Tersebutlah seorang ulama dari Negeri Arab bernama Syekh Muhidin. Ia dikirim dari Negeri Arab ke Negeri Jawa untuk menyebarluaskan agama Islam, dengan menaiki perahu, tibalah Syekh Muhidin di Bulakan, daerah Cisalak, Pulau Jawa. Ketika ia tiba bersamaan dengan tibanya waktu Dhuhur. Syekh Muhidin lalu mengerjakan salat.
Tanpa disadari Syekh Muhidin, empat puluh penduduk Bulakan memperhatikan gerak-geriknya. Sembahyang yang dilakukan Syekh Muhidin membuat mereka keheranan. Namun mereka hanya memperhatikan saja.
Setelah mengerjakan salat, Syekh Muhidin lantas meninggalkan daerah itu. Tas bawaannya tertinggal. Empat puluh penduduk Bulakan lalu mendatangi tas itu. Mereka tertarik untuk mengetahui isi tas orang asing itu. Ketika mereka membukanya, mereka mendapati biji-bijian tanaman di dalamnya. Mereka lantas menyebarkan biji-bijian itu. Keajaiban pun terjadi. Seketika biji- bijian itu disebarkan di tanah, tumbuhlah pohon- pohon. Cepat sekali pohon-pohon itu tumbuh hingga dalam waktu sekejap itu pohon-pohon itu telah berbuah.
Tidak ada seorang pun penduduk Bulakan itu yang mengetahui pohon apakah yang cepat tumbuh dan berbuah itu. Mereka tidak berani memakan buah-buah dari aneka pohon itu dan bahkan tidak tahu bagaimana cara memakannya. Empat puluh penduduk Bulakan itu lantas bersepakat mencari orang asing itu untuk bertanya perihal buah-buah aneh itu. Syekh Muhidin mereka temukan di tepi laut di daerah Cikonang.
“Maaf,” salah seorang penduduk Bulakan itu bertanya, “Siapakah Tuan ini?”
“Nama saya Syekh Muhidin. Saya berasal dari Negeri Arab. Kedatangan saya ke daerah ini untuk menyebarluaskan agama Islam,” jawab Syekh Muhidin.
Penduduk Bulakan itu lantas menjelaskan adanya bibit-bibit tanaman yang terdapat di dalam tas Syekh Muhidin yang telah mereka sebarkan hingga menjadi aneka pohon yang telah berbuah. “Pohon apakah itu dan bagaimana cara memakan buahnya?”
Syekh Muhidin bersedia menjawab pertanyaan itu asalkan para penduduk Bulakan itu bersedia masuk agama Islam. Empat puluh penduduk Bulakan itu menyatakan kesediaannya untuk memeluk agama Islam. Syekh Muhidin lantas mengislamkan mereka dan menjadikan mereka selaku murid-muridnya. Syekh Muhidin menjelaskan aneka pohon berikut cara memakannya.
Syekh Muhidin lantas mengajak murid- muridnya itu untuk mendirikan masjid. Dengan bekerja keras dan bergotong royong, masjid itu pun akhirnya berdiri. Masjid itu berbentuk panggung. Dindingnya terbuat dari kayu dan bambu, sementara atapnya terbuat dari daun kirai.
Di masjid itu Syekh Muhidin mengajarkan agama Islam kepada murid-muridnya. Mereka juga melaksanakan salat berjama’ah, termasuk melaksanakan salat Jum’at.
Ketika hendak melaksanakan salat Jum’at itulah Syekh Muhidin mendadak ingin buang air kecil. Ia lantas buang air kecil di dalam batok kelapa. Diletakkannya batok kelapa beriSi air seninya itu di atas balai bambu. Ia lalu kembali ke dalam masjid setelah berwudhu.
Ketika Syekh Muhidin memimpin salat Jum’at, seekor babi hutan betina lewat di tempat balai bambu dan kemudian meminum air seni Syekh Muhidin. Terperanjatlah Syekh Muhidin ketika mendapati batok kelapa tempatnya menyimpan air seninya itu telah kosong seusai melaksanakan salat Jum’at.
Waktu terus berlalu. Sembilan bulan kemudian telah terlewati. Ketika salat Jum’at selesai dilaksanakan, mendadak Syekh Muhidin dan jama’ah masjid mendengar tangis bayi. Mereka bergegas mencari dan menemukan bayi itu berada di kolong masjid di bagian pengimaman. Kegemparan pun terjadi, mereka bertanya-tanya perihal bayi perempuan siapakah yang berada di kolong masjid itu?
Anak-anak yang tengah bermain di depan masjid lantas bercerita, bahwa bayi perempuan itu diletakkan oleh seekor babi hutan di bawah kolong masjid. Orang-orang akhirnya mengambil bayi itu dan merawatnya bersama secara bergiliran. Dalam perawatan orang-orang, bayi itu terus tumbuh membesar hingga ia bisa merangkak kemudian. Orang-orang tetap penasaran, siapa sesungguhnya ayah dari anak perempuan tersebut. Juga perihal nama yang paling pantas untuk Si anak perempuan. Mereka lantas mengungkapkannya kepada Syekh Muhidin.
Syekh Muhidin menyarankan agar masing- masing mereka membuat berbagai jenis kue. Katanya, “Kue siapa yang pertama kali dimakan anak itu akan menjadi ayahnya. Ia berhak pula memberinya nama.”
Segenap murid Syekh Muhidin menyetujui saran Syekh Muhidin.
Segenap murid Syekh Muhidin lantas membuat aneka kue. Masing-masing kue buatan mereka berbeda-beda, baikjenis, bahan, maupun warnanya. Masing-masing membuat kue semenarik mungkin untuk menarik perhatian anak perempuan kecil itu. Masing-masing dari mereka ingin menjadi ayah angkat anak perempuan itu. Berbeda dengan sekalian muridnya, Syekh Muhidin membuat kue dari dedak halus. Tidak pula dibuatnya semenarik mungkin agar terpilih Si anak perempuan. Tampaknya, Syekh Muhidin tidak berminat menjadi ayah angkat anak perempuan itu. Masing-masing kue dijajarkan dan Si anak perempuan yang baru bisa merangkak itu diminta untuk memilih. Sangat mengejutkan, Si anak perempuan ternyata memilih kue buatan Syekh Muhidin.
Syekh Muhidin akhirnya menyadari, Si anak perempuan itu sebenarnya anaknya. Ia bermula dari air seni yang ditampungnya di dalam batok kelapa yang diminum babi hutan betina. Syekh Muhidin lantas memberi nama anak itu Nyi Hartati.
Beberapa tahun kemudian terlewati. Syekh Muhidin tetap mengajarkan ajaran agama Islam kepada empat puluh muridnya itu. Ia juga mendidik Nyi Hartati agar menjadi anak salehah. Hingga suatu hari ia mengundang seluruh muridnya dan menyatakan hendak kembali ke Negeri Arab. Ia berpesan kepada seluruh muridnya itu untuk tetap menjalankan ajaran agama Islam seperti yang telah diajarkannya. Ia juga menitipkan Nyi Hartati kepada mereka, “Didik dan asuhlah anakku itu dengan sebaik-baiknya. Jadikan ia seorang yang taat pada ajaran Islam.”
Selesai berpesan, Syekh Muhidin lantas meninggalkan Nyi Hartati dan empat puluh muridnya itu. Kepulangannya ke Negeri Arab diiringi keharuan dan kesedihan Nyi Hartati dan empat puluh muridnya.
Waktu kembali berlalu. Nyi Hartati telah tumbuh menjadi seorang gadis yang amat jelita parasnya. Serasa tak terbilang banyaknya pemuda yang mengimpikan dapat menyuntingnya.
Syahdan pada suatu hari orang-orang menemukan sebuah jamur yang tumbuh di kolong masjid. Jamur yang aneh. Tidak hanya bentuknya yang besar, batangnya juga terlihat sangat kokoh. Beberapa orang mencoba mencabut, namun jamur besar itu tetap tidak tercabut. Orang-orang menjadi penasaran. Mereka mencoba menebang batang jamur tersebut. Namun, jamur itu tetap utuh tanpa terluka sedikit pun. Pisau, golok, pedang, dan aneka senjata tajam lainnya tidak mampu menciderainya meski ditebaskan sekuat tenaga dan berulang-ulang.
Orang-orang menjadi keheranan dan juga cemas. Menurut mereka, jika jamur itu terus tumbuh membesar niscaya akan merobohkan masjid. Seketika terbayang mereka pada Syekh Muhidin, mereka pun segera menghubungi Nyi Hartati. Mereka jelaskan perihal tumbuhnya jamur aneh di tempat Nyi Hartati dahulu diketemukan ketika masih bayi.
“Jika kita biarkan, jamur itu akan terus membesar dan bisa jadi masjid kita akan roboh jika jamur itu telah tumbuh membesar. Oleh karena itu, tolonglah Nyi, barangkali jamur aneh itu akan tercabut jika engkau yang mencabutnya,” pinta mereka.
Nyi Hartati lantas menuju kolong masjid untuk melihat jamur aneh yang diributkan murid-murid ayahandanya itu. Setelah mengamati, Nyi Hartati pun berujar, “Aku bersedia mencabut jamur itu asalkan kalian membuatkan aku sebuah perahu.”
Empat puluh murid Syekh Muhidin itu lantas bekerja sama bahu-membahu membuat perahu yang diminta Nyi Hartati. Tak berapa lama perahu itu pun telah jadi. Kebetulan hari itu hari Jum’at. Selesai membuat perahu, empat puluh murid Syekh Muhidin itu lalu melaksanakan salat Jum’at. Ketika mereka melaksanakan salat Jum’at itulah Nyi Hartati mencabut jamur aneh. Sangat mengherankan, jamur itu sangat mudah dicabut Nyi Hartati.
Keanehan pun terjadi. Seketika jamur itu dicabut Nyi Hartati, dari tempat tumbuhnya jamur itu mendadak memancar air yang sangat deras. Begitu derasnya air yang memancar tersebut hingga daerah itu langsung terbenam. Masjid berikut empat puluh murid Syekh Muhidin tenggelam.
Daerah itu pun berubah menjadi sebuah danau. Orang-orang pun menyebutnya Rawa danau. Adapun empat puluh murid Syekh Muhidin kemudian menjelma menjadi buaya-buaya yang diyakini masyarakat menjadi penunggu Rawa danau.
KITA HENDAKNYA MEMERCAYAI SEPENUHNYA TAKDIR YANG TELAH DITETAPKAN TUHAN. BETAPA PUN KITA BERUSAHA MENGHINDAR, NISCAYA TAKDIR TUHAN AKAN TETAP TERJADI PADA DIRI KITA.
Sumber: https://dongengceritaanak.com/category/cerita-rakyat/banten/
BAHAN-BAHAN 1 ikat kangkung bumbu halus : 5 siung bawang merah 2 siung bawang putih 2 butir kemiri 1 sdt ketumbar bubuk seruas kencur aromatic : 2 lembar daun salam 2 lembar daun jeruk 1 btg sereh seruas lengkuas,geprek seasoning : 1 sdt garam (sesuai selera) 1/2 sdt kaldu bubuk 1/2 sdm gula jawa sisir 1 sdt gula pasir Rose Brand 1 bungkus santan cair instan Rose Brand 1 liter air 3 sdm minyak goreng untuk menumis CARA MEMASAK: Siangi kangkung cuci bersih,tiriskan Haluskan bumbu Tumis bumbu halus hingga harum dengan secukupnya minyak goreng,masukkan aromatic,masak hingga layu,beri air 1 lt Masukkan kangkung,beri seasoning,aduk rata Koreksi rasa Sajikan Sumber: https://cookpad.com/id/resep/25030546?ref=search&search_term=kangkung
Bahan: 1 buah tomat, potong dadu 2 ekor ikan tongkol ukuran sedang (1/2kg) 1/2 bks bumbu marinasi bubuk 1 sdt bawang putih Secukupnya garam Secukupnya gula 7 siung bawang merah, iris 5 buah cabe rawit, iris 2 batang sereh, ambil bagian putihnya, iris 3 lembar daun jeruk, iris tipis-tipis 1 bks terasi ABC Minyak untuk menumis Secukupnya air Cara memasak: Cuci bersih ikan tongkol. Taburi bumbu marinasi desaku, garam secukupnya, air 2 sdm ke ikan tongkol. Siapkan bahan-bahan. Iris tipis bawang merah, daun jeruk, seret, cabe rawit. Kukus ikan tongkol selama 10 menit. Lapisi dengan daun pisang atau daun kunyit. Boleh jg tidak d lapisi. Setelah ikan di kukus, goreng ikan. Tumis bawang merah dan bahan lainnya. Masukkan terasi yg telah dihancurkan. Setelah matang, masukkan ikan yang telah digoreng. Aduk hingga rata. Sajikan dengan nasi hangat. Sumber: https://cookpad.com/id/resep/24995999?ref=search&search_term=dabu+dabu
Bahan-bahan Porsi 2 orang Bumbu Ikan bakar : 2 ekor ikan peda 1 sdm kecap 1/2 sdm Gula merah 1/2 sdt garam Minyak goreng Bahan sambal dabu-dabu : 7 buah cabe rawit merah, iris kecil 1 buah tomat merah, iris dadu 3 siung bawang merah,iris halus 2 lembar daun jeruk, buang tulang tengah daun, iris tipis 2 sdm minyak goreng panas Cara Membuat: Marinasi ikan dengan air perasan jeruk nipis dan garam secukupnya, diamkan 20 menit, kemudian panggang diatas teflon(aku di happycall yang dialasi daun pisang) sesekali olesi minyak plus bumbu ke ikannya(aku pakai bumbu kecap dan gula merah) panggang sampai matang. Cara bikin Sambal dabu-dabu : Campurkan semua bahan sambal dabu-dabu ke dalam mangkok kecuali minyak kelapa, panaskan minyak kelapa, kemudian siram diatas sambal tadi, sajikan ikan peda bakar dengan sambal dabu-dabu. Sumber: https://cookpad.com/id/resep/15232544?ref=search&search_term=peda+bakar
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...