Cerita Rakyat
Cerita Rakyat
Babad Jawa Timur Blambangan
Babad Blambangan
- 3 Agustus 2015

Silih berganti dinasti menguasai Blambangan. Tapi yang termasyur adalah Dinasti Tawangalun,  yang mendirikan Kota Macanputih berdasarkan petunjuk dari seekor Macanputih. Generasi terakhir Tawangalun adalah Pangeran Menak Jingga atau dikenal juga dengan Raden Mas Sepuh. Mas Sepuh dibunuh di Pantai Seseh, sebelum menghembus napas terakhir, Mas Sepuh mengutuk Raja Mengwi kekuasaannya akan surut. Kutukan ini sungguh sidhi, menggema dalam sejarah Kerajaan Mengwi sampai akhir abad-19 dan menandai lenyapnya kekuasaan Dinasti Mengwi.

 

 

Nama ‘Blambangan’sekarang ternyata melalui proses yang berganti-ganti. Mulai dari nama ‘Lamajang’ (prasasti Mula Malurung), dengan raja Nararya Kirana dibawah kekuasaan Tumapel (1248-1254). Kemudian diperhalus menjadi ‘lumajang’, dengan kata dasar ‘laja’ yang artinya laos (sejenis bumbu). Dalam Prasasti Lamongan (1316) namaya berubah menjadi ‘Marlambangan’ dibawah kekuasaan Banyak Wide. Selanjutnya muncul nama ‘Balumbung’ tertera dalam Kekawin Negara Kertagama karya Mpu Prapanca tahun 1365. Sementara dalam berbaga catatan VOC menyebut Blambangan sebagai ‘Balamboangan’ yang berasal dari ucapan lidah Belanda/Eropa ‘Baliboang’ atau ‘Baliboan’. Menurut Vriesman sebagai Assisten Resident di Banyuwangi tahun 1885, Blambangan dengan kata dasar ‘lambang’ berarti ‘pinggir’, sedangkan dalam bahasa Madura ‘lambang’ berubah menjadi ‘lembang; yang artinya ‘sayap’.

 

Sebagai wilayah pinggiran Pulau Jawa, Blambangan pernah dikuasai oleh beberapa penguasa, antara lain: Nararya Kirana sebagai raja bawahan dari Raja Wisnu Wardhana dari Tumapel/Singosari (1255-1294 M); Arya Wiraraja/Banyak Wide (1294-1311 M); Mpu Nambi (1311-1316); Bhre Wirabhumi (1361-1406 M); Rajasa Wardana (1447-1478); Kerajaan Penarukan (1528-1601 M); Mas Kryan Raja Kedhawung (1596-1633); Pangeran Singasari/Tanpahuna (1633-1639); Pengeran Mancapura (1691-1697); Prabhu Danureja (1697-1736); Pangeran Menak Jingga (1736-1763); Ki Gusti Ngurah Kaba-Kaba (1764-1767); VOC (1767-1800); Inggris (1811-1816); dan Hindia-Belanda (1816-1942).

 

 

Prosesi Mesatya 270 Wanita

Ada sebuah peristiwa yang luar biasa yang terjadi di Blambangan, yaitu pembakaran jenazah Pangeran Tawangalun yang meninggal 18 September 1691. Menurut catatan seorang aparat VOC Valentijn, Dua puluh lima hari setelah meninggal, yaitu pada tanggal 13 Oktober 1691 dilaksanakan upacara kremasi (ngaben) yang disertai dengan prosesi belapati atau mesatya oleh 270 (Dua Ratus Tujuh Puluh) orang wanita. Wanita-wanita itu adalah istrinya dan pengikut/pendukung fanatiknya menceburkan diri ke dalam kobaran api suci. Wanita pengikut/pendukung fanatik/isterinya seluruhnya ada 400 orang. Dengan demikian tinggal 130 orang yang masih hidup. Kemudian abu Pangeran Tawangalun ditempatkan/dicandikan di hutan Malecutan.

 

Nama Pangeran Tawangalun – pendiri Kota Macan Putih – memang harum bagi orang Blambangan karena membawa rakyatnya ke dalam kemakmuran dan kesejahteraan. Tahun 1676 Pangeran Tawangalun berhasil membebaskan diri sebagai raja bawahan (vasal) dari kekuasan Kerajaan Mataram.  Karena itu rakyat Blambangan, khususnya masyarakat Banyuwangi masih tetap mengenangnya. Beberapa nama diabadikan sebagai nama  kelembagaan, seperti nama terminal bus di Desa Jubung-Jember, Radio Tawangalun, pemancar di Kota Genteng, nama tempat suci Pura Tawangalun di Pancer – Pesanggaran Banyuwangi.

 

 

Blambangan di bawah Kerajaan Mengwi (1736 – 1767).

Wilayah Blambangan berada di bawah kekuasaan Kerajaan Mengwi sejak tahun 1736, dan menempatkan Pangeran Menak Jingga/Pangeran Danuningrat sebagai raja bawahan. Menak Jingga adalah putera Pangeran Danureja dari permaisuri dan menjadi raja terakhir Blambangan yang berdarah Tawangalun. Adiknya Mas Sirna menjabat sebagai patih dengan nama Wong Agung Wilis (gelar Jawa, setara dengan Anak Agung di Bali). Gusti Gede Lanangjaya dari Denpasar diutus oleh Raja Mengwi untuk melantik Pangeran Menak Jingga dan Mas Sirna.

 

Nordholt H.S, seorang Guru Besar ahli sejarah Asia Tenggara dalam bukunya berjudul The Spell of Power: A History Balinese Politics mengatakan Raja Mengwi yang berkuasa pada waktu itu adalah I Gusti Agung Ngurah Made Agung. Raja Mengwi sangat kuat dan ditakuti banyak orang, namun ia mempunyai masalah tidak mengetahui siapa sebenarnya leluhurnya. Setelah mengundang salah seorang pendeta Brahmana, raja-raja Mengwi selanjutnya menelusuri garis keturunannya ke dalam klan Arya Kepakisan.

Samsubur mencerita selanjutnya, bahwa hubungan Pangeran Menak Jingga dengan patihnya Wong Agung Wilis tidak harmonis. Wong Agung Wilis dicurigai berniat merebut kekuasaan. Itu sebabnya kedudukannya diganti oleh Mas Sutawijaya (putranya sendiri) sebagai patih kiwa dan Mas Sutanegara (kemenakan raja) sebagai patih tengen. Wong Agung Wilis pergi mengembara bertapa ke pesisir pantai selatan, ke gunung-gunung, ke gua-gua yang angker dan mendirikan pesraman di tempat yang sekarang disebut desa Sanggar. Sehingga Wong Agung Wilis terkenal sebagai orang yang sangat keramat dan sakti. Pejuang-pejuang rakyat Blambangan generasi berikutnya dalam melawan VOC dipercaya sebagai titisan Wong Agung Wilis.

 

Selain itu, Pangeran Menak Jingga juga membunuh Senapati Blambangan yang bernama Rangga Satata, atas hasutan anaknya Mas Sutawijaya. Berita terbunuhnya Rangga Satata sampai ke Raja Mengwi. Raja Mengwi murka kemudian mengirim bala tentara yang dibantu Wong Agung Wilis menyerbu Blambangan. Pengeran Menak Jingga melarikan diri mengungsi ke gunung Gumitir (Merawan), terus ke Senthong (sekarang Bondowoso), Basuki, Banger (sekarang Prabalingga), dan Lumajang. Di Lumajang utusan Wong Agung Wilis bertemu dengan Pangeran Danuningrat, dan berhasil membujuk untuk diajak ke istana Blambangan. Dari istana Blambangan, utusan Raja Mengwi mohon pamit dengan membawa Pangeran Menak Jingga ke Bali. Sampai di Mengwi Pangeran berdarah Tawangalun ini dieksekusi.


Pangeran Menak Jingga/Raden Mas Sepuh (dalam Babad Bali disebut Pangeran Blambangan) dibunuh di Pantai Seseh. Eksekusi – atas perintah  Raja Patni I Gusti Ayu Oka – dilakukan oleh I Gusti Agung Kamasan dari Puri Sibang dan Mekel Munggu. Saat sebelum menghembus napas terakhir Pangeran Blambangan mengutuk Kawyapura atau Mangupura (Kerajaan Mengwi) akan mengalami masa-masa surut. Setelah wafat, pangeran Blambangan dibuatkan Meru Tumpang Solas, yang disembah oleh orang-orang di Desa Munggu, Cemagi dan Sibang.

 

 

Doyan Perempuan Banyuwangi

Ki Gusti Ngurah Kaba-Kaba bersama adiknya Ki Gusti Ngurah Kutha Bedha diangkat oleh Raja Mengwi sebagai penguasa Blambangan menggantikan Pangeran Menak Jingga. Disebut Kaba-kaba karena berasal dari desa Kaba-Kaba, Kecamatan Kediri, Tabanan. Keduanya setelah  diangkat sebagai Raja dan patih oleh Raja Mengwi, segera berangkat ke Blambangan dengan pasukan berjumlah 300 prajurit, dipimpin oleh Ki Tumbakbayuh dan Ki Gajah Gulingan. Mereka berangkat lewat pantai Seseh sampai di Blambangan disambut oleh para mantri punggawa. Penguasa Bali ini beristana di Lemah Bang (sekarang Rogojampi, Banyuwangi).

 

Pada awal masa pemerintahannya  Ki Gusti Ngurah (KGN) Kaba-Kaba telah melanggar pesan dan amanat Raja Mengwi. Pengangangkatan Mantri Ki Mas Anom dan Mas Weka oleh KGN Kaba-Kaba mempunyai pamerih tertentu. KGN Kaba-Kaba ternyata doyan perempuan Banyuwangi. Kedua mantri ini diperintahkan menyediakan gadis-gadis Banyuwangi. Mas Anom merasa sedih, tiap hari, siang-malam hanya wanita saja yang dibicarakan oleh penguasa Bali ini. Mas Anom pun was-was meninggalkan rumahnya, karena isterinya di rumah sering diganggu.

 

Tidak tanduk KGN Kaba-Kaba bersama patihnya KGN Kutha Bedha benar-benar menyimpang dari misi yang diembannya, yang sebenarnya dibebani misi sangat mulia. Rakyat Blambangan semakin tidak bersimpati atas kekuasaan Kerajaan Mengwi ini, terlebih lagi didengar berita bahwa Pangeran Menak Jingga/Raden Mas Sepuh dibunuh di Pantai Seseh. 

 

Blambangan di bawah VOC (1767 – 1800)

Kebencian rakyat Blambangan kepada penguasa dari Bali semakin memuncak. Mantri Wedana Mas Anom berbalik haluan. Ia memimpin pasukan Blambangan menyerbu kediaman KGN Kaba-Kaba bersama Patihnya KGN Kutha Bedha. Melihat kekuatannya tidak berimbang, kedua penguasa Bali itu memutuskan melakukan puputan. Ki Mas Anom berhasil memenggal kedua kepala penguasa dari Bali. Sementara istri-istrinya bunuh diri sebagai tanda setia dan mencegah untuk dijadikan istri boyongan/rampasan.

 

Ki Mas Anom kemudian menyerahkan kedua kepala mantan penguasa dari Bali itu kepada Komandan VOC Letnan Edwin Blangke. Sejak itu kemenangan demi kemenangan VOC mulai tampak. Orang-orang Bali yang melarikan diri dan bersembunyi di hutan-hutan digiring ke markas VOC atau dibunuh. Dengan demikian berakhir sudah kekuasaan Kerajaan Mengwi, selanjutnya Blambangan memasuki babak baru dibawah kekuasaan VOC.

 

Selanjutnya VOC mengangkat Sutanagara dan Wasengsari sebagai Bupati dan wakilnya. Kedua pemimpin baru Blambangan ini dipaksa memeluk agama Islam oleh Kumpeni untuk menjauhkan para pemimpin dan rakyat Blambangan dari pengaruh laten Bali. Sementara rakyat Blambangan sendiri sangat anti Mataram, karena teringat oleh pengerusakan wilayahnya yang dilakukan oleh bala tentara Sultan Agung, Raja Mataram tersebut.

 

VOC ternyata kesulitan mencari pejabat bupati yang benar-benar loyal kepada pihaknya. Bupati Sutanagara diberhentikan, Kartanagara diangkat sebagai penggatinya. Kartanagara juga  menjabat sebentar, dia digantikan dengan Ki Mas Rempeg. Masa pemerintahan Ki Mas Rempeg terjadi perlawanan rakyat, yang disebut Perang Bayu. Perang Bayu adalah perangnya rakyat Blambangan yang didukung oleh bala tentara Bali melawan pihak VOC, yaitu Madura dan Mataram. Seorang tentara VOC yang bernama Serma Van Schaar tewas, mayatnya dimasak dan dimakan bareng oleh bala tentara Blambangan. Sedangkan potongan kepalanya ditancapkan pada sebatang kayu, dipertontonkan berkeliling kepada rakyat Blambangan. Berita ini membuat pihak VOC marah besar. VOC membalasnya dengan menangkap dan menenggelamkan orang-orang yang dicurigai melakukan aksi tersebut.

 

Bupati Blambangan selanjutnya yang diangkat VOC adalah Mas Alit Wiraguna. Atas perintah VOC, Bupati Wiraguna melakukan pengusiran terhadap para pendeta Hindu etnis Bali. Masa pemerintahan Bupati Wiraguna juga tidak luput dari perlawanan sejumlah pejuang rakyat Blambangan yang masih seagama dengan rakyat Bali, meskipun perlawanannya berskala lebih kecil.

 

VOC dibubarkan tanggal 31 desember 1799 dan diganti oleh Pemerintah Hindia – Belanda, yang menguasai Blambangan sampai 1942. Dalam masa itu Inggris sempat menyela menguasai Blambangan sebentar tahun 1811 – 1816. Dari tahun 1800 – 1942, perlawanan rakyat Blambangan sudah mereda. Pulau Bali juga sudah dikuasai Belanda sejak tahun 1908 melalui Puputan Klungkung.

 

 

 

Sumber: http://gustu107.blogspot.com/2014/02/babad-blambangan.html

Diskusi

Silahkan masuk untuk berdiskusi.

Daftar Diskusi

Rekomendasi Entri

Gambar Entri
Tradisi MAKA
Seni Pertunjukan Seni Pertunjukan
Nusa Tenggara Barat

MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...

avatar
Aji_permana
Gambar Entri
Wisma Muhammadiyah Ngloji
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
SMP Negeri 1 Berbah
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Pabrik Gula Randugunting
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Kompleks Panti Asih Pakem
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja

avatar
Bernadetta Alice Caroline