Matahari tenggelam berganti malam gelap. Puluhan warga berkumpul di balai adat desa Kambiyain Kecamatan Tebing Tinggi, Kabupaten Balangan, Kalimantan Selatan. Para bapak, ibu, pemuda, pemudi hingga anak-anak duduk bersila. Berbagai ornamen hiasan terpampang. Itulah bentuk upacara adat Aruh Mahanyari, sebuah ritual yang rutin dilakukan masyarakat adat Dayak Pitap, ucapan wujud terimakasih pada sang pencipta atas panen yang melimpah.
Alunan musik kendang dan kelimpat dimainkan beberapa orang. Para perempuan sahut menyahut menyanyikan tembang bahasa Dayak. Suasananya amat magis.
Di tengah balai adat terdapat area khusus, yang disebut langgatan. Ia berupa sebuah kotak berhiaskan janur dari daun kelapa dan mayang pinang. Di sisinya terdapat bunga merah dan daun kandarasa yang sekilas menyerupai daun bawang, serta kembang babaung, sejenis daun kemangi. Di bawah langgatan, beberapa bambu berisi lamang dari beras ketan dipasang melingkar.
Tak lama, musik kendang dan kelimpat berhenti mengalun. Para ibu serempak membagikan makanan pada para tamu yang hadir. Acara makan malam dimulai. Semua berbarengan, seolah tanpa sekat. Lepas makan bersama, suara tetabuhan kembali terdengar. seorang tokoh adat kemudian memberikan petuah dalam bahasa Dayak meratus.
Lepas tokoh adat itu memberikan wejangan, beberapa lelaki melakukan tarian balian mengelilingi langgatan. Suara tetabuhan gendang kembali mengalun mengiringi tarian yang dianggap sakral. Beberapa menit setelahnya, giliran para perempuan menari bangsai, berlenggok dengan kain selendang di pinggang.
Lalu para tokoh adat maju ke depan langgatan. Masyarakat memanggil mereka dengan sebutan balian. Mantra-mantra diucapkan oleh para balian yang jumlahnya belasan. Suara musik kendang terus mengalun. Beberapa diantara para balian itu juga membawa gelang hiang yang terbuat dari tembaga. Gelang dibenturkan sambil mengelilingi langgatan menghasilkan bunyi cring… cring..cring… beradu hentakan musik gendang.
Acara Aruh Mahanyari di Desa Kambiyain diselenggarakan selama penuh dua hari. Selama acara, para balian silih berganti membacakan mantra-mantra persembahan kepada sang pencipta dan alam semesta.
Di hari kedua, lamang dalam bambu yang dipasang berjejer di bawah langgatan dibagikan kepada hadirin. Pantang bagi mereka untuk mencicipi lamang tersebut, sebelum diperbolehkan oleh para balian. Malam harinya, ritual terus dilakukan. Puluhan piring berisi beras, sayuran, darah ayam dan lainnya terhidang di depan langgatan. Para balian berkeliling langgatan, sambil menari-nari membacakan mantra.
Penentuan tanggal penyelenggaraan Aruh ada hitung-hitungannya tersendiri. Berdasarkan tanda-tanda alam. Tak ada kalender khusus untuk penentuan penyelenggaraan Aruh Mahanyari atau pun ritual yang lainnya. Pengetahuan untuk penentuan waktu yang tepat guna penyelenggaraan Aruh sudah diwariskan secara turun menurun.
Meski selama Aruh Mahanyari ada warga yang belum selesai panen, sesuai hukum adat, sebelum ritual selesai, hasil panen tak boleh dikonsumsi dulu. Setelah Aruh Mahanyari selesai, padi dibawa ke rumah dan disimpan dalam tempat khusus. Padi yang disimpan bahkan bisa tahan sampai puluhan tahun.
Pada saat ritual Aruh Mahanyari usai, para warga yang hadir pun akan diberikan sekantung beras yang berasal dari hasil panen. Warga tak bisa menolak beras hasil pemberian tersebut.
Setelah acara Aruh Mahanyari digelar, keesokan harinya warga tak akan melakukan aktivitas di ladang, juga tak diperbolehkan membunuh satwa, menebang pohon. Berhubungan badan dengan suami atau istri pun juga tak boleh. Dalam kepercayaan mereka, bekerja setelah melakukan acara ritual tersebut dilarang, atau pamali.
sumber : http://www.mongabay.co.id/2017/06/23/aruh-mahanyari-ritual-ucapan-syukur-hasil-panen-berlimpah-dayak-pitap/
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja