Alkisah, di sebuah hutan di daerah Mentok, Bangka-Belitung, hiduplah seorang janda miskin. Ia tinggal di sebuah gubuk reot bersama anak laki-lakinya yang bernama Dempu Awang. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya, mereka menanam ubi, keladi, dan sayur-sayuran di ladang. Hasil yang mereka peroleh hanya cukup untuk dimakan sehari-hari, dan terkadang kurang. Begitulah kehidupan Dempu Awang dan ibunya setiap hari. Lama kelamaan, Dempu Awang pun semakin jenuh dan sering bermalas-malasan pergi ke ladang.
Suatu hari, Dempu Awang duduk termenung seorang diri di depan gubuknya memikirkan nasibnya. Di tengah-tengah lamunannya itu, tiba-tiba muncul keinginannya untuk merantau mencari pekerjaan yang lebih baik.
“Jika aku pergi merantau, bagaimana dengan ibuku? Ia akan tinggal sendirian di sini dan tak ada lagi yang membantunya bekerja di ladang,” pikirnya.
Setelah mempertimbangkan masak-masak, akhirnya Dempu Awang memberanikan diri untuk menyampaikan niat itu kepada ibunya.
“Bu, bolehkah Dempu mengatakan sesuatu?” tanya Dempu.
“Apakah itu, Anakku? Katakanlah!” jawab ibunya.
“Dempu ingin merantau ke negeri seberang, Bu! Jika begini terus, kapan hidup kita bisa memiliki kehidupan yang lebih baik,” ungkap Dempu Awang.
Mendengar ungkapan itu, ibu Dempu menjadi bingung. Di satu sisi, ia merasa bahwa apa yang dikatakan anaknya itu benar. Namun di sisi lain, ia tidak ingin berpisah dengan anak semata wayangnya itu.
“Anakku, Ibu semakin tua. Jika kamu pergi, siapa yang akan mengurus Ibu, Nak?” kata ibu Dempu.
“Bu, Dempu pergi tidak akan lama. Jika sudah berhasil, Dempu akan segera kembali menemui Ibu,” bujuk Dempu.
Setelah berkali-kali didesak, akhirnya ibu Dempu Awang mengizinkan Dempu Awang merantau, walaupun dengan perasaan berat hati.
“Baiklah, Anakku! Jika itu sudah menjadi tekadmu, Ibu mengizinkanmu pergi. Tapi, jangan lupa segera kembali jika sudah berhasil,” kata ibu Dempu.
“Terima kasih, Bu! Dempu berjanji tidak akan melupakan Ibu,” ucap Dempu Awang dengan perasaan gembira.
“Bagaimana caramu merantau, Anakku? Bukankah kita tidak mempunyai uang untuk membayar ongkos naik kapal?” tanya ibunya bingung.
(Baca juga: Cerita Rakyat Bangka Belitung – Dongen Si Bujang Katak)
“Tenang, Bu! Dempu sudah memikirkan semua itu sebelumnya. Untuk membayar ongkos naik kapal, Dempu bersedia menjadi anak buah kapal,” jawab Dempu sambil tersenyum.
Keesokan harinya, Dempu Awang pergi ke pelabuhan untuk melihat apakah ada kapal yang sedang berlabuh. Pada hari itu, kebetulan sebuah kapal besar sedang berlabuh. Dempu Awang pun segera menemui si pemilik kapal.
“Permisi, Tuan! Saya ingin merantau ke negeri seberang untuk memperbaiki nasib keluarga saya. Saya ingin menumpang di kapal Tuan, tapi saya tidak mempunyai uang. Berilah saya pekerjaan untuk membayar ongkos kapal!” pinta Dempu Awang mengimba.
Lantaran iba, pemilik kapal itu pun bersedia mengangkat Dempu Awang menjadi anak buah kapal.
“Baiklah, Dempu! Besok pagi saya tunggu kamu di sini. Kita akan berangkat berlayar bersama-sama menuju negeri seberang,” kata pemilik kapal.
Setelah mendapat izin dari pemilik kapal, Dempu Awang segera menyampaikan berita gembira itu kepada ibunya. Mendengar berita gembira itu, hati ibunya senang bercampur sedih, karena ia benar-benar akan berpisah dengan anak kesayangannya. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali ibu Dempu mempersiapkan bekal makanan dan pakaian seadanya untuk Dempu selama di perjalanan. Setelah semuanya siap, berangkatlah Dempu ke pelabuhan bersama ibunya. Sesampainya di pelabuhan, kapal yang akan ditumpangi Dempu sudah bersiap-siap untuk berangkat.
“Dempu…! Cepatlah naik ke kapal! Kita segera berangkat!” seru si pemilik kapal dari atas anjungan.
“Iya, Tuan!” jawab Dempu. Dempu Awang pun berpamitan kepada ibunya. Ia memeluk ibunya dengan erat, sang Ibu pun membalas pelukan anaknya sambil meneteskan air mata. Sejenak, suasana menjadi haru. Perasaan sedih menyelemuti hati keduanya. “Berangkatlah, Anakku! Ibu doakan semoga kamu berhasil dan jangan lupa cepat kembali!” pesan ibunya. ”Iya, Bu! Dempu akan selalu ingat pesan Ibu. Jaga diri Ibu baik-baik!” kata Dempu.
Usai mencium tangan ibunya, Dempu Awang segera berlari naik ke atas kapal. Beberapa saat kemudian, kapal yang ditumpangi itu pun berangkat. Dempu Awang melambaikan tangan kepada ibunya. Sejak itu, ibu Dempu tinggal seorang diri di gubuknya. Setiap hari ia senantiasa berdoa agar anaknya sampai di tujuan mendapatkan pekerjaan dan segera kembali.
Waktu terus berjalan. Dempu Awang sudah sepeluh tahun di tanah rantau. Berkat doa ibunya, Dempu Awang menjadi seorang yang kaya raya dan mempunyai istri yang cantik jelita. Namun, ia tidak pernah memberi kabar ibunya.
Suatu hari, istri Dempu Awang ingin sekali bertemu dengan ibu mertuanya. Ia pun menyampaikan niat itu kepada suaminya.
“Kanda! Kapan kita ke kampung halaman Kanda? Dinda ingin sekali bertemu dengan ibu Kanda,” kata istri Dempu Awang.
“Baiklah, Dinda! Besok pagi kita berangkat. Sampaikan kepada semua pelayan untuk menyiapkan segala keperluan kita selama di perjalanan dan oleh-oleh untuk ibu di kampung!” ujar Dempu Awang. Dengan perasaan gembira, istri Dempu Awang pun segera menyampaikan pesan suaminya itu kepada para pelayan. Mulai pagi hingga malam hari, para pelayan sibuk mempersiapkan bekal yang diperlukan, seperti makanan, minuman, pakaian, serta oleh-oleh untuk ibu Dempu di kampung halaman. Keesokan harinya, berangkatlah Dempu Awang bersama istrinya serta beberapa orang anak buah kapal menuju ke Mentok dengan menggunakan kapalnya yang besar dan megah.
Setelah berhari-hari berlayar, Dempu Awang bersama rombongannya tiba di pelabuhan Mentok. Para penduduk, baik nelayan maupun pedagang, berbondong-bondong menuju ke pelabuhan untuk melihat perahu besar dan megah itu. Ketika mendekat di kapal itu, mereka melihat seorang pemuda gagah berpakaian mewah berdiri di anjungan kapal dan seorang wanita cantik berdiri di sampingnya. Di antara penduduk tersebut ada yang mengenal pemuda gagah itu. “Hai, lihatlah! Bukankah itu Dempu Awang?” kata seorang penduduk “Benar! Dia Dempu Awang, anak orang miskin itu,” sahut penduduk lainnya.
Sementara itu, dari atas kapalnya, Dempu Awang menyebarkan pandangannya kepada seluruh penduduk yang mendekat ke kapalnya. Ia sedang mencari ibunya yang sangat dirindukannya. Setelah mengamati satu per satu wajah mereka, ternyata orang yang dicarinya itu tidak ada. Ia pun memanggil beberapa orang penduduk naik ke atas kapalnya dan menanyakan keberadaan ibunya.
Salah seorang penduduk mengatakan bahwa ibunya masih hidup.
“Baiklah. Kalau memang ibuku masih hidup, tolong panggilkan dan bawa naik ke kapal ini. Aku ingin memastikan apakah dia benar-benar ibuku!” pinta Dempu Awang kepada penduduk itu.
Tak berapa lama, penduduk itu datang bersama seorang wanita tua berpakaian compang-camping. Wanita tua itu kemudian segera naik ke kapal untuk menemui anaknya yang sudah lama dirindukannya. Dempu Awang mengetahui bahwa wanita tua itu adalah ibunya. Namun karena malu mengakui sebagai ibunya di hadapan istrinya, ia pun mengusir wanita tua itu.
“Pelayan! Usir nenek peot ini dari kapalku! Dia bukan ibuku. Dia hanya petani miskin yang mengaku-ngaku sebagai ibuku!” seru Dempu Awang sambil berkacak pinggang.
“Dempu Awang! Dia adalah ibumu yang telah kau tinggalkan sendirian selama puluhan tahun,” sahut seorang penduduk yang hadir di tempat itu.
“Benar, Anakku! Aku ini ibumu yang telah melahirkan dan membesarkanmu. Ibu sangat mengenal tanda goresan di keningmu bekas luka karena terjatuh dulu,” kata wanita tua.
Mendengar pengakuan wanita tua itu, Dempu Awang semakin marah. Istrinya pun berusaha menenangkan hatinya.
“Iya, Kanda! Mungkin saja wanita tua itu benar bahwa Kanda adalah anaknya. Janganlah menjadi anak durhaka dan tak usah malu kepada Dinda!” bujuk istrinya.
Bujukan sang Istri bukannya membuat hati Dempu Awang menjadi tenang, tetapi justru kemarahannya semakin memuncak. Ia pun menghampiri dan kemudian mendorong wanita tua itu hingga terjatuh berguling-guling di tangga kapal.
Hati wanita itu hancur berkeping-keping melihat perlakuan anaknya terhadap dirinya. Dengan perasaan sedih, wanita tua malang itu segera meninggalkan pelabuhan menuju ke gubuknya. Setelah agak jauh dari pelabuhan, ibu Dempu Awang berhenti di jalan seraya menengadahkan kedua belah tangannya ke atas.
“Ya, Tuhan! Berilah balasan yang setimpal kepada anak hamba yang durhaka itu, karena tidak mau mengakui hamba sebagai ibu kandungnya,” pinta ibu Dempu Awang.
Doa sang Ibu benar-benar dikabulkan oleh Tuhan Yang Mahakuasa. Ketika Dempu Awang hendak berlayar meninggalkan pelabuhan Mentok, tiba-tiba langit menjadi mendung. Kemudian turunlah hujan yang sangat deras disertai angin topan dan petir yang menyambar-nyambar.
Tiba-tiba gelombang laut setinggi gunung menghantam kapal Dempu Awang yang megah itu hingga terbelah menjadi dua, lalu karam ke dasar laut. Setelah cuaca kembali cerah seperti semula, tampaklah sebuah batu besar di tempat kapal Dempu Awang karam.
Batu yang menyerupai kapal besar itu merupakan penjelmaan Dempu Awang dan kapalnya, sedangkan istrinya menjelma menjadi kera putih. Hingga kini batu tersebut masih terpelihara dengan baik. Oleh masyarakat setempat, batu tersebut diberi nama Batu Balai, karena pada zaman dahulu, di samping batu itu terdapat sebuah balai, yakni sebuah kantor pemerintahan yang biasa dijadikan sebagai tempat bermusyawarah.
Sumber:
https://www.reinha.com/2018/11/cerita-rakyat-bangka-belitung-cerita-batu-balai/
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja
Jembatan Plunyon merupakan bagian dari wisata alam Plunyon-Kalikuning yang masuk kawasan TNGM (Taman Nasional Gunung Merapi) dan wisatanya dikelola Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) setempat, yaitu Kalikuning Park. Sargiman, salah seorang pengelola wisata alam Plunyon-Kalikuning, menjelaskan proses syuting KKN Desa Penari di Jembatan Plunyon berlangsung pada akhir 2019. Saat itu warga begitu penasaran meski syuting dilakukan secara tertutup. Jembatan Plunyon yang berada di Wisata Alam Plunyon-Kalikuning di Cangkringan, Kabupaten Sleman. Lokasi ini ramai setelah menjadi lokasi syuting film KKN Desa Penari. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan zoom-in-whitePerbesar Jembatan Plunyon yang berada di Wisata Alam Plunyon-Kalikuning di Cangkringan, Kabupaten Sleman. Lokasi ini ramai setelah menjadi lokasi syuting film KKN Desa Penari. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan "Syuting yang KKN itu kebetulan, kan, 3 hari, yang 1 hari karena gunungnya tidak tampak dibatalkan dan diu...