Batu Belah adalah cerita legenda yang sangat terkenal di kalangan masyarakat Maluku Utara,
Indonesia. Dinamakan Batu Belah karena konon batu tersebut dapat menelan manusia
dengan cara terbelah dan kemudian mengatup kembali. Suatu waktu, ada seorang ibu mendatangi dan meminta kepada batu itu agar menelan dirinya. Siapakah ibu itu dan mengapa ia meminta dirinya ditelan oleh batu tersebut? Berikut kisahnya dalam cerita Batu
Belah.
Pada zaman dahulu, daerah pesisir Tobelo, Maluku Utara, memiliki kekayaan laut yang
sangat melimpah. Berbagai jenis ikan hidup di daerah tersebut. Salah satu di antaranya
adalah ikan papayana. Jenis ikan ini sangat digemari oleh nelayan setempat karena
dagingnya lezat dan mempunyai banyak telur yang enak dimakan. Selain itu, telur ikan
papayana dipercaya dapat menjaga keselamatan para nelayan ketika sedang mencari ikan di
laut dalam keadaan cuaca buruk. Caranya sangat mudah yaitu menyimpan telur ikan
papayana tersebut di rumah sebelum berangkat ke laut.
Di antara para nelayan di daerah itu, ada seorang nelayan yang bernama Malaihollo. Malaihollo mempunyai seorang istri dan dua orang anak. Anaknya yang pertama seorang
perempuan bernama O Bia Moloku sedangkan anak bungsunya seorang lakilaki yang masih
balita bernama O Bia Mokara. Untuk menghidupi keluarganya, setiap hari Malaihollo mencari
ikan di laut.
Pada suatu hari, Malaihollo pulang dari melaut lebih awal daripada harihari biasanya karena
cuaca di laut sangat buruk. Angin bertiup kencang dan gelombang laut sangat ganas. Namun,
hari itu ia berhasil memperoleh seekor ikan papayana yang cukup besar dan bertelur banyak.
Dengan hati gembira dan langkah tergopohgopoh, ia membawa ikan itu masuk ke dalam
rumah untuk diserahkan kepada istrinya.
“Ma… Ma…, Papa pulang!” seru Malaihollo.
Mendengar teriakan itu, sang istri tercinta segera menyambut kedatangannya.
“Ada apa, Papa! Kenapa Papa sudah kembali dari melaut? Bukankah hari masih pagi?” tanya
istrinya heran.
“Lihat, Ma! Papa membawa ikan papayana yang sangat besar. Tolong ikan beserta telurnya
dimasak sekarang untuk makan siang kita nanti! Papa ingin kembali lagi ke laut untuk mencari ikan,” pesan Malaihollo.
“Baik, Pa!” jawab istrinya seraya membawa ikan itu ke dapur untuk dimasak.
Meskipun mengetahui cuaca di laut sangat buruk, Istri Malaihollo tetap tidak memperdulikan
keselamatan suaminya. Ia yakin bahwa dengan menyimpan telur ikan papayana suaminya
akan baikbaik saja selama melaut.
Usai dimasak, ikan dan telur ikan papayana tersebut ia simpan di dalam lemari. Setelah itu,
istri Malaihollo berniat untuk mengambil sayursayuran di kebun.
“Moloku, Mama mau ke kebun sebentar. Jangan kamu makan ikan yang Mama simpan di
lemari! Jika kamu memakan telur ikan itu, maka Papamu akan terancam bahaya di laut,”
pesan istri Malaihollo kepada anak sulungnya yang sedang bermain bersama adiknya di
halaman rumah.
“Baik, Mama!” jawab O Bia Moloku.
Tak berapa lama setelah sang mama pergi, tibatiba O Bia Mokana menangis karena lapar.
“Kakak, adik lapar. Adik mau makan telur ikan,” kata O Bia Mokana.
“Jangan, Adikku! Kita tidak boleh makan telur ikan itu sebelum papa pulang dari laut,” bujuk
O Bia Moloku.
O Bia Moloku terus berusaha membujuk adiknya dengan mengajaknya bermainmain agar
tidak teringat pada telur ikan tersebut. Mulanya, O Bia Mokana berhenti menangis dan
kembali bermain. Namun, selang beberapa saat kemudian, O Bia Mokana kembali menangis
karena sudah tidak tahan lagi menahan lapar.
“Kakak, adik lapar sekali. Adik mau makan telur ikan itu,” pinta O Bia Mokana sambil merengekrengek.
Semakin lama, tangis O Bia Mokana semakin keras. Bahkan, ia menangis sambil merontaronta
dan menggulinggulingkan badannya di tanah. Oleh karena merasa kasihan melihat
adiknya, O Bia Moloku pun mengambil beberapa cuil telur ikan yang ada di lemari lalu
diberikan kepada adiknya. O Bia Mokana makan dengan lahapnya sehingga telur ikan itu
habis dalam waktu sekejap. Namun, rupanya beberapa telur ikan itu belum mengenyangkan
perut O Bia Mokana sehingga ia kembali meminta telur ikan kepada kakaknya.
“Kakak, aku masih lapar. Aku minta telur ikan lagi,” pinta O Bia Mokana sambil merengekrengek.
Akhirnya, O Bia Molaka memberikan semua telur ikan yang ada di lemari kepada adiknya
agar tidak merengekrengek lagi. Dengan hati gembira, O Bia Mokana segera melahap telur
ikan tersebut hingga habis. Setelah kenyang, anak bungsu Malaihollo itu kembali bermain
dengan riang gembira.
Sementara itu, sang mama yang masih berada di kebun bergegas kembali ke rumah karena
hari sudah hampir siang.
“Wah, saya harus segera pulang. Sebentar lagi suami saya pulang dari laut,” gumamnya.
Setibanya di rumah, istri Malaihollo itu sangat senang melihat anakanaknya sedang bermain
dengan riang di halaman rumah. Setelah meletakkan sayursayurannya di dapur, ia kemudian menggendong si bungsu. Alangkah senangnya hati O Bia Moloku berada di dekapan ibunya
sambil bersendaugurau. Pada saat ia tertawatawa, sang mama melihat banyak sisasisa
telur ikan di selasela giginya. Sang mama pun mulai curiga dan merasa cemas. Ia segera melepas si bungsu dari gendongannya lalu bergegas ke dapur untuk memeriksa telur ikan
yang disimpannya di dalam lemari. Begitu membuka lemari itu, sang mama langsung naik
pitam karena telur ikannya telah habis tanpa tersisa sedikit pun.
“O Bia Moloku! Ayo kemari!” seru sang mama.
“Ada apa, Mama?” tanya O Bia Moloku.
“Mana telur ikan pepayana yang ibu simpan di lemari ini?” tanya sang mama dengan wajah
cemas.
“Maaf But... ! Tadi O Bia Mokara menangis merengekrengek ingin makan telur ikan itu. Moloku tidak tega melihatnya menangis terus. Jadi, Moloku terpaksa memberikan telur ikan
itu kepadanya,” jawab O Bia Moloku dengan gugup.
Mendengar jawaban anak sulungnya, perempuan paruh baya itu bagai disambar petir.
Sejenak, ia tertegun dan sekujur tubuhnya menjadi gemetar. Ia merasakan ada firasat buruk
terhadap suaminya yang sedang mencari ikan di tengah laut. Sejak menikah, ia selalu menjaga pesan suaminya. Sebab, ia percaya bahwa kebiasaan menyimpan telur ikan
pepayana tersebut benarbenar terbukti keampuhannya, suaminya tidak pernah mendapat
bencana saat pergi melaut walaupun dalam keadaan cuaca buruk.
“Baiklah, karena kalian tidak patuh kepada nasehat orangtua, maka terpaksa Mama harus meninggalkan kalian!” ancam sang Mama.
“Maafkan kami, Mama! Jangan tinggalkan kami!” iba O Bia Moloku.
Sang mama tidak mau lagi mendengar perkataan anaknya. Ia segera berlari ke luar rumah menuju ke arah pantai. Melihat mamanya pergi, si bungsu pun menangis. O Bia Moloku
segera menggendong adiknya lalu mengejar mama mereka.
“Mama, kembalilah! Si bungsu menangis... Si Bungsu haus...!” teriak O Bia Moloku.
“Peraslah daun katang! Di situ ada air susu,” jawab sang mama sambil terus berlari.
Akhirnya, O Bia Moloku berhenti sejenak untuk memeras daun katang dan memberi minum
adiknya. Sementara itu, sang mama semakin jauh meninggalkan mereka. Setelah adiknya
kenyang, O Bia Moloku segera menggendongnya dan kembali mengejar mama mereka.
Begitu mereka tiba di pantai, sang mama sudah berdiri di depan sebuah batu besar.
“Mama, jangan tinggalkan kami! Kami berjanji tidak akan melanggar nasehat Mama,” iba O
Bia Moloku.
Namun, tekad sang mama untuk meninggalkan mereka tidak dapat lagi dicegah. Ia segera
naik di atas batu besar itu lalu berkata: “Wahai, batu besar! Terbukalah agar aku bisa masuk
ke dalammu!”
Sungguh ajaib, batu besar itu perlahanlahan terbelah menjadi dua. Begitu batu besar itu
terbuka lebar, sang mama segera masuk ke dalamnya. Setelah itu, sang mama meminta
kepada batu itu agar tertutup kembali.
“Wahai, Batu Besar! Mengatuplah!” seru sang mama.
Mendengar perintah itu, batu besar itu pun mengatup kembali dengan sangat cepat tanpa meninggalkan bekas celah atau retakan sedikit pun. Tak ayal lagi, istri Malaihollo itu pun
tertelan oleh batu besar itu. Melihat peristiwa tersebut, O Bio Moloku dan adiknya terus menangisi kepergian mama mereka. Batu besar yang menelan istri Malaihollo tersebut
kemudian dinamakan Batu Belah. Hingga saat ini, Batu Belah masih dapat ditemukan di
daerah Maluku Utara.
Demikian cerita Batu Belah dari daerah Maluku Utara, Indonesia. Pesan moral yang dapat
dipetik dari cerita di atas adalah bahwa seorang anak seperti O Bia Moloku yang tidak mau mendengar nasehat orangtua akan mendatangkan malapateka baik bagi dirinya maupun bagi
keluarganya. Oleh karena O Bia Moloku tidak mendengar nasehat mamanya, maka sang mama pun menjadi murka dan pergi meninggalkan mereka. Dikatakan dalam ungkapan Melayu (Tenas Effendy:1994/1995:59):
kalau durhaka ke ibu bapak,
dunia akhirat badan tercampak
http://ceritarakyatnusantara.com/id/folklore/167-Batu-Belah
Balai Padukuhan Klajuran merupakan bangunan dengan arsitektur tradisional Jawa yang ditandai oleh bentuk atap limasan dan kampung. Bangunan ini terdiri dari pendhapa, nDalem, dan gandhok, serta menghadap ke selatan. Pendhapa memiliki denah persegi panjang dan merupakan bangunan terbuka dengan atap limasan srotong yang terbuat dari genteng vlam dan rangkaian bambu yang diikat dengan ijuk. Atap tersebut ditopang oleh 16 tiang kayu, termasuk 8 tiang utama dan 8 tiang emper, yang berdiri di atas umpak batu. Di belakang pendhapa terdapat pringgitan yang menyambung dengan nDalem, yang memiliki denah persegi panjang dan atap limasan srotong dengan atap emper di sebelah timur. Atap nDalem terbuat dari genteng vlam, dindingnya dari bata, dan disangga oleh empat tiang di bagian tengah. nDalem memiliki pintu masuk di bagian tengah serta pintu yang menghubungkan dengan gandhok, dan dilengkapi dengan senthong yang terdiri dari senthong tengen, senthong tengah, dan senthong kiwo. Di sebelah timur n...
Pesanggrahan Hargopeni adalah rumah tinggal milik Keluarga Kadipaten Pakualaman yang didirikan sekitar tahun 1930-an pada masa Paku Alam VII. Bangunan ini dirancang oleh Ir. Wreksodiningrat, insinyur pribumi pertama lulusan Belanda dan kerabat Kadipaten Pakualaman. Pesanggrahan ini pernah digunakan untuk menginap delegasi dari Australia selama Perundingan Komisi Tiga Negara pada 13 Januari 1948. Selama Agresi Militer II, bangunan ini menjadi camp tawanan perang Belanda. Saat ini, Pesanggrahan Hargopeni masih dimiliki oleh Kadipaten Pakualaman. Pesanggrahan Hargopeni adalah bangunan milik Kadipaten Pakualaman yang terletak di Jalan Siaga, Pedukuhan Kaliurang, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman. Difungsikan sebagai tempat penginapan bagi Keluarga Pakualaman, bangunan ini mengusung gaya arsitektur New Indies Style, sebuah perpaduan antara arsitektur modern Belanda dan tradisional Nusantara yang disesuaikan dengan iklim tropis Indonesia. Pesanggrahan Hargopeni menampilk...
Joglo milik Fajar Krismasto dibangun oleh Soerodimedjo (Eyang buyut Fajar Krismasto, seorang Lurah Desa), semula berbentuk limasan. Kemudian dilakukan rehabilitasi menjadi bangunan tradisional dengan tipe Joglo dan digunakan sebagai Kantor Kalurahan Karanglo, tempat pertemuan, pertunjukan kesenian dan kegiatan sosial lainnya. Pada masa perang kemerdekaan, rumah ini digunakan sebagai markas pejuang dan tempat pengungsian Agresi Militer II. Rumah milik Fajar Krismasto merupakan bangunan dengan arsitektur tradisional Jawa tipe Joglo. Mempunyai empat sakaguru di bagian pamidhangan dengan atap brunjung, dan 12 saka pananggap di keempat sisinya. Di ketiga sisi, depan dan samping kiri-kanan terdapat emper. Saka emper terdapat Bahu Danyang untuk menahan cukit. Joglo ini mempunyai lantai Jerambah untuk bagian Pamidhangan dan Pananggap, dan Jogan pada bagian Emper. Di bagian depan dengan dinding dari kayu atau biasa disebut gebyok, sedangkan di bagian lain dengan tembok. Lantainya menggunakan t...
Ginonjing adalah istilah yang digunakan untuk menamai emansipasi Kartini. Istilah tersebut diambil dari nama gending Ginonjing yang digemarinya dan adik-adiknya. Ginonjing berasal dari kata gonjing dalam bahasa Jawa yang berarti "goyah karena tidak seimbang". Ginonjing juga bisa berarti “digosipkan”. Ungkapan ini mengingatkan kepada gara-gara dalam pewayangan yang memakai ungkapan gonjang-ganjing . Menurut St. Sunardi, istilah itu dipilih Kartini sendiri untuk melukiskan pengalaman batinnya yang tidak menentu. Saat itu, dia sedang menghadapi zaman baru dan mencoba menjadi bagian di dalamnya.
Vila Van Resink adalah bangunan cagar budaya berbentuk vila yang terletak di Jalan Siaga, Kalurahan Hargobinangun, Kapanewon Pakem, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Pemilik awal vila ini adalah Gertrudes Johannes "Han" Resink, seorang anggota Stuw-groep , sebuah organisasi aktif pada Perang Dunia II yang memperjuangkan kemerdekaan dan pembentukan negara demokratis Hindia Belanda. Bangunan tersebut dibangun pada masa pemerintah Hindia Belanda sebagai bagian dari station hill (tempat tetirah pada musim panas yang berada di pegunungan) untuk boschwezen dienst (pejabat kehutanan Belanda). Pada era Hamengkubuwana VII, kepengelolaan Kaliurang (dalam hal ini termasuk bangunan-bangunan yang berada di wilayah tersebut) diserahkan kepada saudaranya yang bernama Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Mangkubumi. Tanah tersebut lantas dimanfaatkan untuk perkebunan nila, tetapi kegiatan itu terhenti kemudian hari karena adanya reorganisasi pertanian dan ekonomi di Vors...