Asal Usul Sukadana
Di suatu desa yang berpenduduk, namun desa itu belum memiliki nama. Para tokoh masyarakat sudah sering mengadakan rapat mengenai nama desa tersebut, namun belum menemukan kesepakatan. Pertemuan untuk membahas nama desa adalah pertemuan khusus, artinya, tidak boleh ada orang yang masuk ke rapat tersebut kecuali tokoh masyarakat. Jika ada yang masuk, maka akan dikenakan sanksi.
Pada suatu hari, terdapat seorang petani miskin bernama Ki Badaruddin dan istrinya bernama Cik Hamidah. Mereka memiliki seorang putra yang bernama Ki Agus Sulaiman. Ia adalah anak tunggal sehingga semua keinginannya dituruti. Ki Agus Sulaiman dibelikan sebuah gitar, rebana, dan suling. Dengan alat musiknya, Ki Agus Sulaiman bernyanyi layaknya seorang pengamen. Ki Agus Sulaiman pintar memainkan lagu dengan serius, tak heran kedatangannya dinanti-nanti. Namun, Ki Agus Sulaiman aadalah anak yang pemalas. Sehari-hari ia hanya bermain gitar dan jika mendapat uang atau makanan dari orang tuanya selalu ia berikan kepada orang lain. Padahal orang tuanya adalah orang miskin.
Pada suatu hati, para tokoh masyarakat berkumpul di sebuah balai pertemuan untuk kembali mendisukusikan nama untuk desa mereka. Tiba-tiba, Ki Agus Sulaiman masuk ke balai pertemuan sambil bernyanyi dan memainkan rebananya. Para tokoh masyarakat terpaku mendengar suara Ki Agus Sulaiman. Apalagi alat musik yang digunakan sangat cocok dengan alunan musik yang didendangkan. Setelah bernyanyi, ia pun pergi.
Ketika para tokoh masyarakat masih terpaku, ia sudah bernyanyi di jalan-jalan kampung. Ia diikuti oleh anak-anak yang senang mendengar suaranya. Dari kejauhan, tampak ibu Ki Agus Sulaiman datang dengan membawa ranting kayu.
"Ayo nak! kita pulang" kata ibunya.
"Nanti Bu, Agus masih mau bernyanyi untuk anak kampung kita." kata Ki Agus Sulaiman. Ibunya menarik tangannya.
Di perjalanan, ibunya mengatakan bahwa memasuki balai pertemuan akan dikenakan sanksi bagi keluarga mereka. "Sejak zaman nenek moyang kita, kita tidak boleh masuk kesana kecuali kita adalah tokoh kampung yang berilmu tinggi" kata ibu Agus. Namun Agus membalas, "Tapi Bu, aku hanya ingin menghibur mereka. Bapak-bapak itu sedang kacau pikirannya". Ibu Ki Agus Sulaiman berkata "Walau niatmu baik, tetap tidak boleh! Kita tetap akan dihukum!". Mereka diam tanpa berbicara hingga sampai ke rumah.
Sejak saat itu, kampung Ki Agus Sulaiman gempar. Akan tetapi, tidak ada orang yang menghukum mereka sebagaimana orang lain yang memasuki balai pertemuan. Setelah sekitar tiga bulan, datang seorang tokoh masyarakat ke rumah Agus. Orang tua Agus sangat ketakukan akan datangnya tokoh masyarakat tersebut.
"Tuan, apa kesalahan kami sehingga Tuan datang ke gubuk kecil kami ini?" tanya Ayah Agus. Utusan itu berkata "Kami diutus untuk memberitahukan bahwa Bapak, Ibu, dan Nak Agusharus datang ke balai pertemuan besok". Wajah Ayah dan Ibu Agus langsung pucat. Mereka yakin besok akan menerima hukuman.
Keesokan harinya, Ki Badaruddin, istrinya, serta Ki Agus Sulaiman mendatangi balai pertemuan. Kedatangan mereka sudah ditunggu oleh tokoh masyarakat. Setelah mereka datang, rapat dimulai.
"Saudara-saudara, hari ini adalah hari yang bersejarah bagi desa kita. Setelah melalui rapat yang cukup lama, kami telah mencapai kesepakatan. Kami sudah menemukan sebuah nama untuk desa ini." kata seseorang membuka rapat pada pagi itu. Ki Badaruddin dan istrinya hanya merasa gelisah karena menanti sanksi yang akan mereka dapatkan.
"Setelah dipertimbangkan matang-matang, nama kampung kita adalah...." sambung orang tersebut sambil memandang Ki Agus Sulaiman. "Nama kampung kita adalah Sukadana!" katanya.
Orang-orang yang mendengar keputusan itu hanya terdiam. Seorang tokoh masyarakat pun menjelaskan alasan kenapa mereka memilih sukadana yang terdiri dari dua kata itu, Suka dan dana. Ki Agus Sulaiman adalah alasan mereka memberi nama kampung tersebut Sukadana, Ia mengatakan perbuatan Agus yang suka menghibur orang dan memberikan uang kepada orang lain adalah perbuatan terpuji. "Oleh karena itu, nama kampung ini kita ambil dari perbuatan baik nak Agus" kata pemimpin tersebut.
Semua orang tercengang. Mereka menanti restu dari Ki Agus Sulaiman. Ki Agus Sulaiman menyetujuinya dan ia sangat senang karena dengan bernyanyi di balai pertemuan membuat mereka menemukan nama kampung.
Sejak saat itu kampung Ki Agus Sulaiman disebut Sukadana dan Ki Agus Sulaiman menjadi tokoh masyarakat. Kini balai pertemuan tersebut dapat didatangi oleh siapa saja dan tempat tersebut menjadi tempat diskusi antara masyarakat biasa dan tokoh masyarakat.
OSKM18_16718443_M Irfan Wicaksono
#OSKMITB2018
Vila Van Resink adalah bangunan cagar budaya berbentuk vila yang terletak di Jalan Siaga, Kalurahan Hargobinangun, Kapanewon Pakem, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Pemilik awal vila ini adalah Gertrudes Johannes "Han" Resink, seorang anggota Stuw-groep , sebuah organisasi aktif pada Perang Dunia II yang memperjuangkan kemerdekaan dan pembentukan negara demokratis Hindia Belanda. Bangunan tersebut dibangun pada masa pemerintah Hindia Belanda sebagai bagian dari station hill (tempat tetirah pada musim panas yang berada di pegunungan) untuk boschwezen dienst (pejabat kehutanan Belanda). Pada era Hamengkubuwana VII, kepengelolaan Kaliurang (dalam hal ini termasuk bangunan-bangunan yang berada di wilayah tersebut) diserahkan kepada saudaranya yang bernama Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Mangkubumi. Tanah tersebut lantas dimanfaatkan untuk perkebunan nila, tetapi kegiatan itu terhenti kemudian hari karena adanya reorganisasi pertanian dan ekonomi di Vors...
Gereja Kristen Jawa (GKJ) Pakem Kertodadi adalah salah satu gereja di bawah naungan sinode Gereja Kristen Jawa, yang terletak di Jalan Kaliurang km. 18,5, Padukuhan Kertadadi, Kalurahan Pakembinangun, Kapanewon Pakem, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Awal mula pertumbuhan jemaat gereja ini berkaitan dengan keberadaan Rumah Sakit Paru-Paru Pakem, cabang dari Rumah Sakit Petronela (Tulung), yang didirikan di wilayah Hargobinangun. Sebelum tahun 1945, kegiatan keagamaan umat Kristen diadakan secara sederhana dalam bentuk renungan atau kebaktian pagi yang berlangsung di klinik maupun apotek rumah sakit yang dikenal dengan nama "Loteng". Para perawat di rumah sakit tersebut juga melakukan pelayanan kesehatan ke dusun-dusun di sekitarnya, yaitu Tanen, Sidorejo, Purworejo, dan Banteng. Menurut Notula Rapat Gerejawi, jemaat gereja ini mengadakan penetapan majelis yang pertama kali pada 21 April 1945. Tanggal tersebut lantas disepakati sebagai hari jadi GKJ Pa...
Situs Cepet Pakem adalah situs arkeologi yang terletak di Padukuhan Cepet, Kalurahan Purwobinangun, Kapanewon Pakem, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Berdasarkan temuan dua buah yoni dan sejumlah komponen arsitektur candi di sekitarnya, situs ini diduga merupakan reruntuhan sebuah candi Hindu dari masa klasik. Lokasinya kini berada di area permakaman umum Padukuhan Cepet, berdekatan dengan sebuah masjid. Benda cagar budaya (BCB) utama yang ditemukan di situs ini adalah dua buah yoni yang terbuat dari batu andesit. Kondisi keduanya telah rusak, sedangkan lingganya tidak ditemukan. Yoni pertama awalnya berada di pekarangan penduduk bernama Pujodiyono, tetapi sekarang dipindahkan di halaman makam. Yoni ini memiliki ukuran relatif besar dengan bentuk yang sederhana, yaitu lebar 134 sentimeter, tebal 115 sentimeter, dan tinggi 88 sentimeter. Bagian bawah cerat yoni tersebut tidak bermotif dan memberikan kesan bahwa pengerjaannya belum selesai. Sementara itu, terdap...
Situs Potro atau Pancuran Buto Potro adalah situs arkeologi yang terletak di Padukuhan Potro, Kalurahan Purwobinangun, Kapanewon Pakem, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Situs ini terdiri atas dua benda cagar budaya (BCB) utama yang seluruhnya terbuat dari batu andesit, yaitu jaladwara dan peripih. Jaladwara di situs ini oleh masyarakat setempat dikenal dengan nama Pancuran Buto, karena bentuknya menyerupai kepala raksasa (kala) dengan mulut terbuka, gigi bertaring, dan ukirannya menyerupai naga. Sementara itu, keberadaan peripih berukuran cukup besar di situs ini menimbulkan dugaan bahwa pernah berdiri sebuah bangunan keagamaan di sekitar lokasi, kemungkinan sebuah candi, meskipun bentuk dan coraknya tidak dapat dipastikan karena minimnya artefak yang tersisa.
Resep Sambal Matah Bahan-bahan: Bawang Merah Cabai Rawit Daun Jeruk Sereh Secukupnya garam Minyak panas Pembuatan: Cincang bawang merah, cabai rawit, daun jeruk, dan juga sereh Campur semua bahan yang sudah dicincang dalam satu wadah Tambahkan garam secukupnya atau sesuai selera Masukkan minyak panas Aduk semuanya Sambal matah siap dinikmati