|
|
|
|
Bubur Syura Hidangan Penuh Rasa Syukur Tanggal 18 Nov 2016 oleh Barani Lerida. |
Kota Cirebon merupakan salah satu daerah yang terletak di pantai utara Propinsi Jawa Barat bagian timur. Letak geografis yang strategis tersebut membuat Kota Cirebon digunakan sebagai jalur utama transportasi dari Jakarta menuju Jawa Barat dan Jawa Tengah via pantai utara (pantura). Daerah ini terkenal sebagai daerah yang masih memiliki Keraton yang disebut Keraton Kanoman. Keraton tersebut masih melestarikan kebudayaan-kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat setempat seperti Kesenian Tarawangsa, upacara peringatan Bulan Sura (Dalam kalender Jawa atau Muharram pada kalender Hijriah) dan lain sebagainya.
(Sumber gambar : wikipedia )
Salah satu hal yang menarik dari peringatan Bulan Sura yakni adanya sajian Bubur Sura/Syura yang khas disajiikan pada peringatan tersebut. Bubur ini berisi beberapa macam jenis makanan seperti bubur yang lengkap dengan lauk pauk seperti sayur-sayuran, kacang, sambal hingga buah-buahan disajikan di atas daun pisang berbentuk perahu sebagai lambang perahu Nabi Nuh As. Bungkusan bubur tersebut dihitung untuk mendapatkan kepastian tentang jumlah yang telah dibuat. Jumlah bungkusan digunakan sebagai tanda, apakah hasil panen yang akan datang akan melimpah atau sebaliknya. Jumlah perolehan bubur juga diumumkan kepada seluruh pendukung upacara. Upacara Bubur Sura dilaksanakan setahun sekali pada tanggal 10 bulan Muharam.
Seperti upacara adat pada umumnya, upacara Bubus Sura juga memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum upacara tersebut dilaksanakan. Syarat itu yakni adanya sesaji (Sasajen bhs. Sunda) yang terdiri atas:
1) Hahampangan, yaitu sesajen berupa makanan ringan, seperti; opak, wafer dan lain sebagainya. Umumnya hahampangan dibeli dari jajanan pasar.
(Sumber gambar : https://pajajarankiwari.files.wordpress.com/2015/09/sajen-9.jpg?w=300&h=300)
2) Rurujakan (macam-macam jenis rujak) : rujak pisang, rujak cuing, rujak jeruk, rujak roti, rujak kalapa, rujak kembang (bunga) kananga, rujak kelapa, rujak nenas, dan rujak asem.
(Sumber gambar : http://www.santapsedap.com/wp-content/uploads/2016/02/Cara-Membuat-Rujak-Buah-Manis-Asam-Pedas-Segar.jpg )
3) Beras, uang logam, cermin, minyak kelapa, kendi, daun hanjuang, parupuyan (tempat/wadah untuk membakar menyan), cerutu, kipas terbuat dari anyaman, dan kemenyan.
Selanjutnya bubur akan dibagikan kepada setiap warga yang datang maupun yann tidak sempat datang sehingga penutupan Upacara Bubur Sura berakhir.
Terdapat beberapa versi mengenai asal muasal dan filosofi yang terdapat pada sajian bubur sura ini antara lain :
Versi pertama yang merupakan filosofi paling terkenal yakni upacara ini merupakan bentuk dari penghormatan dan peringatan peristiwa fenomenal yang terjadi pada bulan Muharram salah satunya adalah banjir besar pada masa Nabi Nuh AS. Berdasarkan catatan sejarah Islam, peristiwa ini meninggalkan berbagai hal seperti makanan pokok yang dikonsumsi pada zaman tersebut, hal inilah yang memprakarsai tradisi Bubur Sura.
Versi kedua yakni tradisi Bubur Sura terkait dengan mitos terkait Nyi Pohaci Sanghyang Sri yang dipercaya sebagai dewi yang menguasai padi sebagai makanan pokok. Selain itu juga dipercaya sebagai pelindung kelahiran dan kehidupan. Upacara tersebut diyakini masyarakat bisa mendatangkan berkat kesejahteraan dan ketenteraman.
Pelaksanaannya memerlukan beberapa hal antara lain tempat upacara, sesajen, benda-benda keramat, peralatan untuk pembuatan bubur, dan kesenian. Tempat untuk melaksanakan upacara bisa di dalam rumah, di luar rumah, di tanah lapang, atau di tepi sungai, dan sebagainya.
(Sumber gambar : http://www.wewengkonsumedang.com)
Kesenian Tarawangsa yang dianggap sebagai media untuk memanggil Dewi Sri/ Nyi Pohaci Sanghyang Sri
Upacara itu menyertakan kesenian Tarawangsa, dan tidak dapat digantikan dengan kesenian apa pun. Lagu-lagu yang disajikan oleh tarawangsa adalah lagu-lagu khusus untuk persembahan kepada para karuhun (roh nenek moyang) dan Kersa Nyai (Dewi Sri). Lagu-lagunya tersusun menjadi tiga tahap: Ngalungsurkeu (mapag), syukuran, dan nginebkeun Kersa Nyai (Dewi Sri). Setelah upacara Ngalungsurkeun yang dilakukan pada malam hari selesai, masyarakat yang hadir pada saat itu diberikan kesempatan untuk menari. Mereka menari secara bergiliran, baik laki-laki maupun perempuan hingga pukul 03.00 dini hari. Dalam menari, antara laki-laki dan perempuan harus dipisahkan menurut pembagian waktu. Perempuan diberikan kesempatan menari pertama kali, yaitu dimulai setelah selesai upacara Ngalungsurkeun hingga pukul 24.00. Setelah itu, kesempatan diberikan kepada kaum laki-laki yang akan berakhir hingga pukul 03.00 dini hari. Upacara pembuatan Bubur Syura itu sendiri dilaksanakan sekitar pukul 08.00 sampai selesai kira-kira sore hari. Berbarengan dengan itu, sebagian di antara peserta upacara menari dalam alunan musik tarawangsa.
Referensi :
http://www.disparbud.jabarprov.go.id/wisata/dest-det.php?id=886&lang=
http://travel.kompas.com/read/2008/12/30/05594790/Bubur.Suro
Gambus
Oleh
agus deden
| 21 Jun 2012.
Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual... |
Hukum Adat Suku...
Oleh
Riduwan Philly
| 23 Jan 2015.
Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dala... |
Fuu
Oleh
Sobat Budaya
| 25 Jun 2014.
Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend... |
Ukiran Gorga Si...
Oleh
hokky saavedra
| 09 Apr 2012.
Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai... |