Pulau Bali dikenal orang di berbagai negara, di seluruh belahan dunia. Tetapi tahukah kamu dari mana asal namanya?
Dahulu kala seorang petapa sakti yang arif bijaksana tinggal di Gunung Semeru di Pulau Jawa. Dengan kesaktiannya, ia bisa membuat tanaman yang ia tanam tumbuh dengan subur dan lebat. Sedangkan hewan yang ia pelihara menjadi tambun dan sehat, serta beranak-pinak dengan cepat. Karena kesaktian dan kearifannya ini, rakyat di Pulau Jawa menghormatinya.
Sang Petapa Sakti bersahabat dengan seekor naga sakti yang tinggal di Gunung Mesehe, di sebuah pulau yang tidak jauh dari Pulau Jawa. Sang Naga terkenal karena kesaktian dan kehebatannya dalam berkesenian. Menari, bermain musik, mengukir kayu, dan membuat berbagai kerajinan tangan, mampu ia lakukan dengan sangat memesona dan tanpa cacat cela. Tidak ada orang atau naga lain yang mampu menandingi kesaktiannya. Selain sakti, di seluruh tubuh naga ini bertaburan berbagai permata berharga yang berwarna-warni. Cahaya dari permata di tubuh naga ini berkilauan, apalagi bila tertimpa cahaya matahari.
Suatu hari Petapa Sakti menyuruh seorang utusan untuk mengantarkan hasil tanaman dan susu sapi untuk Naga Sakti. Karena kesaktian sang Petapa, si utusan hanya perlu mengendarai kuda satu hari satu malam lamanya untuk sampai ke Gunung Mesehe. Bagi orang lain, perjalanan ini ditempuh selama satu minggu penuh.
“Saya berangkat, Guru.” Utusan segera berangkat dengan patuh.
Secara teratur, Petapa mengirimkan hasil bumi dan susu sapi kepada Naga sahabatnya. Namun, lama kelamaan kejadian aneh mulai muncul. Sang utusan baru kembali setelah sebulan pergi. Kejadian itu berulang hingga beberapa kali.
Sang Petapa bertanya kepada utusannya, “Mengapa kamu baru pulang?”
“Sang Naga tidak mengizinkan saya cepat-cepat pulang, Guru,” jawab utusan sambil menunduk.
Di lain waktu, utusan itu memberikan alasan yang berbeda. “Ombak sedang besar sehingga kami harus menunggu, Guru.”
Di saat lainnya, si utusan kembali memberikan jawaban yang berbeda. “Kuda saya sakit, Guru, sehingga saya harus menunggu dia sembuh.”
Petapa itu mulai tidak sabar. Diam-diam, dia mengikuti utusannya hingga menyeberang pulau menuju Gunung Mesehe.
Ternyata, setelah memberikan hasil bumi dan susu kepada Naga, si utusan tidak langsung pulang. Ia bersembunyi di balik semak, di dekat gua tempat Naga tinggal. Ketika Naga Sakti menari, batu permata berjatuhan dari tubuhnya. Diam-diam si utusan mengambil batu-batu permata itu, lalu menyimpannya di lipatan kain yang ia kenakan. Bukannya mengembalikan batu itu kepada naga sakti, utusan itu membawa permata-permata itu turun dari Gunung Mesehe. Ia mengajak rakyat yang tinggal di pulau untuk berjudi sabung ayam, dengan permata itu sebagai taruhannya. Dengan senang hati, ajakan itu ditanggapi oleh rakyat sekitar. Apalagi, permata yang dibawa si utusan adalah permata yang sangat indah dan berharga, serta sangat jarang dijumpai.
Melihat hal itu, sang Petapa sangat marah. Ia berkata dengan suara menggelegar dalam bahasa Jawa kepada utusannya, “Bali!”, yang artinya ‘pulang’.
Sebelum mereka semua kembali ke Pulau Jawa, sang Petapa menasihati rakyat di pulau itu untuk belajar kesenian dari sang Naga dan tidak tergiur oleh keindahan permata di tubuhnya. Rakyat mematuhi nasihat petapa itu. Mereka belajar menari, memahat kayu, bermain musik, dan mengerjakan berbagai kerajinan tangan. Sampai saat ini, seluruh masyarakat yang tinggal di pulau itu pandai menari, bermain musik, mengukir kayu, dan mengerjakan berbagai kerajinan tangan. Gunung Mesehe kemudian diberi nama Gunung Agung. Sedangkan pulau itu sekarang bernama Pulau Bali.
Sumber: http://indonesianfolktales.com/id/book/asal-usul-nama-pulau-bali/
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja