Cerita Rakyat
Cerita Rakyat
Cerita Rakyat Jawa Timur Jombang
Asal Usul Desa Manduro, Kabupaten Jombang
- 10 Juli 2018
Manduro adalah nama sebuah desa yang berada di wilayah Kecamatan Kabuh, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Asal mula terbentuknya Desa Manduro menurut tradisi oral penduduk setempat adalah dari adanya dua orang pelarian Madura yang kemudian menetap di daerah perbukitan tersebut yang masih berupa hutan. Kemudian kedua pelarian tersebut beranak pinak hingga daerah tersebut berkembang sebagaimana kondisi saat ini. Siapakah kedua pelarian tersebut dan kapan keberadaan pelarian tersebut di Desa Manduro tidak didapatkan informasi yang jelas.
Menurut Warito (Sekretaris Desa Manduro) berdasarkan informasi yang di dapatkan dari ‘Mbah Lurah Sepuh’, berpendapat bahwa kedua pelarian tersebut adalah dari laskar Trunajaya yang kalah perang, dan karena kalah perang malu pulang ke Madura. Akhirnya para pelarian tersebut menetap diperbukitan kapur, karena perbukitan kapur aman untuk tempat pelarian.
Nasrulillahi (Kasi Kebudayaan ) berpendapat bahwa kehadiran orang Madura di Manduro kemungkinan terjadi dalam beberapa gelombang. Gelombang pertama kemungkinannya saat awal mula berdirinya Majapahit. Gelombang selanjutnya saat Pangeran Purbaya membantu Amangkurat II melawan Belanda, dan gelombang-gelombang berikutnya tidak banyak diketahui lagi.2
Imam Ghozali ar (budayawan Kabupaten Jombang) berpendapat ada dua versi yang berkembang di tengah masyarakat Manduro tentang asal usulnya. Kedua versi tersebut meliputi: pertama, laskar Trunajaya sebagai nenek moyangnya, dan kedua, Pangeran Arya Wiraraja nenek moyangnya.3
Merujuk sejarah perkembangan kerajaan- kerajaan Indonesia, bahwa pada sekitar tahun 1700- an tepatnya 1746-1755 adalah masa kontra antara Kerajaan Mataram dalam hal ini adalah Raden Mas Said dan Pangeran Mangkubumi melawan Pemerintahan Belanda yang diakhiri dengan perjanjian Gianti. Pada masa peperangan ini banyak orang Madura yang dikirim untuk membantu Pemerintahan Belanda melawan Kerajaan Mataram.4 Hal ini terjadi setelah Madura dapat dikuasai oleh Belanda pada tahun 1743.
Pengiriman orang Madura pada masa Perang Gianti adalah gelombang pertama kedatangan orang Madura secara resmi ke Jawa masa penjajahan Pemerintahan Belanda di Jawa. Orang Madura yang dikirim ke Jawa pada masa Perang Gianti ini adalah kekuatan militer dari kerajaan- kerajaan yang ada di Madura. Kerajaan-kerajaan Madura memberikan bantuan pada Pemerintah Belanda karena saat kerajaan-kerajaan Madura ingin membebaskan diri dari cengkeraman kekuasaan Kerajaan Mataram mendapat bantuan militer dari Pemerintah Belanda pula.
Keterlibatan pengiriman orang-orang Madura berikutnya saat membantu Belanda melawan Untung Surapati di Jawa Timur tahun 1767 dan pada perang berikutnya tahun 1825-1830 dalam perang Diponegoro yang mencapai wilayah-wilayah antara lain Kertosono6, Madiun, Banyumas, Pekalongan, Tegal, Rembang, Kedu, Pacitan, Purwodadi, Semarang, Yogyakarta, dan Surakarta. Pada masa tersebut sangat mungkin orang-orang Madura setelah perang akhirnya menetap di Jawa. Manduro adalah salah satu tempat yang dituju karena daerah geografi yang sama dengan Madura tempat asalnya.
Jika dirunut lebih ke belakang, tahun 1647- 1677 terjadi pemberontakan Trunajaya seorang bangsawan dari Madura. Melalui daerah Rembang setelah menyisir pantai utara Pulau Jawa dari Madura, Trunajaya bersama pasukannya berhasil menaklukkan Kerajaan Mataram dan memindahkan pusat pemerintahan Kerajaan Mataram di Kediri. Saat Trunajaya dapat ditaklukan tahun 1679, bahwa sangat mungkin orang- orang Madura pengikut Trunajaya melarikan diri daerah-daerah di sekitar Kediri seperti Malang, Kertosono, atau Jombang ketika pusat pemerintahan di Kediri berhasil dikuasai oleh prajurit-prajurit dari Kerajaan Mataram yang dibantu oleh VOC dan Arung Palaka dari Kerajaan Bone, Sulawesi. Maka masuk akal apa yang disampaikan oleh Sekretaris Desa Manduro yang bernama Warito.
Hal menarik lainnya tentang keberadaan orang-orang Madura di Desa Manduro dapat pula dikaitkan dengan sejarah berdirinya Kerajaan Majapahit, bahwa ada disinggung tentang keterlibatan orang-orang Madura yang dipimpin Arya Wiraraja dalam membantu Raden Wijaya membuka tanah baru di Hutan Tarik yang akhirnya menjadi besar, dan berkembang pesat menjadi sebuah kerajaan besar yang disebut Majapahit tahun 1293 Masehi. Dalam sejarahnya Kerajaan Majapahit adalah Kerajaan Hindu terbesar dalam sejarah perkembangan kerajaan-kerajaan di Jawa.
Pertanyaan yang muncul adalah, bilamana Kerajaan Majapahit diperkirakan berdiri di lembah dekat sungai Brantas, maka situs kerajaan diperkirakan berada di wilayah Kabupaten Mojokerto. Kabupaten Mojokerto sendiri berbatasan langsung dengan Kabupaten Jombang.7 Bagaimana mungkin orang-orang Majapahit tinggal di pegunungan-pegunungan seperti keberadaan orang-orang Manduro saat ini?
Alternatif jawaban adalah diperkirakan saat terjadinya penyerangan terhadap Kerajaan Majapahit oleh Demak yang beragama Islam pada tahun 1475, hingga jejak Kerajaan Majapahit menghilang dalam kegelapan sejarah. Rakyat Kerajaan Majapahit menyingkir ke gunung-gunung. Contoh yang dapat dikemukakan adalah masyarakat Tengger yang ada di sekitar Gunung Bromo diduga masih lekat dalam kepercayaan Hindu peninggalan Kerajaan Majapahit. Hal ini bisa pula terjadi dengan orang-orang keturunan Madura yang tentunya telah sangat berkembang jika keberadaannya dimulai sejak awal berdirinya Kerajaan Majapahit, menyingkir ke pegunungan- pegunungan, dan Manduro adalah salah satu tempat yang memungkinkan.
Di Desa Manduro tepatnya di Dusun Gesing bagian Utara masih berupa hutan, terdapat bekas bangunan-bangunan yang hanya tinggal puing- puing batu. Tidak jelas puing-puing tersebut merupakan bangunan apa dan peninggalan masa apa. Peninggalan masa Belanda ataukah bangunan peninggalan masa kerajaan Majapahit mengingat dekat dengan wilayah Mojokerto dan wilayah Jombang. Sampai sekarang belum ada penelitian arkeologi yang dilakukan untuk mengungkap peninggalan-peninggalan tersebut. Tetapi penduduk Manduro menyakininya sebagai peninggalan zaman kerajaan Majapahit dan peninggalan zaman Wali/ Sunan terutama Sunan Geseng.
Gelombang kehadiran orang-orang Madura di Jombang selanjutnya tidak banyak diketahui. Menurut Kuntowijoyo, emigrasi penduduk Madura ke Jawa memang telah menjadi sejarah yang panjang. ” ekologi tegai telah mendorong perpindahan penduduk ke Jawa untuk mencari tanah yang lebih baik dan mencari mata pencaharian….”.
Emigrasi yang tajam terjadi sekitar tahun 1900-1930 dari Madura ke Jawa. Dibukanya perkebunan di Jawa Timur menarik orang Madura untuk menjadi buruh di perkebunan. Akibatnya populasi di Madura mengalami penurunan yang tajam. Sebagaimana dikemukakan Kuntowijoyo mengenai populasi penduduk Madura pada sekitar tahun tersebut ” Penurunan yang tajam terjadi dalam periode antara tahun 1900 hingga 1920, berturut-turut dari 1. 750.511 menjadi 1.738.926. Penduduk kota Sumenep, Bangkalan, Sampang, dan Pamekasan turun tajam sekali dalam dasawarsa antara tahun 1920 hingga 1930 ….”. Lebih lanjut
Kuntowijoyo menguraikan ” bahwa selain migran-migran temporer, sampai tahun 1930 pemukim-pemukim baru orang Madura banyak yang datang dan menetap di Jawa Timur, dan Jombang adalah salah satu tempat tujuan. Hingga tahun 1930 tercatat orang-orang Madura yang menetap di Jombang mencapai 936 jiwa.
Paparan di atas memberikan asumsi, bahwa sangat mungkin keberadaan orang Madura di Desa Manduro yang saat itu masih berupa hutan, berawal dari jatuhnya Kerajaan Majapahit. Asumsi ini didukung ceritera yang berkembang di kalangan penduduk Manduro tentang situs peninggalan Majapahit dan diperkuat dengan cerita tentang Sunan Geseng yang diyakini pernah bertempat tinggal di Manduro. Sunan Geseng adalah salah satu Wali Jawa yang ikut andil menyebarkan agama Islam pada sekitar abad XV. Bila keberadaan awal penduduk Manduro dikaitkan dengan masa perang Trunajaya sangatlah tidak mungkin, karena perang Trunajaya terjadi pada sekitar abad XVII, maka penduduk Manduro tidak akan mempunyai cerita tentang situs Majapahit dan Sunan Geseng.
Daerah yang pertama kali dijadikan tempat tinggal oleh kedua pelarian saat itu diduga dinamakan Dusun Gesing. Hal ini mungkin saja terjadi mengingat di Dusun Gesing banyak peninggalan-peninggalan sejarah yang belum terungkap, juga peninggalan-peninggalan masa penjajahan Belanda.
Nama Dusun Gesing sendiri diambil dari nama Sunan Geseng. Menurut cerita, pada masa hidupnya Sunan Geseng dalam perjalanan penyebaran agama Islam sampai di suatu daerah yang sekarang bernama Gesing. Dibandingkan dusun lainnya, banyak mitos yang berkembang di Dusun Gesing. Antara lain ada tempat yang dikeramatkan yang dinamakan Sendang Weji (gambar 1 dan 2). Dikeramatkan karena dianggap sebagai tempat ‘Nyilem’-nya Sunan Geseng. Bagi penduduk Gesing, Sunan Geseng datang dan menetap di dusun tersebut dan ‘Nyilem’ (menghilang) ke dalam Sendang Weji. Di Sendang Weji menurut penduduk setempat sering terjadi keanehan-keanehan. Keanehan pertama yang pernah terjadi antara lain saat terjadi Gestapu tahun 1965, Sendang Weji ‘nyumber’ darah. Keanehan kedua yaitu saat Indonesia ramai dengan ‘Petrus’ (penembak misterius), permukaan Sendang Weji tertutup ‘rajut’ selama tujuh hari menjelang maraknya kejadian Petrus. Keanehan ketiga yakni di dalam Sendang Weji nampak gambar ‘Gunungan’ saat terjadi pergantian pemerintahan Presiden Megawati kepada Presiden Susilo Bambang Yudoyono.
Demikian pula Sendang Weji dianggap sebagai ‘Yoni’ bagi Dusun Gesing, sehingga setiap acara selamatan desa di Sendang Weji selalu diletakkan ‘tumpeng’ lengkap dengan sajen beserta hasil-hasil panen penduduk Dusun Gesing. Namun ada juga yang berpendapat bahwa daerah yang pertama kali terbentuk adalah Mato’an. Alasannya adalah nama Mato’an selalu dipakai oleh tiga Dusun yang lain seperti Mato’kan Gesing, Mato’an Guwo, dan Mato’an Ndanden.
Asal muasal dusun-dusun yang lain nampaknya juga memiliki cerita-cerita yang unik. Dusun Guwo umpamanya, disebut Dusun Guwo karena tepat di selatan desa ditemukan dinding batu terjal. Menurut sesepuh kampung, di balik batu itu terdapat mulut gua dalam keadaan terkunci (gambar 3). Berdasarkan keyakinan penduduk Manduro hanya satu orang yang sanggup membuka batu besar sebagai pintu goa tersebut. Orang tersebut adalah Kepala Desa Manduro yang sudah almarhum, yakni Pak Saitun. Penduduk Manduro mempercayai bahwa goa tersebut dulunya dipercaya sebagai tempat pertapaan Bung Karno ketika berjuang memerdekakan bangsa Indonesia.
Cerita tentang asal usul Dusun Mato’an lain lagi. Dusun ini diberi nama Mato’an konon berasal dari ‘patokan’ atau tugu. Penduduk setempat meyakini, bahwa pada saat-saat tertentu ‘patokan’ atau tugu tersebut dapat muncul dan menghilang secara tiba-tiba.
Asal usul pemberian nama Desa Manduro tidak ada yang dapat menjelaskan. Ada kemungkinan nama Desa Manduro dulunya adalah Desa Madura, dan disebut Desa Madura karena komunitas penduduk desa tersebut adalah orang Madura. Perubahan nama Madura menjadi Manduro terdapat dua kemungkinan. Kemungkinan pertama adalah, dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai gejala bahasa ‘epentesis’. Epentesis adalah penambahan fonem dalam satu suku kata. Contoh: Upama menjadi Umpama, dan Sadur menjadi Sandur.
Kemungkinan kedua adalah. Idiolek masyarakat setempat. Idiolek adalah sistem ujaran individu. Sistem ujaran individu bila dilakukan oleh banyak orang dalam suatu komunitas masyarakat tertentu, maka akan menjadi ‘dialek’ masyarakat tersebut. Maka sangat mungkin kata Madura diujarkan atau diucapkan Manduro oleh masyarakat Jombang, atau menjadi Meduro oleh kebanyakan masyarakat Surabaya.
Kemungkinan ketiga, bahwa masyarakat Madura pada umumnya amat memuja tokoh wayang yang bernama Baladewa. Baladewa adalah raja dari Kerajaan Manduro. Bisa sangat mungkin nama Desa Manduro terinspirasi nama Kerajaan tokoh wayang Baladewa ini.
 
‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur:
Pertunjukan Sandur Manduro/ Trinil Windrowati; ISI Press, Solo, 2010. hlm. 23-34, (CB-D13/2010-439)
 
Sumber: http://jawatimuran.net/2015/01/19/asal-usul-desa-manduro-kabupaten-jombang/

Diskusi

Silahkan masuk untuk berdiskusi.

Daftar Diskusi

Rekomendasi Entri

Gambar Entri
Dari Rendang Hingga Gudeg: 10 Mahakarya Kuliner Indonesia yang Mengguncang Lidah
Makanan Minuman Makanan Minuman
DKI Jakarta

1. Rendang (Minangkabau) Rendang adalah hidangan daging (umumnya sapi) yang dimasak perlahan dalam santan dan bumbu rempah-rempah yang kaya selama berjam-jam (4–8 jam). Proses memasak yang sangat lama ini membuat santan mengering dan bumbu terserap sempurna ke dalam daging. Hasilnya adalah daging yang sangat empuk, padat, dan dilapisi bumbu hitam kecokelatan yang berminyak. Cita rasanya sangat kompleks: gurih, pedas, dan beraroma kuat. Rendang kering memiliki daya simpan yang panjang. Rendang adalah salah satu hidangan khas Indonesia yang paling terkenal dan diakui dunia. Berasal dari Minangkabau, Sumatera Barat, masakan ini memiliki nilai budaya yang tinggi dan proses memasak yang unik. 1. Asal dan Filosofi Asal: Rendang berasal dari tradisi memasak suku Minangkabau. Secara historis, masakan ini berfungsi sebagai bekal perjalanan jauh karena kemampuannya yang tahan lama berkat proses memasak yang menghilangkan air. Filosofi: Proses memasak rendang yang memakan waktu lama mela...

avatar
Umikulsum
Gambar Entri
Resep Ayam Goreng Bawang Putih Renyah, Gurih Harum Bikin Nagih
Makanan Minuman Makanan Minuman
Jawa Barat

Ayam goreng adalah salah satu menu favorit keluarga yang tidak pernah membosankan. Namun, jika kamu ingin mencoba variasi yang lebih gurih dan harum, ayam goreng bawang putih renyah adalah pilihan yang tepat. Ciri khasnya terletak pada aroma bawang putih yang kuat serta kriukannya yang renyah saat digigit. Resep ini juga sangat mudah dibuat, cocok untuk menu harian maupun ide jualan. Bahan-Bahan Bahan Ayam Ungkep ½ kg ayam (boleh potong kecil agar lebih cepat matang) 5 siung bawang putih 4 siung bawang merah 1 sdt ketumbar bubuk 1 ruas kunyit (opsional untuk warna) Garam secukupnya Kaldu bubuk secukupnya Air ± 400 ml Bahan Kriuk Bawang 5–6 siung bawang putih, cincang halus 3 sdm tepung maizena ¼ sdt garam ¼ sdt lada Minyak banyak untuk menggoreng Cara Membuat Ungkep ayam terlebih dahulu Haluskan bawang putih, bawang merah, kunyit, dan ketumbar. Tumis sebentar hingga harum. Masukkan ayam, aduk rata, lalu tuang air. Tambahkan garam dan kaldu...

avatar
Apitsupriatna
Gambar Entri
Resep Ayam Ungkep Bumbu Kuning Cepat, Praktis untuk Masakan Harian
Makanan Minuman Makanan Minuman
Jawa Barat

Ayam ungkep bumbu kuning adalah salah satu menu rumahan yang paling praktis dibuat. Rasanya gurih, aromanya harum, dan bisa diolah lagi menjadi berbagai hidangan seperti ayam goreng, ayam bakar, hingga pelengkap nasi kuning. Keunggulan lainnya, resep ini termasuk cepat dan cocok untuk kamu yang ingin memasak tanpa ribet namun tetap enak. Berikut resep ayam ungkep bumbu kuning cepat yang bisa kamu coba di rumah. Bahan-Bahan ½ kg ayam, potong sesuai selera 4 siung bawang putih 5 siung bawang merah 1 ruas kunyit 1 ruas jahe 1 ruas lengkuas (geprek) 2 lembar daun salam 2 lembar daun jeruk 1 batang serai (geprek) 1 sdt ketumbar bubuk (opsional) Garam secukupnya Kaldu bubuk secukupnya Air ± 400–500 ml Minyak sedikit untuk menumis Cara Membuat Haluskan bumbu Blender atau ulek bawang merah, bawang putih, kunyit, jahe, dan ketumbar bubuk (jika dipakai). Semakin halus bumbunya, semakin meresap ke ayam. Tumis bumbu hingga harum Panaskan sedikit m...

avatar
Apitsupriatna
Gambar Entri
Konsep Ikan Keramat Sebagai Konservasi Lokal Air Bersih Kawasan Goa Ngerong Tuban
Cerita Rakyat Cerita Rakyat
Jawa Timur

Sumber daya air merupakan sebuah unsur esensial dalam mendukung keberlangsungan kehidupan di bumi. Ketersediaan air dengan kualitas baik dan jumlah yang cukup menjadi faktor utama keseimbangan ekosistem serta kesejahteraan manusia. Namun, pada era modern saat ini, dunia menghadapi krisis air yang semakin mengkhawatirkan (Sari et al., 2024). Berkurangnya ketersediaan air disebabkan oleh berbagai faktor global seperti pemanasan, degradasi lingkungan, dan pertumbuhan penduduk yang pesat. Kondisi tersebut menuntut adanya langkah-langkah strategis dalam pengelolaan air dengan memperhatikan berbagai faktor yang tidak hanya teknis, tetapi juga memperhatikan sosial dan budaya masyarakat. Salah satu langkah yang relevan adalah konservasi air berbasis kearifan lokal. Langkah strategis ini memprioritaskan nilai-nilai budaya masyarakat sebagai dasar dalam menjaga sumber daya air. Salah satu wilayah yang mengimplementasikan konservasi berbasis kearifan lokal yaitu Goa Ngerong di kecamatan Rengel,...

avatar
Muhammad Rofiul Alim
Gambar Entri
Upacara Kelahiran di Nias
Ritual Ritual
Sumatera Utara

Kelahiran seorang anak yang dinantikan tentu membuat seorang ibu serta keluarga menjadi bahagia karena dapat bertemu dengan buah hatinya, terutama bagi ibu (melahirkan anak pertama). Tetapi tidak sedikit pula ibu yang mengalami stress yang bersamaan dengan rasa bahagia itu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan tentang makna dari pra-kelahiran seseorang dalam adat Nias khusunya di Nias Barat, Kecamatan Lahomi Desa Tigaserangkai, dan menjelaskan tentang proses kelahiran anak mulai dari memberikan nama famanoro ono khora sibaya. Metode pelaksanaan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode observasi dan metode wawancara dengan pendekatan deskriptif. pendekatan deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan fakta sosial dan memberikan keterangan yang jelas mengenai Pra-Kelahiran dalam adat Nias. Adapun hasil dalam pembahasan ini adalah pra-kelahiran, pada waktu melahirkan anak,Pemberian Nama (Famatorõ Tõi), acara famangõrõ ono khõ zibaya (Mengantar anak ke rumah paman),...

avatar
Admin Budaya