×

Akun anda bermasalah?
Klik tombol dibawah
Atau
×

DATA


Kategori

Produk Arsitektur

Elemen Budaya

Produk Arsitektur

Provinsi

Jawa Timur

Candi Jago

Tanggal 28 Feb 2012 oleh Angkasa ST.

Candi Jago terletak di Dusun Jago, Desa Tumpang, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, tepatnya 22 km ke arah timur dari Kota Malang. Karena letaknya di Desa Tumpang, candi ini sering juga disebut Candi Tumpang. Penduduk setempat menyebutnya Cungkup.
Menurut kitab Negarakertagama dan Pararaton, nama candi ini yang sebenarnya adalah Jajaghu. Dalam pupuh 41 gatra ke-4 Negarakertagama dijelaskan bahwa Raja Wisnuwardhana yang memerintah Singasari menganut agama Syiwa Buddha, yaitu suatu aliran keagamaan yang merupakan perpaduan antara ajaran Hindu dan Buddha. Aliran tersebut berkembang selama masa pemerintahan Kerajaan Singasari, sebuah kerajaan yang letaknya sekitar 20 km dari Candi Jago. Jajaghu, yang artinya adalah 'keagungan', merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut tempat suci.
 
Masih menurut kitab Negarakertagama dan Pararaton, pembangunan Candi Jago berlangsung sejak tahun 1268 M sampai dengan tahun 1280 M, sebagai penghormatan bagi Raja Singasari ke-4, yaitu Sri Jaya Wisnuwardhana. Walaupun dibangun pada masa pemerintahan Kerajaan Singasari, disebut dalam kedua kitab tersebut bahwa Candi Jago selama tahun 1359 M merupakan salah satu tempat yang sering dikunjungi Raja Hayam Wuruk dari Kerajaan Majapahit. Keterkaitan Candi Jago dengan Kerajaan Singasari terlihat juga dari pahatan padma (teratai), yang menjulur ke atas dari bonggolnya, yang menghiasi tatakan arca-arcanya. Motif teratai semacam itu sangat populer pada masa Kerajaan Singasari. Yang perlu dicermati dalam sejarah candi adalah adanya kebiasaan raja-raja zaman dahulu untuk memugar candi-candi yang didirikan oleh raja-raja sebelumnya. Diduga Candi Jago juga telah mengalami pemugaran pada tahun 1343 M atas perintah Raja Adityawarman dari Melayu yang masih memiliki hubungan darah dengan Raja Hayam Wuruk.
 
Saat ini Candi Jago masih berupa reruntuhan yang belum dipugar. Keseluruhan bangunan candi berbentuk segi empat dengan luas 23 x 14 m. Atap candi sudah hilang, sehingga tinggi bangunan aslinya tidak dapat diketahui dengan pasti. Diperkirakan bahwa tingginya mencapai 15 m.
Bangunan candi menghadap ke barat, berdiri di atas batur setinggi sekitar 1 m dan kaki candi yang terdiri atas 3 teras bertingkat. Makin ke atas, teras kaki candi makin mengecil sehingga pada lantai pertama dan kedua terdapat selasar yang dapat dilewati untuk mengelilingi candi. Garba ghra (ruang utama) terletak bergeser agak ke belakang.
 
Bentuk bangunan bersusun, berselasar dan bergeser ke belakang merupakan bentuk yang umum ditemui pada bangunan pada zaman megalitikum, yaitu yang disebut sebagai bangunan punden berundak. Bentuk itu umumnya digunakan dalam membangun tempat pemujaan arwah leluhur. Menilik bentuknya, diperkirakan bahwa tujuan pembangunan Candi Jago adalah juga untuk tempat pemujaan arwah leluhur. Namun masih diperlukan penelitian dan pengkajian lebih lanjut untuk membuktikan kebenarannya.
Untuk naik ke lantai yang lebih atas, terdapat dua tangga sempit di sisi kiri dan kanan bagian depan (barat). Lantai yang terpenting peranannya dan tersuci adalah yang paling atas, dengan bangunan yang letaknya sedikit bergeser ke belakang.
 
Candi Jago dipenuhi dengan panel-panel relief yang terpahat rapi mulai dari kaki sampai ke dinding ruangan teratas. Hampir tidak terdapat bidang yang kosong, karena semua terisi dengan aneka ragam hiasan dalam jalinan cerita-cerita yang mengandung unsur pelepasan kepergian. Hal ini menguatkan dugaan bahwa pembangunan Candi Jago berkaitan erat dengan wafatnya Sri Jaya Wisnuwardhana. Sesuai dengan agama yang dianut oleh Raja Wisnuwardhana, yaitu Syiwa Buddha, maka relief pada Candi Jago mengandung ajaran Hindu maupun Buddha.
Ajaran Buddha tercermin dalam relief cerita Tantri Kamandaka dan cerita Kunjarakarna yang terpahat pada teras paling bawah. Pada dinding teras kedua terpahat lanjutan cerita Kunjarakarna dan petikan kisah Mahabarata yang memuat ajaran agama Hindu, yaitu Parthayajna dan Arjuna Wiwaha. Teras ketiga dipenuhi dengan relief lanjutan cerita Arjunawiwaha. Dinding tubuh candi juga dipenuhi dengan pahatan relief cerita Hindu, yaitu peperangan Krisna dengan Kalayawana.
 
Di tengah pelataran depan, sekitar 6 m dari kaki candi, terdapat batu besar yang dipahat menyerupai bentuk tatakan arca raksasa, dengan diameter batu sekitar 1 m. Di puncaknya terdapat pahatan bunga padma yang menjulur dari bonggolnya.
 
Di sisi barat halaman candi terdapat arca Amoghapasa berlengan delapan dilatarbelakangi singgasana berbentuk kepala raksasa yang saling membelakangi. Kepala arca tersebut telah hilang dan lengan-lengannya telah patah. Sekitar 3 m di selatan arca ini terdapat arca kepala rasaksa setinggi sekitar 1 m. Tidak didapat informasi apakah benda-benda yang terdapat di pelataran candi tersebut memang aslinya berada di tempatnya masing-masing.
 
Sumber: http://candi.perpusnas.go.id/temples/deskripsi-jawa_timur-candi_jago

Saat ini Candi Jago masih berupa reruntuhan yang belum dipugar. Keseluruhan bangunan candi berbentuk segi empat dengan luas 23 x 14 m. Atap candi sudah hilang, sehingga tinggi bangunan aslinya tidak dapat diketahui dengan pasti. Diperkirakan bahwa tingginya mencapai 15 m.
Bangunan candi menghadap ke barat, berdiri di atas batur setinggi sekitar 1 m dan kaki candi yang terdiri atas 3 teras bertingkat. Makin ke atas, teras kaki candi makin mengecil sehingga pada lantai pertama dan kedua terdapat selasar yang dapat dilewati untuk mengelilingi candi. Graba ghra (ruang utama) terletak bergeser agak ke belakang. Bentuk bangunan bersusun, berselasar dan bergeser ke belakang merupakan bentuk yang umum ditemui pada bangunan pada zaman megalitikum, yaitu yang disebut sebagai bangunan punden berundak. Bentuk itu umumnya digunakan dalam membangun tempat pemujaan arwah leluhur. Menilik bentuknya, diperkirakan bahwa tujuan pembangunan Candi Jago adalah juga untuk tempat pemujaan arwah leluhur.
Candi Jago dipenuhi dengan panel-panel relief yang terpahat rapi mulai dari kaki sampai ke dinding ruangan teratas. Hampir tidak terdapat bidang yang kosong, karena semua terisi dengan aneka ragam hiasan dalam jalinan cerita-cerita yang mengandung unsur pelepasan kepergian.
Untuk naik ke lantai yang lebih atas, terdapat dua tangga sempit di sisi kiri dan kanan bagian depan (barat).

DISKUSI


TERBARU


Seni Pertunjuka...

Oleh Radhityamahdy | 02 Sep 2024.
budaya

Seni pertunjukan wayang kulit merupakan salah satu bentuk teater tradisional yang kaya akan nilai budaya dan artistik. Berakar dari kebudayaan Jawa,...

Ting-Ting Tempe

Oleh Deni Andrian | 29 Aug 2024.
Camilan

Bahan-bahan : 250 gram Tempe 150 gram gula pasir 1 sdt margarin 1 sdt sprinkles untuk topping (optional) Cara Membuat: Potong2 tempe dgn ukur...

Hacked By UCEN...

Oleh . | 24 Aug 2024.
Hacked By UCEN HAXOR Ft Nabila1337 Karawang Cyber Team - Esteem Restoration Eagle

KATANYAKATANYAKATANYAKATANYAKATANYAKATANYAKATANYAKATANYA DEMOKRASI TAPI KOK BANYAK NYALONIN KELUARGA SENDIRI, ITU DEMOKRASI APA POLITIK DINASTI JANGA...

FITUR


Gambus

Oleh agus deden | 21 Jun 2012.
Alat Musik

Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual...

Hukum Adat Suku...

Oleh Riduwan Philly | 23 Jan 2015.
Aturan Adat

Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dala...

Fuu

Oleh Sobat Budaya | 25 Jun 2014.
Alat Musik

Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend...

Ukiran Gorga Si...

Oleh hokky saavedra | 09 Apr 2012.
Ornamen Arsitektural

Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai...