Raden Patah tidak lagi tinggal di rumah Ki Juru Sawah, melainkan tinggal di Keraton Majapahit. Selama tinggal di keraton, Raden Patah dengan tekun mempelajari berbagai macam ilmu, sehingga pada saat usianya menginjak dewasa ia telah menjadi seorang yang tidak hanya pandai dalam ilmu olah kanuragan, tetapi juga ilmu-ilmu tentang kenegaraan. Oleh karena itu, Prabu Brawijaya lalu mengutusnya untuk mengepalai wilayah jajahan Majapahit di Palembang.

Setelah beberapa tahun menjadi kepala wilayah jajahan di Palembang, pada suatu malam Raden Patah bermimpin didatangi dan di-Islamkan oleh Kanjeng Sunan Kalijaga. Di dalam mimpinya itu Kanjeng Sunan Kalijaga juga berkata, “Jebeng1, sekarang sudah tiba saatnya kau kembali ke tanah Jawa. Tengoklah ayahmu yang kini telah lanjut usianya. Bawalah prajurit berjumlah seratus empat puluh orang. Tetapi ingat, kau jangan langsung menuju Majapahit, tetapi tinggallah di daerah Glagahwangi2 dan dirikanlah sebuah masjid di tempat itu.”
Setelah mendapat wisik3 dari Kanjeng Sunan Kalijaga, beberapa hari kemudian berangkatlah Raden Patah ke tanah Jawa, dengan membawa prajurit berjumlah seratus empat puluh orang. Setelah menempuh perjalanan yang panjang, sampailah rombongan itu di daerah Glagahwangi yang masih berupa hutan. Di hutan itu, Raden Patah beserta rombongannya mulai membangun sebuah masjid.

Oleh karena daerah Glagahwangi masih termasuk wilayah Kerajaan Majapahit, maka Raden Patah merasa perlu menjumpai ayahnya, untuk meminta izin membuka hutan dan mendirikan masjid. Dengan dasar itulah, maka Raden Patah beserta para pengiringnya berangkat ke Majapahit untuk menghadap Prabu Brawijaya.

Namun, karena mendapat laporan dari para telik sandi-nya yang menginformasikan bahwa Raden Patah sedang menuju ke kerajaan dengan membawa ratusan pengawal, entah mengapa Sang Prabu Brawijaya mengira bahwa anaknya itu akan menyerang Kerajaan Majapahit. Dan, entah mengapa pula sang Prabu lalu mengajak permaisuri beserta pengawalnya untuk melarikan diri dari Majapahit. Dalam pelarian ini sang Prabu juga membawa anjing kesayangannya.

Pelarian sang Prabu Brawijaya, permaisuri beserta para pengiringnya itu dari Kerajaan Majapahit menuju ke arah barat hingga sampai di wilayah Gunung Kidul. Sesampainya di tempat itu, sang Prabu menyuruh para pengiringnya membuka hutan dan mendirikan sebuah pedukuhan. Pedukuhan ini sekarang telah menjadi sebuah desa yang bernama Desa Gagang, termasuk dalam wilayah Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Saat Raden Patah beserta pengiringnya telah tiba di Majapahit, ia menjadi kecewa karena kerajaan telah kosong. Rupanya antara ayah dan anak tersebut telah terjadi suatu kesalah-paham. Raden Patah datang ke kerajaan dengan maksud ingin meminta izin untuk mendirikan masjid di Glagahwangi, sedangkan Prabu Brawijaya mengira kedatangan puteranya itu bertujuan hendak menyerang Majapahit. Oleh karena itu, Raden Patah beserta pengiringnya berusaha menyusul ayahandanya ke Gunung Kidul.

Setelah beberapa saat lamanya bermukim di Gunung Kudul, Prabu Brawijaya mendengar berita lagi bahwa rombongan Raden Patah sedang menyusulnya. Prabu Brawijaya yang semakin yakin bahwa puteranya itu ingin menyerangnya, kemudian pindah lagi ke sebuah bukit yang masih berada di kawasan Gunung Kidul. Di tempat yang baru itu ia mendirikan sebuah padepokan yang saat ini telah menjadi sebuah desa yang bernama Manggung4. Tujuan dari pendirian pedukuhan di atas bukit adalah agar apabila Raden Patah beserta para pengiringnya datang, dapat segera mengetahuinya.

Namun, setelah tinggal di bukit itu, sang Prabu beserta para pengawalnya menghadapi kesulitan. Di puncak bukit tidak ada sumber air, sehingga setiap ia dan permaisurinya memerlukan air, terpaksa pengawalnya harus pergi ke sumber air yang terletak di kaki bukit.

Sementara itu, Raden Patah yang berusaha menyusul telah sampai di Gunung Nglompong. Di daerah Gunung Nglompong ini ia mendapat keterangan dari penduduk bahwa Prabu Brawijaya bersembunyi di puncak bukit Manggung. Raden Patah juga mengetahui, bahwa di tempat persembunyiannya Prabu Brawijaya sering mengalami kesulitan karena tidak ada air. Oleh sebab itu, dengan kemampuan luar biasa yang dimiliki, Raden Patah lalu melemparkan sebuah genthong atau padasan yang penuh berisi air ke puncak Bukit Manggung.

Sewaktu sang Prabu secara tiba-tiba mendapati sebuah padasan yang telah berisi air di depan pondoknya, ia yakin bahwa itu adalah “ulah” anaknya. Ia menyangka Raden Patah sedang mengejeknya dengan memberikan genthong yang penuh berisi air yang memang sangat dibutuhkannya. Oleh karena itu, sang Prabu beserta permaisuri dan para pengawalnya meninggalkan bukit Manggung untuk mencari tempat persembunyian yang lain. Dan sejak saat itu, bukit tempat Prabu Brawijaya yang dilempari sebuah genthong oleh Raden Patah dinamakan sebagai Gunung Genthong. Dan, sampai saat ini genthong “pemberian” Raden Patah itu masih ada namun dindingnya sudah retak-retak, sehingga tidak dapat lagi digunakan untuk menampung air.

Begitulah, terus-menerus Sang Prabu Brawijaya senantiasa melarikan diri dan bersembunyi. Sedangkan Raden Patah pun juga terus saja mencari dan berusaha ingin menjumpai. Sampai suatu saat sang Prabu dapat tersusul oleh Raden Patah.

Singkat cerita, setelah mendengar penjelasan dari Raden Patah, maka seluruh kesalah-pahaman diantara mereka pun dapat diselesaikan. Dan, kepada puteranya itu sang Prabu berkata, “Baiklah, Patah. Ayahanda ingin berbicara. Kalau ayahanda harus menuruti kehendakmu untuk menganut agamamu, ayahanda tidak bersedia. Kalau kau memang memilih agamamu itu, tekunilah dengan sungguh-sungguh. Soal niatmu akan membangun masjid, laksanakan sebaik-baiknya. Bahkan ayahanda mengizinkan engkau membangun keratonmu di Glagahwangi. Setelah jadi, namakanlah Demak Bintara, agar negerimu kelak ramai dan berwibawa. Pindahkanlah seluruh isi Keraton Majapahit ke Demak Bintara.”

Setelah mendapat nasihat dari ayahandanya, Raden Patah lalu melanjutkan rencananya membangun masjid di Glagahwangi. Bahkan, sesuai dengan nasihat yang diterimanya, ia pun mulai mendirikan keraton. Saat keraton selesai di buat, barang-barang dari Keraton Majapahit lalu dipindahkan ke keratonnya yang dinamakan Demak Bintara.

 

 

Referensi:

  1. Indotim (https://indotim.wordpress.com/cerita-rakyat-nusantara-2/cerita-rakyat-nusantara-vii/9/)

Diskusi

Silahkan masuk untuk berdiskusi.

Daftar Diskusi

Rekomendasi Entri

Gambar Entri
Dari Rendang Hingga Gudeg: 10 Mahakarya Kuliner Indonesia yang Mengguncang Lidah
Makanan Minuman Makanan Minuman
DKI Jakarta

1. Rendang (Minangkabau) Rendang adalah hidangan daging (umumnya sapi) yang dimasak perlahan dalam santan dan bumbu rempah-rempah yang kaya selama berjam-jam (4–8 jam). Proses memasak yang sangat lama ini membuat santan mengering dan bumbu terserap sempurna ke dalam daging. Hasilnya adalah daging yang sangat empuk, padat, dan dilapisi bumbu hitam kecokelatan yang berminyak. Cita rasanya sangat kompleks: gurih, pedas, dan beraroma kuat. Rendang kering memiliki daya simpan yang panjang. Rendang adalah salah satu hidangan khas Indonesia yang paling terkenal dan diakui dunia. Berasal dari Minangkabau, Sumatera Barat, masakan ini memiliki nilai budaya yang tinggi dan proses memasak yang unik. 1. Asal dan Filosofi Asal: Rendang berasal dari tradisi memasak suku Minangkabau. Secara historis, masakan ini berfungsi sebagai bekal perjalanan jauh karena kemampuannya yang tahan lama berkat proses memasak yang menghilangkan air. Filosofi: Proses memasak rendang yang memakan waktu lama mela...

avatar
Umikulsum
Gambar Entri
Resep Ayam Goreng Bawang Putih Renyah, Gurih Harum Bikin Nagih
Makanan Minuman Makanan Minuman
Jawa Barat

Ayam goreng adalah salah satu menu favorit keluarga yang tidak pernah membosankan. Namun, jika kamu ingin mencoba variasi yang lebih gurih dan harum, ayam goreng bawang putih renyah adalah pilihan yang tepat. Ciri khasnya terletak pada aroma bawang putih yang kuat serta kriukannya yang renyah saat digigit. Resep ini juga sangat mudah dibuat, cocok untuk menu harian maupun ide jualan. Bahan-Bahan Bahan Ayam Ungkep ½ kg ayam (boleh potong kecil agar lebih cepat matang) 5 siung bawang putih 4 siung bawang merah 1 sdt ketumbar bubuk 1 ruas kunyit (opsional untuk warna) Garam secukupnya Kaldu bubuk secukupnya Air ± 400 ml Bahan Kriuk Bawang 5–6 siung bawang putih, cincang halus 3 sdm tepung maizena ¼ sdt garam ¼ sdt lada Minyak banyak untuk menggoreng Cara Membuat Ungkep ayam terlebih dahulu Haluskan bawang putih, bawang merah, kunyit, dan ketumbar. Tumis sebentar hingga harum. Masukkan ayam, aduk rata, lalu tuang air. Tambahkan garam dan kaldu...

avatar
Apitsupriatna
Gambar Entri
Resep Ayam Ungkep Bumbu Kuning Cepat, Praktis untuk Masakan Harian
Makanan Minuman Makanan Minuman
Jawa Barat

Ayam ungkep bumbu kuning adalah salah satu menu rumahan yang paling praktis dibuat. Rasanya gurih, aromanya harum, dan bisa diolah lagi menjadi berbagai hidangan seperti ayam goreng, ayam bakar, hingga pelengkap nasi kuning. Keunggulan lainnya, resep ini termasuk cepat dan cocok untuk kamu yang ingin memasak tanpa ribet namun tetap enak. Berikut resep ayam ungkep bumbu kuning cepat yang bisa kamu coba di rumah. Bahan-Bahan ½ kg ayam, potong sesuai selera 4 siung bawang putih 5 siung bawang merah 1 ruas kunyit 1 ruas jahe 1 ruas lengkuas (geprek) 2 lembar daun salam 2 lembar daun jeruk 1 batang serai (geprek) 1 sdt ketumbar bubuk (opsional) Garam secukupnya Kaldu bubuk secukupnya Air ± 400–500 ml Minyak sedikit untuk menumis Cara Membuat Haluskan bumbu Blender atau ulek bawang merah, bawang putih, kunyit, jahe, dan ketumbar bubuk (jika dipakai). Semakin halus bumbunya, semakin meresap ke ayam. Tumis bumbu hingga harum Panaskan sedikit m...

avatar
Apitsupriatna
Gambar Entri
Konsep Ikan Keramat Sebagai Konservasi Lokal Air Bersih Kawasan Goa Ngerong Tuban
Cerita Rakyat Cerita Rakyat
Jawa Timur

Sumber daya air merupakan sebuah unsur esensial dalam mendukung keberlangsungan kehidupan di bumi. Ketersediaan air dengan kualitas baik dan jumlah yang cukup menjadi faktor utama keseimbangan ekosistem serta kesejahteraan manusia. Namun, pada era modern saat ini, dunia menghadapi krisis air yang semakin mengkhawatirkan (Sari et al., 2024). Berkurangnya ketersediaan air disebabkan oleh berbagai faktor global seperti pemanasan, degradasi lingkungan, dan pertumbuhan penduduk yang pesat. Kondisi tersebut menuntut adanya langkah-langkah strategis dalam pengelolaan air dengan memperhatikan berbagai faktor yang tidak hanya teknis, tetapi juga memperhatikan sosial dan budaya masyarakat. Salah satu langkah yang relevan adalah konservasi air berbasis kearifan lokal. Langkah strategis ini memprioritaskan nilai-nilai budaya masyarakat sebagai dasar dalam menjaga sumber daya air. Salah satu wilayah yang mengimplementasikan konservasi berbasis kearifan lokal yaitu Goa Ngerong di kecamatan Rengel,...

avatar
Muhammad Rofiul Alim
Gambar Entri
Upacara Kelahiran di Nias
Ritual Ritual
Sumatera Utara

Kelahiran seorang anak yang dinantikan tentu membuat seorang ibu serta keluarga menjadi bahagia karena dapat bertemu dengan buah hatinya, terutama bagi ibu (melahirkan anak pertama). Tetapi tidak sedikit pula ibu yang mengalami stress yang bersamaan dengan rasa bahagia itu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan tentang makna dari pra-kelahiran seseorang dalam adat Nias khusunya di Nias Barat, Kecamatan Lahomi Desa Tigaserangkai, dan menjelaskan tentang proses kelahiran anak mulai dari memberikan nama famanoro ono khora sibaya. Metode pelaksanaan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode observasi dan metode wawancara dengan pendekatan deskriptif. pendekatan deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan fakta sosial dan memberikan keterangan yang jelas mengenai Pra-Kelahiran dalam adat Nias. Adapun hasil dalam pembahasan ini adalah pra-kelahiran, pada waktu melahirkan anak,Pemberian Nama (Famatorõ Tõi), acara famangõrõ ono khõ zibaya (Mengantar anak ke rumah paman),...

avatar
Admin Budaya