|
|
|
|
#DaftarSB19: Motif Batik Larangan Keraton Yogjakarta Tanggal 16 Feb 2019 oleh Ailsa Vidi Chandrika. |
Batik larangan Keraton Yogyakarta, atau kadang disebut Awisan Dalem, adalah motif-motif batik yang penggunaannya terikat dengan aturan-aturan tertentu di Keraton Yogyakarta dan tidak semua orang boleh memakainya.
Keyakinan akan adanya kekuatan spiritual maupun makna filsafat yang terkandung dalam motif kain batik menjadi salah satu hal yang melatarbelakangi adanya batik larangan di Yogyakarta. Motif pada batik dipercaya mampu menciptakan suasana yang religius serta memancarkan aura magis sesuai dengan makna yang dikandungnya. Oleh karena itu beberapa motif, terutama yang memiliki nilai falsafah tinggi, dinyatakan sebagai batik larangan.
Adapun yang termasuk batik larangan di Keraton Yogyakarta antara lain Parang Rusak Barong, Parang Rusak Gendreh, Parang Klithik, Semen Gedhe Sawat Gurdha, Semen Gedhe Sawat Lar, Udan Liris, Rujak Senthe, Parang-parangan, Cemukiran, Kawung, dan Huk.
Setiap Sultan yang sedang bertahta memiliki kewenangan untuk menetapkan motif batik tertentu ke dalam batik larangan. Parang Rusak adalah motif pertama yang dicanangkan sebagai pola larangan di Kesultanan Yogyakarta oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I pada 1785.
Saat pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VII, batik larangan ditekankan pada motif huk dan kawung.
Motif huk terdiri dari motif kerang, binatang, tumbuhan, cakra, burung, sawat (sayap), dan garuda. Motif kerang bermakna kelapangan hati, binatang menggambarkan watak sentosa, tumbuhan melambangkan kemakmuran, sedangkan sawat ketabahan hati. Motif ini dipakai sebagai simbol pemimpin yang berbudi luhur, berwibawa, cerdas, mampu memberi kemakmuran, serta selalu tabah dalam menjalankan pemerintahannya.
Motif ini hanya boleh dikenakan oleh raja dan putra mahkota.
Motif kawung merupakan pola geometris dengan empat bentuk elips yang mengelilingi satu pusat. Bagan seperti ini dikenal dalam budaya Jawa sebagai keblat papat lima pancer. Ini dimaknai sebagai empat sumber tenaga alam atau empat penjuru mata angin.
Pendapat lain mengatakan kawung menggambarkan bunga lotus atau teratai yang sedang mekar. Bunga teratai sendiri digunakan sebagai lambang kesucian. Motif kawung juga sering diartikan sebagai biji kawung atau kolang-kaling, buah pohon enau atau aren yang sangat bermanfaat bagi manusia. Untuk itu pemakai motif ini diharapkan dapat bermanfaat bagi lingkungannya.
Motif ini boleh dipakai oleh para Sentana Dalem.
Pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono VIII bertahta (1921-1939), motif parang dan variasinya menjadi batik larangan yang sangat ditekankan di Keraton Yogyakarta. Penggunaannya secara khusus tertuang dalam “Rijksblad van Djokjakarta” tahun 1927, tentang Pranatan Dalem Bab Jenenge Panganggo Keprabon Ing Keraton Nagari Yogyakarta.
Ada dua versi dalam pemaknaan motif parang ini. Rouffaer dan Joynboll mengatakan motif ini berasal dari pola bentuk pedang yang biasa dikenakan para ksatria dan penguasa saat berperang . Ksatria yang mengenakan motif ini diyakini bisa berlipat kekuatannya.
Versi lain mengatakan, motif parang ini diciptakan Panembahan Senapati saat mengamati gerak ombak Laut Selatan yang menerpa karang di tepi pantai. Sehingga pola garis lengkungnya diartikan sebagai ombak lautan yang menjadi pusat tenaga alam. Dalam hal itu yang dimaksud adalah kedudukan raja. Komposisi miring pada motif parang ini juga menjadi lambang kekuasaan, kebesaran, kewibawaan, dan kecepatan gerak.
Ketentuan tersebut berupa aturan penggunaan batik larangan dalam nyamping/bebet dan kampuh/dodot. Dalam nyamping/bebet aturan penggunaan batik larangan adalah sebagai berikut :
Dan untuk pemakaian kampuh/dodot aturannya adalah sebagai berikut:
Motif batik larangan lainnya adalah semen yang berkonotasi “semi” atau “tumbuh”. Motif semen memiliki makna kesuburan, kemakmuran, dan alam semesta. Dalam motif sementerdapat gambar lain berupa gunung atau meru, garuda, sayap, candi, dan naga. Pemakai motif semen diharapkan dapat menjadi pemimpin yang mampu melindungi bawahannya.
Aturan pemakaian motif semen juga tertuang dalam Pranatan Dalem, yaitu sebagai berikut:
Ada satu pengecualian dalam pemakaian motif semen. Motif semen tanpa lukisan meru, garuda (sawat), dan sayap (lar), boleh dipakai siapa saja tanpa harus memperhitungkan garis keturunannya.
Motif cemukiran berbentuk lidah api atau sinar. Api adalah unsur kehidupan yang melambangkan keberanian, kesaktian, dan ambisi. Pola seperti sinar diibaratkan pancaran matahari yang melambangkan kehebatan dan keagungan. Baik api maupun sinar dalam konsep Jawa diibaratkan sebagai mawateja atau bersinar seperti wahyu, yaitu salah satu kriteria yang harus dimiliki seorang raja.
Motif ini hanya boleh dikenakan oleh raja dan putra mahkota.
Selanjutnya adalah motif udan liris yang diartikan sebagai hujan gerimis atau hujan rintik-rintik pembawa kesuburan bagi tumbuhan dan ternak. Udan Liris merupakan gabungan dari bermacam-macam motif dalam bentuk garis-garis sejajar. Terdiri dari motif lidah api, setengah kawung, banji sawut, mlinjon, tritis, ada-ada, dan untu walang yang diatur memanjang diagonal. Makna dari motif ini adalah pengharapan agar pemakainya selamat sejahtera, tabah, dan berprakarsa dalam menunaikan kewajiban demi kepentingan nusa dan bangsa.
Motif ini boleh dikenakan oleh putra dari garwa ampeyan, wayah, buyut, canggah, Pangeran Sentana dan Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom.
Budaya Jawa memandang semua yang melekat pada diri, termasuk busana, mencerminkan kapasitas diri. Penggunaan batik larangan merupakan salah satu contohnya. Aturan ini lebih dari sekadar simbol status. Batik larangan juga merupakan sebuah komunikasi politik atau pesan kepemimpinan terhadap sesama penguasa, rakyat, dan juga terhadap lawan politik.
Aturan-aturan penggunaan batik larangan ini masih berlaku hingga sekarang, namun hanya diterapkan secara terbatas di lingkungan Keraton Yogyakarta, tidak untuk masyarakat umum di luar keraton.
sumber: kratonjogja.id (https://www.kratonjogja.id/kagungan-dalem/12/motif-batik-larangan-keraton-yogyakarta)
Gambus
Oleh
agus deden
| 21 Jun 2012.
Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual... |
Hukum Adat Suku...
Oleh
Riduwan Philly
| 23 Jan 2015.
Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dal... |
Fuu
Oleh
Sobat Budaya
| 25 Jun 2014.
Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend... |
Ukiran Gorga Si...
Oleh
hokky saavedra
| 09 Apr 2012.
Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai... |