Dalam hukum adat Mandailing dikenal sistem kekerabatan yang disebut dengan Dalihan Na Tolu. Sistem ini secara etimologis berarti ‘tungku yang tiga’, tungku yang disebut Dalihan Na Tolu ini digunakan sebagai analogi kekerabatan dalam hukum adat Mandailing. Tungku tersebut memerlukan tiga kaki yang berukuran sama dan terbuat dari batu sehingga periuk yang digunakan tidak akan jatuh. Dalam hal ini, tungku tersebut menggambarkan bahwa masyarakat Mandailing mempunyai kedudukan yang sama dalam kekeluargaan. Tungku yang digunakan adalah tungku kaki tiga karena jika salah satu kaki tidak berfungsi maka tungku tidak akan dapat berdiri, berbeda dengan tungku kaki empat ataupun lima yang mana apabila satu kaki tidak berfungsi maka tungku masih dapat berdiri karena masih ada tiga atau empat kaki tungku lainnya. Tungku ini juga dapat difilosofikan sebagai konsep gotong royong yang mana ketiga komponen (kaki tungku) harus ikut berperan agar tungku bisa berdiri dengan kuat. Sehingga, Dalihan Na Tolu ini merupakan lambang kekuatan peradatan yang ada dan menjadi sumber berbagai peraturan adat yang ada.
Dalihan Na Tolu merupakan kerangka yang meliputi hubungan-hubungan kerabat darah dan perkawinan yang mempertalikan antar kelompok (dalam hal ini adalah marga). Adapun yang dimaksud dengan ketiga tungku itu adalah:
Somba sebenarnya berasal dari kata sembah, namun dalam hal ini somba lebih tepat diartikan sebagai “hormat”. Sedangkan hula-hula/mora adalah pihak keluarga dari istri. Dalam hal pernikahan, hula-hula menempati posisi yang paling dihormati sehingga dalam ikatan pernikahan seluruh pihak harus menghormati hula-hula (somba marhula-hula). Hula-hula dipercayai sebagai sumber berkat dan disebut sebagai sumber hagabeon/keturunan karena keturunan diperoleh dari seorang istri yang berasal dari hula-hula, tanpa hula-hula, tidak akan ada keturunan.
Dalam kesehariannya, hula-hula berperan sebagai pemberi pasu-pasu atau restu serta pemberi nasehat yang paling tinggi. Itu sebabnya dalam tari manortor, hula-hula akan memposisikan tangannya dengan telapak menghadap ke bawah dan sedikit lebih tinggi dari baru atau sejajar dengan kepala. Hal ini melambangkan pemberian restu atau berkat.
Manat berarti hati-hati, sedangkan dongan tubu/hahanggi disebut juga dengan dongan sabutuha adalah saudara laki-laki satu marga. Sehingga, ini merupakan sikap berhati-hati dengan pihak satu marga agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam pelaksanaan acara adat. Keluarga semarga diibaratkan sebagai kayu yang begitu dekat sehingga gesekan (konflik) mungkin terjadi, namun hal ini tidak seharusnya membuat hubungan semarga menjadi tidak harmonis.
Elek berarti bujuk dan boru/anak boru adalah pihak keluarga yang mengambil istri dari suatu marga (marga lain) atau bisa juga disebut dengan keluarga pihak laki-laki. Boru menempati posisi paling rendah sebagai ‘parhobas’ atau pelayan, baik dalam pergaulan sehari-hari dan terutama pada setiap upacara adat, posisi ini adalah kebalikan dari posisi hula-hula. Sementara itu ‘elek marboru’ diartikan sebagai rasa sayang yang tidak disertai maksud tersembunyi dan pamrih.
Ketiga hal itulah yang dijaga dalam adat Mandailing dalam pergaulan sehari-harinya, ketiga pihak (hula-hula, boru, dan dongan tubu) wajib dilibatkan dalam hal pernikahan suku Batak. Masing-masing pihak memiliki tugas yang berbeda-beda dan wajib berpartisipasi dalam penyelenggaraan pesta pernikahan suku Batak. Selain itu, sebagai tambahan, adat Batak memiliki aturan bahwa pernikahan satu marga dilarang walaupun sang pemuda dan gadis memiliki hubungan kekeluargaan yang jauh.
Adat Dalihan Na Tolu ini masih dijaga oleh orang Suku Batak sampai sekarang walaupun mereka menikah dengan orang yang berasal dari suku lain. Sebuah sistem demi menjaga tali kekeluargaan ini sangat baik sehingga patut dijaga sampai kapanpun.
Horas.
#OSKMITB2018
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja