Cerita Rakyat
Cerita Rakyat
Cerita Rakyat Maluku Utara Pesisir Tobelo
Batu Belah
- 12 Desember 2014

Batu Belah adalah cerita legenda yang sangat terkenal di kalangan masyarakat Maluku Utara,

Indonesia. Dinamakan Batu Belah karena konon batu tersebut dapat menelan manusia

dengan cara terbelah dan kemudian mengatup kembali. Suatu waktu, ada seorang ibu mendatangi dan meminta kepada batu itu agar menelan dirinya. Siapakah ibu itu dan mengapa ia meminta dirinya ditelan oleh batu tersebut? Berikut kisahnya dalam cerita Batu

Belah.

Pada zaman dahulu, daerah pesisir Tobelo, Maluku Utara, memiliki kekayaan laut yang

sangat melimpah. Berbagai jenis ikan hidup di daerah tersebut. Salah satu di antaranya

adalah ikan papayana. Jenis ikan ini sangat digemari oleh nelayan setempat karena

dagingnya lezat dan mempunyai banyak telur yang enak dimakan. Selain itu, telur ikan

papayana dipercaya dapat menjaga keselamatan para nelayan ketika sedang mencari ikan di

laut dalam keadaan cuaca buruk. Caranya sangat mudah yaitu menyimpan telur ikan

papayana tersebut di rumah sebelum berangkat ke laut.

Di antara para nelayan di daerah itu, ada seorang nelayan yang bernama Malaihollo. Malaihollo mempunyai seorang istri dan dua orang anak. Anaknya yang pertama seorang

perempuan bernama O Bia Moloku sedangkan anak bungsunya seorang laki­laki yang masih

balita bernama O Bia Mokara. Untuk menghidupi keluarganya, setiap hari Malaihollo mencari

ikan di laut.

Pada suatu hari, Malaihollo pulang dari melaut lebih awal daripada hari­hari biasanya karena

cuaca di laut sangat buruk. Angin bertiup kencang dan gelombang laut sangat ganas. Namun,

hari itu ia berhasil memperoleh seekor ikan papayana yang cukup besar dan bertelur banyak.

Dengan hati gembira dan langkah tergopoh­gopoh, ia membawa ikan itu masuk ke dalam

rumah untuk diserahkan kepada istrinya.

 “Ma… Ma…, Papa pulang!” seru Malaihollo.

Mendengar teriakan itu, sang istri tercinta segera menyambut kedatangannya.

“Ada apa, Papa! Kenapa Papa sudah kembali dari melaut? Bukankah hari masih pagi?” tanya

istrinya heran.

“Lihat, Ma! Papa membawa ikan papayana yang sangat besar. Tolong ikan beserta telurnya

dimasak sekarang untuk makan siang kita nanti! Papa ingin kembali lagi ke laut untuk mencari ikan,” pesan Malaihollo.

“Baik, Pa!” jawab istrinya seraya membawa ikan itu ke dapur untuk dimasak.

Meskipun mengetahui cuaca di laut sangat buruk, Istri Malaihollo tetap tidak memperdulikan

keselamatan suaminya. Ia yakin bahwa dengan menyimpan telur ikan papayana suaminya

akan baik­baik saja selama melaut.

Usai dimasak, ikan dan telur ikan papayana tersebut ia simpan di dalam lemari. Setelah itu,

istri Malaihollo berniat untuk mengambil sayur­sayuran di kebun.

“Moloku, Mama mau ke kebun sebentar. Jangan kamu makan ikan yang Mama simpan di

lemari! Jika kamu memakan telur ikan itu, maka Papa­mu akan terancam bahaya di laut,”

pesan istri Malaihollo kepada anak sulungnya yang sedang bermain bersama adiknya di

halaman rumah.

“Baik, Mama!” jawab O Bia Moloku.

Tak berapa lama setelah sang mama pergi, tiba­tiba O Bia Mokana menangis karena lapar.

“Kakak, adik lapar. Adik mau makan telur ikan,” kata O Bia Mokana.

“Jangan, Adikku! Kita tidak boleh makan telur ikan itu sebelum papa pulang dari laut,” bujuk

O Bia Moloku.

O Bia Moloku terus berusaha membujuk adiknya dengan mengajaknya bermain­main agar

tidak teringat pada telur ikan tersebut. Mulanya, O Bia Mokana berhenti menangis dan

kembali bermain. Namun, selang beberapa saat kemudian, O Bia Mokana kembali menangis

karena sudah tidak tahan lagi menahan lapar.

“Kakak, adik lapar sekali. Adik mau makan telur ikan itu,” pinta O Bia Mokana sambil merengek­rengek.

Semakin lama, tangis O Bia Mokana semakin keras. Bahkan, ia menangis sambil merontaronta

dan mengguling­gulingkan badannya di tanah. Oleh karena merasa kasihan melihat

adiknya, O Bia Moloku pun mengambil beberapa cuil telur ikan yang ada di lemari lalu

diberikan kepada adiknya. O Bia Mokana makan dengan lahapnya sehingga telur ikan itu

habis dalam waktu sekejap. Namun, rupanya beberapa telur ikan itu belum mengenyangkan

perut O Bia Mokana sehingga ia kembali meminta telur ikan kepada kakaknya.

“Kakak, aku masih lapar. Aku minta telur ikan lagi,” pinta O Bia Mokana sambil merengekrengek.

Akhirnya, O Bia Molaka memberikan semua telur ikan yang ada di lemari kepada adiknya

agar tidak merengek­rengek lagi. Dengan hati gembira, O Bia Mokana segera melahap telur

ikan tersebut hingga habis. Setelah kenyang, anak bungsu Malaihollo itu kembali bermain

dengan riang gembira.

Sementara itu, sang mama yang masih berada di kebun bergegas kembali ke rumah karena

hari sudah hampir siang.

“Wah, saya harus segera pulang. Sebentar lagi suami saya pulang dari laut,” gumamnya.

Setibanya di rumah, istri Malaihollo itu sangat senang melihat anak­anaknya sedang bermain

dengan riang di halaman rumah. Setelah meletakkan sayur­sayurannya di dapur, ia kemudian menggendong si bungsu. Alangkah senangnya hati O Bia Moloku berada di dekapan ibunya

sambil bersendau­gurau. Pada saat ia tertawa­tawa, sang mama melihat banyak sisa­sisa

telur ikan di sela­sela giginya. Sang mama pun mulai curiga dan merasa cemas. Ia segera melepas si bungsu dari gendongannya lalu bergegas ke dapur untuk memeriksa telur ikan

yang disimpannya di dalam lemari. Begitu membuka lemari itu, sang mama langsung naik

pitam karena telur ikannya telah habis tanpa tersisa sedikit pun.

“O Bia Moloku! Ayo kemari!” seru sang mama.

“Ada apa, Mama?” tanya O Bia Moloku.

“Mana telur ikan pepayana yang ibu simpan di lemari ini?” tanya sang mama dengan wajah

cemas.

“Maaf But... ! Tadi O Bia Mokara menangis merengek­rengek ingin makan telur ikan itu. Moloku tidak tega melihatnya menangis terus. Jadi, Moloku terpaksa memberikan telur ikan

itu kepadanya,” jawab O Bia Moloku dengan gugup.

Mendengar jawaban anak sulungnya, perempuan paruh baya itu bagai disambar petir.

Sejenak, ia tertegun dan sekujur tubuhnya menjadi gemetar. Ia merasakan ada firasat buruk

terhadap suaminya yang sedang mencari ikan di tengah laut. Sejak menikah, ia selalu menjaga pesan suaminya. Sebab, ia percaya bahwa kebiasaan menyimpan telur ikan

pepayana tersebut benar­benar terbukti keampuhannya, suaminya tidak pernah mendapat

bencana saat pergi melaut walaupun dalam keadaan cuaca buruk.

“Baiklah, karena kalian tidak patuh kepada nasehat orangtua, maka terpaksa Mama harus meninggalkan kalian!” ancam sang Mama.

“Maafkan kami, Mama! Jangan tinggalkan kami!” iba O Bia Moloku.

Sang mama tidak mau lagi mendengar perkataan anaknya. Ia segera berlari ke luar rumah menuju ke arah pantai. Melihat mama­nya pergi, si bungsu pun menangis. O Bia Moloku

segera menggendong adiknya lalu mengejar mama mereka.

“Mama, kembalilah! Si bungsu menangis... Si Bungsu haus...!” teriak O Bia Moloku.

 “Peraslah daun katang! Di situ ada air susu,” jawab sang mama sambil terus berlari.

Akhirnya, O Bia Moloku berhenti sejenak untuk memeras daun katang dan memberi minum

adiknya. Sementara itu, sang mama semakin jauh meninggalkan mereka. Setelah adiknya

kenyang, O Bia Moloku segera menggendongnya dan kembali mengejar mama mereka.

Begitu mereka tiba di pantai, sang mama sudah berdiri di depan sebuah batu besar.

“Mama, jangan tinggalkan kami! Kami berjanji tidak akan melanggar nasehat Mama,” iba O

Bia Moloku.

Namun, tekad sang mama untuk meninggalkan mereka tidak dapat lagi dicegah. Ia segera

naik di atas batu besar itu lalu berkata: “Wahai, batu besar! Terbukalah agar aku bisa masuk

ke dalammu!”

Sungguh ajaib, batu besar itu perlahan­lahan terbelah menjadi dua. Begitu batu besar itu

terbuka lebar, sang mama segera masuk ke dalamnya. Setelah itu, sang mama meminta

kepada batu itu agar tertutup kembali.

“Wahai, Batu Besar! Mengatuplah!” seru sang mama.

Mendengar perintah itu, batu besar itu pun mengatup kembali dengan sangat cepat tanpa meninggalkan bekas celah atau retakan sedikit pun. Tak ayal lagi, istri Malaihollo itu pun

tertelan oleh batu besar itu. Melihat peristiwa tersebut, O Bio Moloku dan adiknya terus menangisi kepergian mama mereka. Batu besar yang menelan istri Malaihollo tersebut

kemudian dinamakan Batu Belah. Hingga saat ini, Batu Belah masih dapat ditemukan di

daerah Maluku Utara.

Demikian cerita Batu Belah dari daerah Maluku Utara, Indonesia. Pesan moral yang dapat

dipetik dari cerita di atas adalah bahwa seorang anak seperti O Bia Moloku yang tidak mau mendengar nasehat orangtua akan mendatangkan malapateka baik bagi dirinya maupun bagi

keluarganya. Oleh karena O Bia Moloku tidak mendengar nasehat mama­nya, maka sang mama pun menjadi murka dan pergi meninggalkan mereka. Dikatakan dalam ungkapan Melayu (Tenas Effendy:1994/1995:59):

kalau durhaka ke ibu bapak,

dunia akhirat badan tercampak

 

http://ceritarakyatnusantara.com/id/folklore/167-Batu-Belah

 

Diskusi

Silahkan masuk untuk berdiskusi.

Daftar Diskusi

Rekomendasi Entri

Gambar Entri
Balai Padukuhan Klajuran
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Balai Padukuhan Klajuran merupakan bangunan dengan arsitektur tradisional Jawa yang ditandai oleh bentuk atap limasan dan kampung. Bangunan ini terdiri dari pendhapa, nDalem, dan gandhok, serta menghadap ke selatan. Pendhapa memiliki denah persegi panjang dan merupakan bangunan terbuka dengan atap limasan srotong yang terbuat dari genteng vlam dan rangkaian bambu yang diikat dengan ijuk. Atap tersebut ditopang oleh 16 tiang kayu, termasuk 8 tiang utama dan 8 tiang emper, yang berdiri di atas umpak batu. Di belakang pendhapa terdapat pringgitan yang menyambung dengan nDalem, yang memiliki denah persegi panjang dan atap limasan srotong dengan atap emper di sebelah timur. Atap nDalem terbuat dari genteng vlam, dindingnya dari bata, dan disangga oleh empat tiang di bagian tengah. nDalem memiliki pintu masuk di bagian tengah serta pintu yang menghubungkan dengan gandhok, dan dilengkapi dengan senthong yang terdiri dari senthong tengen, senthong tengah, dan senthong kiwo. Di sebelah timur n...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Pesanggrahan Hargopeni
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Pesanggrahan Hargopeni adalah rumah tinggal milik Keluarga Kadipaten Pakualaman yang didirikan sekitar tahun 1930-an pada masa Paku Alam VII. Bangunan ini dirancang oleh Ir. Wreksodiningrat, insinyur pribumi pertama lulusan Belanda dan kerabat Kadipaten Pakualaman. Pesanggrahan ini pernah digunakan untuk menginap delegasi dari Australia selama Perundingan Komisi Tiga Negara pada 13 Januari 1948. Selama Agresi Militer II, bangunan ini menjadi camp tawanan perang Belanda. Saat ini, Pesanggrahan Hargopeni masih dimiliki oleh Kadipaten Pakualaman. Pesanggrahan Hargopeni adalah bangunan milik Kadipaten Pakualaman yang terletak di Jalan Siaga, Pedukuhan Kaliurang, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman. Difungsikan sebagai tempat penginapan bagi Keluarga Pakualaman, bangunan ini mengusung gaya arsitektur New Indies Style, sebuah perpaduan antara arsitektur modern Belanda dan tradisional Nusantara yang disesuaikan dengan iklim tropis Indonesia. Pesanggrahan Hargopeni menampilk...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Joglo Fajar Krismanto
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Joglo milik Fajar Krismasto dibangun oleh Soerodimedjo (Eyang buyut Fajar Krismasto, seorang Lurah Desa), semula berbentuk limasan. Kemudian dilakukan rehabilitasi menjadi bangunan tradisional dengan tipe Joglo dan digunakan sebagai Kantor Kalurahan Karanglo, tempat pertemuan, pertunjukan kesenian dan kegiatan sosial lainnya. Pada masa perang kemerdekaan, rumah ini digunakan sebagai markas pejuang dan tempat pengungsian Agresi Militer II. Rumah milik Fajar Krismasto merupakan bangunan dengan arsitektur tradisional Jawa tipe Joglo. Mempunyai empat sakaguru di bagian pamidhangan dengan atap brunjung, dan 12 saka pananggap di keempat sisinya. Di ketiga sisi, depan dan samping kiri-kanan terdapat emper. Saka emper terdapat Bahu Danyang untuk menahan cukit. Joglo ini mempunyai lantai Jerambah untuk bagian Pamidhangan dan Pananggap, dan Jogan pada bagian Emper. Di bagian depan dengan dinding dari kayu atau biasa disebut gebyok, sedangkan di bagian lain dengan tembok. Lantainya menggunakan t...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Ginonjing
Cerita Rakyat Cerita Rakyat
Jawa Tengah

Ginonjing adalah istilah yang digunakan untuk menamai emansipasi Kartini. Istilah tersebut diambil dari nama gending Ginonjing yang digemarinya dan adik-adiknya. Ginonjing berasal dari kata gonjing dalam bahasa Jawa yang berarti "goyah karena tidak seimbang". Ginonjing juga bisa berarti “digosipkan”. Ungkapan ini mengingatkan kepada gara-gara dalam pewayangan yang memakai ungkapan gonjang-ganjing . Menurut St. Sunardi, istilah itu dipilih Kartini sendiri untuk melukiskan pengalaman batinnya yang tidak menentu. Saat itu, dia sedang menghadapi zaman baru dan mencoba menjadi bagian di dalamnya.

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Vila Van Resink
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Vila Van Resink adalah bangunan cagar budaya berbentuk vila yang terletak di Jalan Siaga, Kalurahan Hargobinangun, Kapanewon Pakem, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Pemilik awal vila ini adalah Gertrudes Johannes "Han" Resink, seorang anggota Stuw-groep , sebuah organisasi aktif pada Perang Dunia II yang memperjuangkan kemerdekaan dan pembentukan negara demokratis Hindia Belanda. Bangunan tersebut dibangun pada masa pemerintah Hindia Belanda sebagai bagian dari station hill (tempat tetirah pada musim panas yang berada di pegunungan) untuk boschwezen dienst (pejabat kehutanan Belanda). Pada era Hamengkubuwana VII, kepengelolaan Kaliurang (dalam hal ini termasuk bangunan-bangunan yang berada di wilayah tersebut) diserahkan kepada saudaranya yang bernama Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Mangkubumi. Tanah tersebut lantas dimanfaatkan untuk perkebunan nila, tetapi kegiatan itu terhenti kemudian hari karena adanya reorganisasi pertanian dan ekonomi di Vors...

avatar
Bernadetta Alice Caroline