Pada abad ke 16, hiduplah dua orang pengembara yang sangat sakti akan mandra-guna dan memiliki kelebihan masing-masing, mereka juga merupakan 2 orang bersaudara yang amat dekat dan saling menjaga satu sama lain. Raden Soponyono, sang kakak yang mampu berjalan laksana hembusan angin pada musim kemarau dan Raden Jotruno sang adik yang sanggup berjalan di atas air tanpa memerlukan perahu. Tetapi, mereka berkepribadian berbeda, sang kakak memiliki sifat yang teguh, ambisius, dan tidak mau kalah. Di sisi lain, sang adik berkepribadian lembut, ramah, dan dermawan. Banyak orang lebih mengenal sang adik dibandingkan sang kakak dan lebih menyukai keramah-tamahannya.
Suatu hari, masyarakat dihebohkan oleh berita kejadian alam luar biasa mengenai sungai bengawan solo yang berpindah dari timur ke barat. Penduduk desa berlomba-lomba menuju ke sungai tersebut demi menjawab rasa keingintahuan mereka, tak terkecuali kedua pengembara ini, segera setelah berita tersebut sampai di telinga mereka, diangkatlah perbekalan sebagai tanda dimulainya pengembaraan selanjutnya. Raden Soponyono dan Raden Jotruno merasa sangat bersemangat dan rasa keingintahuanpun meguasai mereka. Segeralah mereka bergegas menuju sungai bengawan solo untuk membuktikannya. Di tengah perjalanan, beberapa penduduk menyapa Raden Jotruno. Beberapa dari mereka juga membicarakan kesaktian sang bungsu ini hingga tidak sengaja terdengar oleh sang kakak. “Mereka bahkan tidak menyapaku, jelas-jelas aku adalah kakaknya, pengalamanku jauh lebih banyak” batin Raden Soponyono.
Setelah beberapa hari perjalanan, tibalah mereka di tempat tujuan yang dibicarakan banyak orang, tepi sungai bengawan solo. Raden Soponyono mengajak Raden Jotruno untuk melihat dari dekat.
“Wahai adikku, kejadian alam luar biasa yang dibicarakan oleh banyak orang itu tidak akan terlihat dengan jelas manakala kita tidak melihatnya dari seberang sungai bengawan solo ini.”
“Wahai kakakku, alangkah lebih terhormatnya jika sang kakak menyebrang terlebih dahulu,jadi kakak silahkan menyebrang terlebih dahulu, nanti adinda akan menyusul.”
Raden Soponyono pun mengiyakan dan mulai berjalan secepat angin melewati bebatuan sungai yang tampak dan menjadi jembatan baginya. Setelah sampai di tepian bagian barat bengawan solo, ia mulai memanggil sang adik, dan Raden Jotruno mulai menyebrang sungai ini. Bedanya, ia tidak menggunakan alat apapun dan secara langsung berjalan begitu saja di atas air. Raden Soponyono merasa tertandingi dan tersaingi. Rasa ingin selalu menang itu muncul lagi, ia kemudian teringat bahwa bajunya masih tertinggal di seberang dan ia meminta sang adik untuk mengambilkannya, sebagai akibat dari perasaan itu, Raden Soponyono dengan sengaja meniupkan angin untuk menerbangkan pakaiannya agar tersangkut di atas pohon jati, walaupun begitu Raden Jotruno tetap berusaha mengambilkan pakaian tersebut untuk sang kakak yang ia sayangi setulus hati. Ia menggunakan kesaktiannya kembali, kali ini ia menggunakan kemampuannya dengan menundukkan pohon tempat pakaian tersebut tersangkut agar ia lebih mudah mengambilnya. Raden Soponyono terkesima dibuatnya, akhirnya ia menyadari bahwa tidak seharusnya ia merasa selalu ingin menang dari sang adik tercinta. Ia menyadari bahwa memang benar apa yang dikatakan orang-orang tentang adiknya.Itulah mengapa adiknya lebih dikenal banyak orang dibandingkan dirinya. Raden Soponyono akhirnya mengambil keputusan mutlak, ia memutuskan pamit dan pergi mengembara sendiri tanpa adiknya untuk bertapa di sebuah telaga hingga muksa.
Raden Jotruno merasa kaget bukan kepalang dengan keputusan sang kakak. Ia mencoba mencegah sang kakak pergi, namun apa daya Raden Soponyono tetap bersikeras untuk pergi. Kesedihan meluapi perasaan Raden Jotruno, ia merasa sangat kehilangan akan sosok kakak tercinta yang selama ini telah banyak mengajarkannya banyak hal.Saat itu juga, dengan emosi yang tak tertahankan ia mulai berteriak
“Perpisahanku dengan saudaraku adalah karena pakaian yang tersangkut di pohon jati, maka untuk tetap mengingatkanku pada kejadian ini dan kakakku, Raden Soponyono tempat ini kunamakan SLEMBI”
Sejak saat itu, penduduk sekitar menggunakan nama Slembi sebagai nama daerah tersebut. Slembi sendiri berasal dari singkatan Slempitan (bahasa Jawa yang artinya kaitan) dan Klambi (bahasa Jawa yang artinya pakaian) yang jika digabungkan berarti pakaian yang dikaitkan. Daerah Slembi ini menjadi cikal bakal Desa Mayangrejo, kecamatan Kalitidu, Bojonegoro, dan masyarakat sekitar masih mengenal cerita rakyat ini sampai sekarang.
Dari cerita ini, berbagai pesan kehidupan terkandung dan menunggu untuk kita terapkan.Cerita ini mengajarkan saya pribadi untuk dapat menyadari bahwa kita harus selalu berhubungan baik dengan kakak atau saudara kita yang lain karena merekalah yang akan selalu menemani kehidupan kita.Sayajuga belajar untuk dapat lebih bersyukur terhadap apapun yang kita punya sebagai pemberian dari Tuhan Yang Maha Esa. Juga, kita harus bisa seperti pepatah yang berkata “Jadilah seperti padi yang semakin berisi semakin merunduk” yang berarti, dalam masyarakat kita sudah seharusnya juga bersikap rendah hati dan tidak membeda-bedakan siapapun, seperti halnya pepatah “di atas langit masih terdapat langit yang lain” yang berarti kita tidak dapat menyombongkan apapun dari kita karena sesungguhnya masih terdapat orang lain yang lebih baik kemampuannya dibandingkan kita.
Sumber: https://litamarinanisa.wordpress.com/2015/05/14/asal-mula-nama-daerah-slembi-desa-mayangrejo-bojonegoro/
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja