Cerita Rakyat
Cerita Rakyat
Cerita Rakyat Jawa Barat Subang
DONGENG PUTRI SUBANG LARANG
- 9 Juli 2018
Nhay (Nyai) Subang Larang adalah putri dari Ki Gedeng Tapa, seorang mangkubumi dari Nagari Singapura, dari Nhay Ratu Karanjang (putri Ki Gedeng Kasmaya penguasa Wanagiri, yang masih saudara dari Prabu Anggalarang).. Carita Purwaka Caruban Nagari mengisahkan bahwa Subang Larang adalah salah satu istri dari Raden Pamanah Rasa yang kelak marak menjadi Raja Pajajaran.
Ayah Subang Larang adalah Ki Gedeng Tapa, mangkubumi di Singapura. Nagari Singapura merupakan pecahan Nagari Wanagiri Besar yang dirajai Prabu Indraprahasta, termasuk kekuasaan Galuh. Ibunya bernama Nhay Ratu Karanjang, putri Ki Gedeng Kasmaya penguasa Wanagiri, yang masih saudara dari Prabu Anggalarang. Oleh penguasa Surantaka Ki Gedeng Surawijaya Sakti, Ki Gedeng Tapa alias Ki Gedeng Juman Janti diangkat menjadi syahbandar pelabuhan Muara Jati.
 
Datanglah rombongan armada Cina yang dipimpin Laksamana Zheng He (Cheng Ho) dan Kun Wei Ping tiba di Muara Jati dalam jumlah prajurit 27 ribu dengan kapal-kapal yang sangat besar sebanyak 63. Mereka singgah di Muara Jati karena hendak membeli perbelakan untuk melanjutkan perjalanan “muhibah”-nya ke Majapahit. Di sinilah, Ma Huan, sekretaris Zheng He, menikah dengan Nhay Rara Ruda, saudara Ki Gedeng Tapa. Singapura ketika itu dipimpin oleh Ki Gedeng Surawijaya Sakti, saudara Ki Gedeng Sindang Kasih. Ada pun kakak Ki Gedeng Surawijaya, yakni Ki Gedeng Kasmaya adalah penguasa Nagari Wanagiri yang mertua Ki Gedeng Tapa dan kakek Subang Larang. Di Muara Jati ini, Ma Huan memunyai nama batu, Ki Dampu Awang.
Pada 1416, Nhay Subang Larang yang berusia 12 tahun, bersama Ki Dampu Awang, Nhay Rara Ruda (istri Dampu Awang, saudara Ki Gedeng Tapa), dan Nhay Aci Putih (putri Dampu Awang-Rara Ruda) pergi berlayar ke Malaka. Mereka berada di Malaka selama 2 tahun, lalu kembali ke Muara Jati tahun 1418.
 
Bertepatan dengan kedatangan Subang Larang, tiba pula seorang ulama Islam bernama Syekh Hasanuddin bin Yusuf Sidik yang menumpang perahu dagang dari Campa (kini termasuk wilayah Vietnam dan sebagian Kamboja). Syekh Hasanuddin pun kemudian akrab dengan Ki Gedeng Tapa, syahbandar Muara Jati. Mungkin, saat inilah Ki Gedeng Tapa memutuskan untuk memeluk Islam.
Kegiatan penyebaran Islam oleh Syekh Hasanuddin sangat mencemaskan penguasa Galuh (di Kawali, Ciamis) yakni Prabu Angga Larang alias Prabu Dewata Niskala, putra Niskala Wastukancana, cucu Prabu Linggabhuwana yang gugur di Bubat. Sang Prabu diminta agar penyebaran agama tersebut dihentikan. Oleh Syekh Hasanuddin perintah itu dipatuhi. Kepada utusan yang datang kepadanya ia mengingatkan, bahwa meski dakwah itu dilarang, namun kelak keturunan Prabu Angga Larang akan ada yang menjadi seorang waliyullah. Kemudian Syekh Hasanuddin mohon diri kepada Ki Gedeng Tapa untuk pergi ke Karawang. Sebagai sahabat, Ki Gedeng Tapa cukup prihatin atas peristiwa yang menimpa ulama besar itu, sebab ia pun sebenarnya masih ingin menambah pengetahuannya tentang Islam. Oleh karena itu, sewaktu Syekh Hasanuddin hendak ke Karawang, putrinya Subang Larang dititipkan ikut bersama ulama besar ini untuk belajar Islam di Malaka.
 
Perjalanan pun dimulai. Setelah memasuki Laut Jawa, kemudian rombongan memasuki muara Sungai Citarum yang ramai dilayari oleh perahu para pedagang yang memasuki wilayah Pajajaran. Selesai menyusuri Sungai Citarum akhirnya rombongan perahu singgah di Pura Dalem di Pelabuhan Karawang. Kedatangan rombongan ulama besar ini disambut baik oleh petugas Pelabuhan Karawang dan diizinkan untuk mendirikan musola untuk belajar mengaji dan tempat tinggal. Syekh Hasanudin yang menganut Mazhab Hanafi, menamai pesantren yang terletak di Pura, Desa Talagasari, Karawang, tersebut sebagai Pesantren Quro—maka itu ia lebih dikenal dengan nama Syekh Quro. Subang Larang belajar di situ selama dua tahun. Tahun 1420 ia kembali ke kampung halamannya di Singapura.
 
Pada tahun 1420 ini pun, datang seorang ulama dari Baghdad bernama Syekh Datik Kahfi alias Syekh Idofi bersama pengiringnya yang berjumlah 12 orang, yang terdiri atas 10 pria, 2 wanita. Syekh ini pun lalu berteman baik dengan Ki Gedeng Tapa. Permintaan Syekh Datuk Kahfi untuk menetap di Pasambangan yang terletak dekat Muara Jati, direstui oleh Ki Gedeng Tapa. Di tahun selanjutnya, Syekh Datuk Kahfi memiliki nama lain, yaitu Syekh Nurul Jati. Ia menetap di sini hingga akhir hayatnya dan dimakamkan di Giri Amparan Jati atau Gunung Jati.
 
Menikah dengan raden pamanah rasa
Berita tentang dakwah Syeh Hasanuddin di pelabuhan Karawang rupanya terdengar kembali oleh Prabu Angga Larang, yang dahulu pernah melarang Syekh Quro melakukan kegiatan yang sama di pelabuhan Muara Jati, Cirebon. Sang Prabu segera mengirimkan utusan yang dipimpin oleh sang putra mahkota yang bernama Raden Pamanah Rasa untuk menutup Pesantren Syekh Quro. Tatkala Pamanah Rasa tiba di tempat tujuan, ia disuruh oleh Syekh Quro untuk pergi ke Singapura menemui Ki Gedeng Tapa.
Tiba di Singapura pada 1422, Pamanah Rasa mendengar ada sayembara yang diselenggarakan di Nagari Surantaka. Hadiahnya: seorang gadis bernama Subang Larang yang konon cantik. Singkat cerita, sayembara dimenangkan Pamanah Rasa. Maka terjadilan pernikahan berbeda agama ini. Konon, pernikahannya dilaksanakan di Pesantren Quro (kini Mesjid Agung) di mana Syekh Quro sendiri bertindak sebagai penghulu. Pada tahun yang sama, Pamanah Rasa pun berhasil mengalahkan Raja Amuk Murugul dari Japura. Namun tak diketahui, peristiwa mana dulu yang terjadi, apakah sayembara Subang Larang atau perang melawan Amuk Murugul.
 
Besar kemungkinan, setelah menikah, Subang Larang diboyong ke istana Galuh oleh Pamanah rasa. Baru, setelah Pamanah Rasa dilantik menjadi Raja Pajajaran di Pakuan bergelar Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran Ratu Dewata (tertulis pada Prasasti Batu Tulis), menggantikan uwaknya sekaligus mertuanya, Susuk Tunggal, pada 1447 M, maka Subang Larang pun menetap di Pakuan, bersama istri-istri Sang Prabu yang lain.
Selain beristri Subang Larang, Raden Pamanah Rasa menikahi pula Nhay Ambet Kasih (Ngabetkasih), putri Ki Gedeng Sedhang Kasih. Jadi, Ambet Kasih merupakan sepupu Subang Larang sendiri. Pernikahan ini membuat Ki Gedeng Sedhang Kasih—yang juga paman Pamanah Rasa—memberikan daerah Sindang Kasih (sekarang termasuk Kecamatan Beber, Cirebon) kepada Raden Pamanah Rasa. Sindang Kasih ini terletak 15 km arah selatan dari Surantaka. Kemungkinan besar, Nagari Surantaka disatukan ke dalam wilayah Singapura oleh Pamanah Rasa.
 
Menurut CPCN, Prabu Siliwangi memiliki istri lain bernama Nyai Aciputih, putri Ki Dampu Awang. Yang menjadi permaisuri Sri Baduga adalah Kentring Manik Mayangsunda, keponakannya sendiri, putri Susuktunggal. Pernikahannya dengan Kentring Manik membuahkan putra bernama Surawisesa.
 
Leluhur raja cirebon dan bante
Pasangan Sri Baduga – Subang Larang memiliki tiga orang anak, yakni Walangsungsang, Lara Santang, dan Raden Sengara. Diperkirakan, ketika putra-putri telah berusia di atas 17 tahun, Subang Larang meninggal dunia. Tak jelas kapan tahun wafatnya dan di mana ia dikuburkan. Sementara itu, sang suami yakni Prabu Siliwangi masih hidup.
 
Setahun setelah ibunya wafat, Walangsungsang pergi meninggalkan keraton Pakuan, disusul adiknya, Lara Santang. Dalam perjalanan, Walangsungsang singgah di rumah Ki Gedeng Danuwarsih, seorang pendeta Buddha. Di sini ia menikah dengan putri Danuwarsih bernama Nhay Endang Geulis. Lara Santang pun tiba di rumah pendeta ini. Setelah itu, Walangsungsang, istrinya, dan Lara Santang pergi menuju Singapura dan berguru kepada Syekh Datuk Kahfi di Pesantren Pasambangan selama 3 tahun. Oleh Syekh ini, Walangsungsang diberi nama baru: Ki Samadullah. Oleh gurunya tersebut, Walangsungsang disuruh membuka lahan baru di Kebon Pesisir. Setelah itu, daerah tersebut bernama Tegal Alang-alang, 6 km timur Pasambangan. Di Tegal Alang-alang ini telah ada pula penguasanya bernama Ki Danusela alias Ki Gedeng Alang-alang, adik Ki Gedeng Danuwarsih. Di tempat ini Walangsungsang diangkat sebagai Pangraksabumi oleh Ki Danusela dan bergelar Ki Cakrabumi. Tak lama kemudian, ia dan adiknya, Lara Santang disuruh pergi ke Mekah, sementara istrinya tak ikut karena hamil.
 
Di Tanah Arab, Lara Santang kemudian menikah dengan Maulana Sultan Muhammad (Syarif Abdullah), seorang bangsawan Arab yang berada di wilayah kekuasaan Sultan Mesir. Pernikahan ini melahirkan dua anak lelaki bernama Syarif Hidayat (Hidayatullah) dan Syarif Nurullah. Lara Santang pun memiliki nama baru, yaitu Syarifah Mudain. Di sini Walangsungsang punya nama muslim, Haji Abdullah Iman. Tiba bulan menunaikan haji, Walangsungsang sendiri pulang ke Jawa. Sementara Lara Santang diam di Arab.
 
Tiba di Jawa—setelah sebelumnya menetap di Campa—Walangsungsang membangun masjid kecil tahun 1456. Ia lalu diangkat menjadi Kuwu Caruban II, menggantikan Ki Danusela Kuwu Caruban I. Putri Ki Danusela bernama Nhay Rena Riris pun dinikahinya. Di sini Raden Walangsungsang memiliki gelar baru: Pangeran Cakrabuana.
 
Mendengar anaknya telah kembali dan memiliki kekuasaan di Caruban yang berhasil menggantikan posisi  Singapura, Prabu Siliwangi mengirim utusan yakni Tumenggung Jagabaya serta Raden Sengara, adik Walangsungsang. Oleh Sang Prabu, Walangsungsang diberi gelar Pangeran Sri Mangana sekitar tahun 1460. Jelas, sang ayah tak keberatan dengan adanya nagari baru bernama Caruban Larang. Asal saja, Cakrabuana tetap harus mengirimkan upeti ke Pajajaran, dan tetap merupakan bawahan Galuh. Raden Sengara sendiri akhirnya tak kembali ke istana, sebaliknya ikut menetap di Caruban, dan menikah dengah Nhay Halimah asal Campa dan ikut masuk Islam.
 
Syahdan, putra sulung Lara Santang, yakni Syarif Hidayatullah, meninggalkan Timur Tengah untuk pulang ke Jawa. Ia menolak untuk menggantikan ayanya sebagai sultan, karena ini menjadi mubalig di Jawa, kampung halaman ibunya. Sebelum tiba di Cirebon, ia singgah dulu di Gujarat (India), Samudra Pasai di Sumatra, Banten, dan Ampel Gading di Jawa bagian timur. Atas hasil sidang para Wali Sanga, maka diputuskan agar menetap di Cirebon guna islamisasi.
 
Tibalah Hidayatullah di Muara Jati/Pasambangan pada tahun 1475. Di sini ia, yang usianya sekitar 27 tahun, mengunjungi Pangeran Cakrabuana, uwaknya. menggantikan Cakrabuana dan marak menjadi penguasa Cirebon Girang. Di sini ia mendirikan pesantren di Dukuh Sembung dan Kampung Babadan. Di Babadan ia menikah dengan Nhay Babadan, putri Ki Gedeng Babadan. Raden Sengara pun dikenal sebagai Kian Santang. Lalu Syarif Hidayat diutus untuk pergi ke Banten kembali. Penguasa Banten, Bupati Kawunganten tertarik akan dakwah Islam Syarif Hidayat, lalu memeluk Islam. Adiknya, Nhay Kawunganten pun dinikahkan dengan Syarif Hidayat. Pernikahan ini membuahkan dua orang anak: Ratu Winaon dan Pangeran Sabakingkin.
 
Tahun 1479, ia kembali ke Caruban, dan kemudian menggantikan Pangeran Cakrabuana yang telah tua dan sakit-sakitan. Kebetulan uwaknya ini tak punya keturunan laki-laki, maka jadilah Syarif Hidayat menjadi penguasa Nagari Caruban. Ia pun bergelar Tumenggung Susuhunan Jati. Selain itu, Syarif Hidayatullah punya gelar-gelar lain: Sayid Kamil, Nuruddin Ibrahim, Syekh Maulana Jati, dan Susuhunan Jati Purba. Pustaka Nagara Kretabhumi menceritakan bahwa pada tanggal 12 bagian terang, bulan Caitra, tahun 1404 Saka, Syarif Hidayat menghentikan pengiriman upeti yang seharusnya dibawa setiap tahun ke Pakuan.
 
Kemudian ada berita: pasukan Angkatan Laut Demak telah ditempatkan di Pelabuhan Cirebon untuk menjaga kemungkinan datangnya serangan Pajajaran. Tumenggung Jagabaya beserta 60 anggota pasukannya yang dikirimkan dari Pakuan ke Cirebon, tidak mengetahui kehadiran pasukan Demak di sana. Jagabaya tak berdaya menghadapi pasukan gabungan Cirebon-Demak yang jumlahnya lebih besar. Akhirnya Jagabaya menyerah dan masuk Islam. Peristiwa itu membangkitkan kemarahan Sri Baduga. Pasukan besar segera disiapkan untuk menyerang Cirebon. Namun, pengiriman pasukan itu dapat dicegah oleh Purohita (pendeta tertinggi) Keraton, Ki Purwa Galih. Perang saudara pun akhirnya dapat dicegah.
 
Persekutuan Demak-Cirebon sangat mencemaskan pikiran Sri Baduga di Pakuan. Mungkin pula, kepindahan ibukota dari Kawali (Galuh) ke Pakuan atas pertimbangan bahwa Kawali yang dekat dengan Cirebon (yang telah dikuasai Demak sejak 1475) merupakan target Demak berikutnya untuk menguasai Jawa Barat. Mengingat wilayah Sunda belum tumbuh menjadi potensi politik Islam yang nyata, Sri Baduga memusatkan perhatiannya terhadap Selat Sunda sambil mendekati pihak Portugis di Malaka. Maka, pada tahun 1512 dan 1521, ia mengirimkan misi datang dan persahabatan kepada Panglima Portugis, Alfonso d’Albuquerque, di Malaka, yang ketika itu baru saja merebut Samudra Pasai. Dengan dikuasainya Selat Sunda oleh Pajajaran dan Selat Malaka oleh Portugis, bagi Demak sangat sukar untuk menguasai perairan di Nusantara. Bagi pihak Demak, jelas upaya Pajajaran ini meresahkan mereka.
 
Menurut Carita Parahyangan, Sri Baduga Maharaja wafat pada 1521 setelah memerintah selama 39 tahun. Ia dipusarakan di Rancamaya, maka itu disebut secara Sang Lumahing (Sang Mokteng) Rancamaya. Rancamaya terletak kira-kira 7 km di sebelah tenggara Kota Bogor, di mana Sri Baduga pernah membuat hutan buatan dan telaga. Setelah itu yang menjadi raja di Pakuan adalah Surawisesa. Pada masa inilah, Pajajaran banyak kehilangan wilayah kekuasaannya. Dua pelabuhannya berturut-turut jatuh ke pihak Demak-Cirebon-Banten; tahun 1526 pelabuhan Banten, tahun 1527 Sunda Kalapa. Pada tahun berikutnya, 1528, peperangan bergeser ke arah timur, di Rajagaluh, Majalengka. Tahun 1530, terjadi peperangan di Talaga, daerah di mana salah seorang istri Surawisesa berasal. Sementara Cirebon melanjutkan serangannya dari Talaga menuju jantung ibukota Galuh dan Galunggung.
Setelah Surawisesa mangkat, berturut-turut raja di Pakuan silih berganti, dari Ratu Dewata, Ratu Saksi, hingga Prabu Nilakendra. Pada masa Nilakendra, serangan ke Pakuan pun dilancarkan oleh pihak Banten pimpinan Panembahan Hasanuddin alias Pangeran Sabakingkin yang diangkat menjadi sultan Banten tahun 1552 oleh ayahnya, Syarif Hidayatullah. Pada masa selanjutnya, yang memerintah Pajajaran adalah Ratu Ragamulya alias Suryakancana, di mana ia tak lagi diam di Pakuan melainkan di tempat pelarian di Pulasari, Pandeglang. Pada era inilah di tahun 1579, Pakuan berhasil dimasuki tentara Banten pimpinan Panembahan Maulana Yusuf, meski istananya tetap tak bisa dijebol karena telah diperkuat dengan parit-parit yang cukup terjal oleh Sri Baduga dulu.
 
Pihak Banten yang merasa berhak atas wilayah Pajajaran segara membawa palangka (singgasana) Sriman Sriwacana ke Surosowan, ibukota Kesultanan Banten. Sriman Sriwacana, tempat duduk untuk penobatan takhta ini, ini berukuran 200 x 160 x 20 cm; oleh orang Banten disebut Watu Gilang (batu mengkilat). Pemboyongan palangka ke Banten ini bertujuan agar di Pakuan tidak ada lagi penobatan raja baru. Dengan begitu, Maulana Yusuf berhak mengklaim sebagai penerus Pajajaran. Palangka Sriman Sriwacana ini bisa ditemukan di depan bekas Keraton Surasowan di Banten.
Ketika Pajajaran ini runtuh pada 1579, menurut Kitab Waruga Jagat, saat itulah wilayah Sumedang Larang pun menyatakan sebagai negara “penerus Pajajaran” dengan Prabu Geusan Ulun sebagai raja pertamanya. Besar kemungkinan, banyak penghuni Pakuan yang pindah ke Sumedang; dan sebagian lagi bermigrasi ke Banten mengikuti kepemimpinan Sultan Banten. Diperkirakan, banyak pengikut dan punggawa Pajajaran yang pergi dan menetap di daerah Lebak, yang menerapkan tata cara kehidupan tradisional yang cukup ketat, dan dikenal sebagai orang Baduy.
Keruntuhan Pajajaran ini ternyata, salah satunya, disebabkan oleh rongrongan mereka yang masih keturunan raja Pajajaran sendiri. Cirebon dan Banten, dua kerajaan baru dengan ideologi baru, yakni Islam, telah berhasil mengambil alih kekuasaan politik Sunda-Pajajaran; dan orang yang paling berperan dalam hal ini adalah Syarif Hidayatullah, cucu Prabu Siliwangi-Subang Larang, sekaligus pendiri pondasi Kesultanan Cirebon dan Banten.
Mengenai kisah Prabu Siliwangi, banyak cerita yang beredar. Menurut sebuah legenda, konon Prabu Siliwangi pergi meninggalkan keraton Pakuan lalu menuju ke Hutan Sancang di selatan Garut, setelah dikejar-kejar putranya sendiri yakni Kian Santang agar masuk Islam. Sang Prabu yang enggan masuk Islam, disertai sejumlah pengikut setianya, pantang berseteru dengan putranya sendiri dikarenakan hanya masalah keyakinan. Untuk menghindari hal-hal yang tak diinginkan, Prabu Siliwangi berubah wujud (ngahiyang) menjadi harimau putih, sedangkan para pengikutnya menjadi harimau loreng.
 
Sumber: http://dagokotakembang.blogspot.com/2016/04/dongeng-nyai-subang-larang.html

Diskusi

Silahkan masuk untuk berdiskusi.

Daftar Diskusi

Rekomendasi Entri

Gambar Entri
Tradisi MAKA
Seni Pertunjukan Seni Pertunjukan
Nusa Tenggara Barat

MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...

avatar
Aji_permana
Gambar Entri
Wisma Muhammadiyah Ngloji
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
SMP Negeri 1 Berbah
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Pabrik Gula Randugunting
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Kompleks Panti Asih Pakem
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja

avatar
Bernadetta Alice Caroline