Selama ini kita hanya mengenal Omed-omedan sebagai salah satu tradisi mencari jodoh di Indonesia yang berlangsung di Bali. Ternyata, di salah satu kawasan ujung timur Pulau Jawa, tradisi ini juga muncul sejak puluhan tahun yang lalu. Penduduk dari suku Osing yang ada di Banyuwangi secara berkelanjutan melaksanakan tradisi ini sebagai wujud syukur dan juga mempererat tali silaturahmi.
Berbeda dengan dengan Omed-omedan yang dilakukan secara terbuka dan disaksikan banyak orang. Gredoan yang ada di Banyuwangi dilakukan secara terpisah antara pria dan gadis yang dia suka. Kalau gadis menerima rayuannya dari bali anyaman bambu, maka dia bisa segera melamar dan melaksanakan pernikahnnya. Berikut uraian lengkap tentang Gredoan yang sangat unik itu.
Sejarah Tradisi Gredoan
Tidak ada yang tahu kapan asal mula dari tradisi Gredoan ini. Namun, sejak puluhan tahun yang lalu, masyarakat Osing di Banyuwangi sudah mengadakannya secara turun temurun. Jika awalnya penduduk di sana melamarkan anaknya secara langsung, maka dengan tradisi ini, anak-anak merekalah yang akan mencari calonnya sendiri dengan cara yang tidak melanggar agama.
Para pria yang sudah siap nikah bisanya akan memasukkan lidi dari janur kelapa ke lubang anyaman bambu (gedek) miliki gadis pujaannya. Jika gadis setuju, lidi itu akan dipatahkan lalu di pria mulai berbicara dan merayu. Perilaku merayu inilah yang membuat tradisi ini diberi nama gredoan yang merupakan turunan dari kata gridu berarti menggoda. Kalau gadis bisa dirayu, maka pria ini akan segera menemui orangtuanya untuk melamar.
Fungsi Tradisi Gredoan
Tradisi Gredoan memiliki beberapa fungsi yang saling bersambungan. Fungsi pertamanya adalah untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad Saw. Acara ini selalu dilakukan tepat saat Nabi Muhammad Saw lahir. Fungsi kedua dari tradisi ini adalah silaturahmi dengan banyak orang. Setiap warga akan berkumpul dan bertemu satu dengan lainnya. Meski hanya setahun sekali, acara ini cukup ampuh untuk mempererat tali persatuan.
Fungsi ketiga dari acara ini adalah untuk hiburan. Banyak pertunjukan pada acara ini sehingga banyak warga berkumpul. Terakhir, acara ini digunakan untuk mencari jodoh yang sesuai dan segera menikah dalam waktu dekat. Gredoan adalah ajang para pria menunjukkan pesonanya agar pria gadis jatuh hati padanya.
Jalannya Tradisi Gredoan
Tradisi ini tidak dijalankan dengan perayaan yang aneh-aneh. Biasanya kaum wanita dan anak gadisnya akan membantu memasak di dapur. Mereka akan memasak hidangan berupa nasi, hidangan khas Osing dan juga kue tradisional. Sementara para wanita berada di dapur, para pria akan membuat alat pertunjukan atau mengumpulkan sumbangan minyak tanah dari warga.
Beranjak malam, pertunjukan akan segera di mulai. Para pria akan mulai menyalakan obor-obor yang ada di tangannya. Obor yang berbentuk tongkat ini akan dibawa oleh para pemuda yang sesekali digunakan sebagai alat untuk bertarung satu dengan lainnya. Atraksi ini dilakukan dengan berkeliling kampung sehingga kawasan itu jadi bercahaya meski tanpa lampu.
Pandangan Tradisi Gredoan dari Berbagai Aspek
Beberapa pendapat memandang kalau tradisi Gredongan adalah alternatif lain dari pemaksaan lamaran. Orang tua hanya memberikan fasilitas sementara kedua anaknya akan berkenalan sendiri dengan cara yang benar. Jika perkenalan ini cocok, maka dilanjutkan dengan pernikahan. Tradisi Gredoan juga akan mengurangi adanya praktik kawin colong yang cukup meresahkan bagi beberapa orang tua.
Gredoan juga dipandang sebagai tradisi perkenalan yang bermartabat. Pria dan wanita tidak bertemu secara langsung karena bukan muhrimnya. Terakhir, tradisi ini dipandang sebagai pemersatu penduduk Suku Osing sehingga mereka bisa bahu-membahu untuk menyelenggarakan acara besar ini mulai dari tenaga hingga dana.
Sumber: Boombastis.com
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja