Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sekelompok masyarakat dan diwariskan dari generasi ke generasi. Sebuah kebudayaan dalam perkembangannya menyangkut masyarakat dan pelestariannya, dapat berubah seiring berjalannya waktu. Kebudayaan akan berkembang jika masyarakat memperlakukan kebudayaan seperti barang berharga yang harus dijaga. Namun, kebudayaan yang hanya tertera dalam catatan sejarah lama kelamaan akan pudar bahkan hilang.
Dulunya, masyarakat sangat cinta dengan kesenian yang merupakan salah satu kebudayaan warisan dari nenek moyang bangsa Indonesia. Kesenian merupakan bagian dari budaya dan merupakan sarana yang digunakan untuk mengekspresikan rasa keindahan dari dalam jiwa manusia. Selain mengekspresikan rasa keindahan, kesenian juga dapat mempererat tali persaudaraan dan rasa solidaritas masyarakat.
Namun, dewasa ini, kebudayaan Indonesia terutama pada bidang seni tradisional sudah mulai terasingkan. Peranannya di hati masyarakat khususnya anak muda sudah tergantikan oleh kesenian dan kebudayaan dari luar. Mulai dari anak-anak hingga masyarakat dewasa pasti tahu jika ditanya perihal kesenian luar yang mereka sukai, dibandingkan dengan kesenian tradisional negara sendiri.
Meskipun masih ada beberapa masyarakat yang melestarikan kebudayaan Indonesia, tetapi tidak sedikit pula masyarakat yang merasa tak acuh. Masuknya budaya baru yang dirasa menarik membuat kecintaan masyarakat terhadap kebudayaannya sendiri menjadi pudar. Sehingga peranan kesenian dan kebudayan tradisional sedikit demi sedikit mulai memudar, bahkan dapat kandas apabila benar-benar diabaikan.
Fenomena seperti inilah yang membuat beberapa masyarakat⸺yang masih mempunyai rasa kepemilikan atas kesenian daerahnya⸺berinisiatif untuk terus menerapkan dan melestarikannya melalui pertunjukan dari satu tempat ke tempat lainnya.
Berbicara mengenai pertunjukan kesenian, memang tidak sepenuhnya terlupakan oleh masyarakat. Masih ingatkah kalian dengan penampilan kesenian musik angklung dan kolintang yang ditampilkan di sekitar jalan Gelora Bung Karno (GBK) belum lama ini?
Sekilas tentang kesenian yang sempat ditampilkan di Asian Games 2018. Dikutip dari poskotanews.com, Penonton yang hendak masuk ke stadion saat itu dijamu dengan kesenian musik menggunakan lagu dan alat musik khas Indonesia. Bahkan beberapa lagu barat sempat dinyanyikan. Diikuti ratusan seniman termasuk anak-anak, penonton khususnya warga asing dibuat kagum dengan penampilan mereka yang menyanyikan lagu-lagu kebangsaan diiringi musik dari angklung, kolintang dan kecapi dengan dipimpin delapan penyanyi. Tidak hanya menggunakan alat tradisional, seniman itu juga mengenakan busana tradisional dari seluruh provinsi di Indonesia. Sembari bernyanyi dan menari mereka nampak asyik serta kompak memainkan alat musik.
Tidak hanya tiga kesenian tersebut yang membuat masyarakat kagum melihatnya, masih ada lagi kesenian dari budaya Indonesia yang sempat membuat siapapun yang melihatnya terkagum-kagum. Salah satunya adalah penampilan tari ratoh jaroe⸺warisan budaya dari Aceh, pulau Sumatera⸺pada saat pembukaan Asian Games 2018.
Dikutip dari kumparan.com, “Aksi 1600 penari sukses mencuri perhatian dalam gelaran malam pembukaan Asian Games 2018. Aksi heroik yang ditampilkan para penari menjadi klimaks pembukaan perhelatan olah raga terbesar di Benua Asia. Mulai dari kekompakan, keindahan, hingga formasi tarian membuat penonton terkagum-kagum. Tidak hanya heran dengan kekompakan dan formasi yang ditampilkan, banyak masyarakat yang heran dengan cepatnya para penari berganti baju sebanyak 4 kali saat tampil. Putih, merah, oranye, dan ungu ketiga warna itu muncul bergantian dalam waktu hampir bersamaan. Penonton disuguhkan dengan formasi warna baju yang berubah-ubah tempat.”
Dan masih banyak lagi kesenian-kesenian yang ditampilkan pada saat itu. Semua memuji keindahan dari seni yang ditampilkan, bahkan dengan bangga mengakui bahwa itu merupakan kesenian dari daerah asal mereka.
Kembali pada fenomena kesenian tradisional yang mulai tersisihkan. Di luar dari seni yang ditampilkan saat ajang-ajang tertentu, masih banyak kesenian tradisional Indonesia yang tak terjamah oleh masyarakat kebanyakan. Kalau saja kesenian Indonesia hanya dapat dinikmati di suatu pagelaran yang besar, Lalu bagaimana dengan para seniman jalanan yang hanya dapat memberi pertunjukan yang ala kadarnya, dari satu tempat ke tempat lainnya atau bahkan layaknya seorang pengamen yang meminta dari satu rumah ke rumah lainnya? Miris sekali bukan?. Mereka seakan terlupakan dan tak dipedulikan.
Di era modern ini, sudah tidak jarang lagi kita melihat beberapa kesenian tradisional yang dipagelarkan di sisi jalan, atau ada juga yang dari rumah ke rumah. Seperti halnya kesenian ondel-ondel dari Jakarta, kuda lumping dari Pulau Jawa, jaran kepang dari Ponorogo dan kesenian-kesenian lainnya.
Ondel-ondel (dahulu lebih dikenal dengan nama Barongan) telah menjadi salah satu ikon budaya yang paling terkenal dalam kebudayaan Betawi. Bentuknya yang khas telah menjadi bagian dari kehidupan budaya masyarakat Jakarta maupun Indonesia. Ondel-ondel dulu biasanya lekat dan selalu hadir dalam pesta-pesta rakyat Betawi. Saat ini, ondel-ondel lebih umum digunakan sebagai penyemarak acara-acara rakyat maupun budaya. Tidak jarang pula kita melihat ondel-ondel ini diarak mengitari pinggiran jalan, bahkan masuk ke dalam gang-gang sempit yang sekiranya hanya memuat satu tubuh ondel-ondel tersebut. Begitupun dengan kesenian tradisional lainnya, mereka semua mulai terabaikan. Masyarakat seakan-akan sudah tidak memiliki rasa ketertarikan pada hal-hal yang berbau tradisional, seperti kesenian itu sendiri.
Kurangnya rasa minat masyarakat dan mulai berpindahnya kecintaan mereka kepada kesenian modern, maka tidak aneh lagi jika kesenian tradisional mulai tersisihkan. Maka dari itu, tongkat estafet inilah yang akhirnya dilanjutkan oleh para pengamen jalanan yang masih ingin melestarikan kebudayaan tradisional negaranya. Walau tidak menutup kemungkinan juga karena mereka butuh uang untuk tetap melanjutkan hidup mereka.
Pengamen sering dikonotasikan negatif karena mengganggu ketertiban dan membuat suara bising yang tidak jelas sehingga menganggu masyarakat dan hal ini sangat bertentangan dengan etika masyarakat dimana nilai nilai kemanusiaan harus dijunjung tinggi demi terciptanya kemakmuran antar bangsa. Pengamen itu sendiri diartikan sebagai penari, penyanyi, atau pemain musik yg tidak tetap tempat pertunjukannya, biasanya mengadakan pertunjukan di tempat umum dengan berpindah-pindah.
Dimata masyarakat Indonesia saat ini, peran pengamen adalah suatu hal yang memalukan dan mungkin ada beberapa yang berpendapat bahwa hal itu tak layak dilakukan. Namun, bagi mereka yang sudah tidak tahu harus bekerja apa di zaman yang kata orang sulit untuk mendapatkan pekerjaan yang berkualitas, dan ditambah dengan keahlian mereka dalam berseni, maka menjadi pengamen seni tradisional adalah satu-satunya pilihan yang dapat mereka lakukan. Walaupun, banyak pula yang melakukannya atas dasar keinginan dari hatinya karena rasa cinta terhadap kesenian daerahnya.
Uang yang mereka hasilkan dari mengamen mungkin tidak seberapa, jika dibandingkan dengan jerih payah mereka yang harus menyusuri jalan setiap harinya. Masyarakat memang mulai tak acuh, tidak hanya dengan kesenian yang ditampilkan, melainkan juga dengan pengamen itu sendiri. Tidak sedikit masyarakat yang malas jika harus mengeluarkan sedikit uangnya untuk sekedar memberikannya kepada para pengamen seperti mereka. Antara pengamen dengan kesenian yang ditampilkannya sama-sama tidak dipedulikan. Seperti itulah gambaran nasib para seniman jalanan saat ini.
Akan tetapi, ada hal yang mungkin menjadi perdebatan perihal kesenian tradisional dan pengamen yang membawakannya. Melihat kondisi kesenian tradisional era sekarang, pantaskah semua itu dipagelarkan dengan cara yang demikian? Yang ditampikan dari satu rumah ke rumah lainnya dengan keadaan lusuh, dekil, bau karena terkena banyak asap dan hal-hal lainnya yang dapat merusak nilai estetika dari kesenian itu sendiri. Pantaskah seperti itu? Bahkan para seniman jalanan ini pun tidak digubris sedikitpun oleh masyarakat setempat. Lalu bagaimana nasib mereka ke depannya dan bagaimana pula nasib kesenian tradisional yang sudah mereka upayakan untuk tetap dilestarikan?
Mungkin pertanyaan-pertanyaan itu dapat kita resapi dan kita renungkan kembali. Salahkah para ‘pengamen’ ini karena sudah menggunakan kesenian daerah sebagai alasan untuk mencari uang? Tentu tidak. Alasan mereka untuk melanjutkan hidup ini tidak bisa dikambinghitamkan dan begitupun niat baik mereka untuk melestarikan kesenian dan kebudayaan tradisional saat ini patut diapresiasi.
Semoga dengan dipertontonkannya kesenian tradisional oleh para pengamen seni tradisional tersebut, dapat membuat masyarakat yang buta akan kekayaan budaya di Indonesia dapat membuka matanya lebar-lebar, bahwa mereka diwariskan oleh para leluhur bangsanya berbagai anugerah berupa kesenian yang amat eloknya. Dan alangkah baiknya kalau mereka diberikan wadah atau tempat yang pantas untuk mengadakan pagelaran seni tradisional, agar kebudayaan negara kita ini tidak kalah dengan budaya luar yang semakin hari semakin diminati.
Bahan bacaan :
http://www.artikelsiana.com/2015/08/pengertian-kebudayaan-menurut-para-ahli.html#
https://kumparan.com/aulia-aminda-dhianti1510048024397/beda-ondel-ondel-dulu-dan-sekarang
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja