Cerita Rakyat
Cerita Rakyat
Cerita Rakyat Jawa Timur Lamongan
Desa Pancasila

Desa Pancasila. Begitulah sebutan yang sering disematkan pada Desa Balun, Kecamatan Turi, Kabupaten Lamongan. Karena di desa inilah terdapat toleransi beragama yang sangat kuat dari masyarakatnya. Di desa ini ada 3 tempat beribadah yang saling berjejer. Yaitu masjid, pura, dan gereja. Namun masyarakat desa yang memeluk berbagai agamapun tetap rukun dan damai. Masyarakat Hindu Bali sering berkunjung ke desa ini pada acara keagamaan. Begitupun sebaliknya, masyarakat Desa Balun berkunjung ke Bali pada upacara keagamaan lainnya.

Toleransi keagamaan yang diperlihatkan di desa ini contohnya, saat peringatan hari besar hindu, masyarakat yang beragama islam membantu keamanan desa. Dan sebaliknya. Begitupun dengan agama lain yang ada di desa ini.

Berbicara mengenai Desa Balun (orang Jawa Timur membaca ‘Mbalun’), maka akan mengarah kepada seorang tokoh pendiri desa ini. Menurut cerita rakyat yang berkembang di daerah Lamongan, Desa Balun didirikan oleh seorang bernama Mbah Alun (‘Mbah’ dalam Bahasa Jawa berarti sebutan untuk orang tua/kakek) pada tahun 1600-an.

Mbah Alun atau yang dikenal sebagai Sunan Tawang Alun I atau Mbah Sin Arih konon adalah Raja Blambangan bernama Bedande Sakte Bhreau Arih yang bergelar Raja Tawang Alun I. Ia lahir di Lumajang tahun 1574. Ia merupakan anak dari Minak Lumpat yang menurut buku Babad Sembar adalah keturunan Lembu Miruda dari Majapahit. Mbah Alun belajar mengaji dari Sunan Giri IV (Sunan Prapen). Selesai mengaji beliau kembali ke tempat asalnya untuk menyiarkan agama Islam sebelum diangkat menjadi Raja Blambangan.

Selama pemerintahannya (1633-1639), Blambangan mendapat serangan dari Mataram dan Belanda sehingga Kedaton Blambangan hancur. Saat itu Sunan Tawang Alun I melarikan diri ke arah barat menuju Brondong untuk mencari perlindungan dari anaknya yaitu Ki Lanang Dhangiran (Sunan Brondong), lalu diberi tempat di desa kuno bernama Candipari (sekarang Desa Balun) untuk bersembunyi dari kejaran musuh. Disinilah Sunan Tawang Alun I mengajar mengaji dan menyiarkan agama Islam sampai wafat tahun 1654 berusia 80 tahun sebagai seorang Waliyullah.

Desa tempat makam Mbah Alun inilah kemudian disebut Desa Mbah Alun dan kini menjadi Desa Balun. Dan makamnya sampai sekarang masih banyak diziarahi oleh orang-orang dari daerah lain, apalagi bila hari Jumat Kliwon banyak sekali rombongan-rombangan peziarah yang datang ke Desa Balun.

Pasca G30S/PKI tepatnya tahun 1967 Kristen dan Hindu mulai masuk dan berkembang di Desa Balun. Berawal dari adanya pembersihan terhadap orang-orang PKI termasuk para pamong desa yang diduga terlibat. Akibatnya terjadi kekosongan kepala desa dan perangkatnya. Maka untuk menjaga dan menjalankan pemerintahan desa, ditunjuklah seorang prajurit untuk menjadi pejabat sementara di desa ini. Prajurit tersebut bernama Pak Batih yang beragama Kristen. Dari sinilah Kristen mulai dapat pengikut, kemudian Pak Batih mengambil teman dan pendeta untuk membaptis para pemeluk baru.  Karena sikap keterbukaan dan toleransi yang tinggi dalam masyarakat Desa Balun maka penetrasi Kristen tidak menimbulkan gejolak. Di samping itu Kristen tidak melakukan dakwah dengan ancaman atau kekerasan.

Pada tahun yang sama yakni 1967 juga masuk pembawa agama Hindu yang datang dari desa sebelah yaitu Plosowahyu. Adapun tokoh sesepuh Hindu adalah  Bapak Tahardono Sasmito. Agama Hindu inipun tidak menimbulkan gejolak pada masyarakat. Masuknya seseorang pada agama baru lebih disebabkan ketertarikan pribadi tanpa paksaan. Sebagai agama pendatang di Desa Balun, Kristen dan Hindu berkembang perlahan-lahan. Mereka melakukan sembahyang di rumah tokoh-tokoh mereka, kemudian dengan pertambahan pemeluk baru dan dengan semangat swadaya yang tinggi mereka mulai membangun tempat ibadah sederhana dan setelah melewati tahap-tahap perkembangan sampai akhirnya berdirilah gereja dan pura yang megah.

Sejak masuknya Hindu dan Kristen tahun 1967 dan Islam sebagai agama asli belum pernah terjadi konflik agama. Meskipun secara jumlah pemeluk agama masyoritas tetap Islam yaitu 75% dan pemeluk agama yang paling sedikit adalah Hindu dengan 7% serta sisanya agama Kristen 18%, tekanan atau perlakuan sewenang-wenang tentang agama tidak pernah ada. Masing-masing dari mereka saling menjaga. Begitupula tidak ada pengelompokan tempat tinggal berdasar agama, mereka hidup campur dan menyebar rata. Perbedaan agama bukan hanya terjadi antar keluarga, tetapi terjadi pula pada keluarga itu sendiri. Bukan hal tabu disana bahwa di dalam satu keluarga terdapat tiga pemeluk agama berbeda.

Interaksi sosial yang demikian itu melahirkan budaya-budaya yang khas dan menimbulkan interpretasi pada simbol-simbol budaya yang berbeda dengan daerah lain. Suatu misal, pada saat datang ke hajatan untuk menyumbang atau membantu, para perempuan banyak yang memakai kerudung (bukan jilbab) dan bapak-bapak banyak yang memakai songkok atau kopyah, padahal agama mereka belum tentu Islam sebagaimana pada masyarakat yang lain. Hal ini berarti kerudung dan kopyah lebih diartikan sebagai simbol budaya yang diinterpretasikan menghormati pesta hajatan.

Budaya selamatan juga masih banyak dilakukan masyarakat Balun. Biasanya selamatan menyambut Bulan Ramadhan dan selamatan sebelum hari raya umat Islam. Bagi yang bukan agama Islam juga ikut mengadakan selamatan, hal ini lebih dimaksudkan atau dimaknai sebagai tindakan sosial daripada tindakan religius sebab mereka bukan umat Islam. Mereka memaknainya untuk merekatkan hubungan antar tetangga dan mengenai waktu mereka selaraskan dengan pilihan umat Islam.

Selamatan untuk orang meninggal juga masih dilakukan oleh sebagian besar masyarakat Balun. Mereka mengundang tetangga dan kerabat termasuk mereka yang beragama Hindu dan Kristen. Bagi mereka memenuhi undangan adalah sesuatu yang penting karena disitu terdapat kontrol sosial yang ketat. Bagi mereka yang tidak datang harus pamitan dulu sebelum dan sesudahnya.

Kebiasaan lain dari masyarakat Balun ini adalah penyambutan bulan Agustus yang dimeriahkan dengan banyak acara. Sebagai ciri khas masyarakat yang multi agama adalah seni yang dimainkan dalam pentas seni. Adanya kolaborasi dari tri-agama, dimana Islam dengan seni bermain terbang, Kristen dengan band, dan Hindu dengan gamelannya.

 

#OSKMITB2018

Diskusi

Silahkan masuk untuk berdiskusi.

Daftar Diskusi

Rekomendasi Entri

Gambar Entri
Tradisi MAKA
Seni Pertunjukan Seni Pertunjukan
Nusa Tenggara Barat

MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...

avatar
Aji_permana
Gambar Entri
Wisma Muhammadiyah Ngloji
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
SMP Negeri 1 Berbah
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Pabrik Gula Randugunting
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Kompleks Panti Asih Pakem
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja

avatar
Bernadetta Alice Caroline