Nama permainan diambil dari nama nyanyian yang dinyanyikan pemain secara bergantian saat bermain. Saat zaman penjajahan, permainan ali oma telah dimainkan anak-anak di Pekanbaru dan sekitarnya yang disebut dengan "main sembunyi- sembunyian", selelah merdeka nama permainan berubah menjadi ali oma sesuai dengan lagu pengiring permainan.
Permainan ini dilakukan anak-anak laki-laki dan perempuan berjumlah 5 sampai 20 orang, berusia 7 sampai 12 tahun oleh seluruh lapisan masyarakat.
Bila anak-anak laki-laki dan perempuan berkumpul 5 orang alau lebih bersepakat untuk bermain ali oma mereka meneari tempat bermain yaitu lapangan yang agak luas, terdapat tembok atau pohon kayu yang agak besar untuk digunakan sebagai benteng dalam permainan, di sekitarnya terdapat tempat persembunyian seperti semak-semak yang tidak berbahaya. Kemudian mereka melakukan undian untuk menentukan siapa yang "jadi" dan "penyuruk".
Undian dilakukan dengan cara "lambung uang" yaitu semua pemain menelentangkan dan menelungkupkan tangannya masing-masing secara serentak, dalam posisi berhadap-hadapan. Mula-mula semua pemain menelungkupkan tangannya dengan saling menindih, kemudian secara serentak semua mengangkat tangan dan masing-masing saling membuka atau menutup telapak tangannya, dan dilakukan penghitungan tangan yang menutup dan yang membuka. Jumlah yang paling sedikit dinyatakan pemenang.
Dengan cara di atas yang kalah melakukan lambung uang kembali sampai jumlah yang kalah menjadi 2 orang dan dilanjutkan dengan sut. Dari hasil undian lambung uang, 1 orang dinyatakan sebagai yang kalah berperan sebagai "jadi" yaitu pencari dan peserta lainnya berperan sebagai "penyuruk" yaitu yang dicari. Pencari (jadi) menutup muka dengan menghadap ke benteng dan yang dicari (penyuruk) pergi untuk bersembunyi. Mereka menyanyikan Ali oma secara bersahut-sahutan antara pencari dan yang dicari sebagai berikut:
Pencari/Jadi: Ali oma, Kaki pincang, Ro apa, Kon apa, Bing apa, Kak apa, Dok apa, Lah apa, Ci apa, Na apa, Si apa, Ta apa, Li ap,a Pan apa, Dan apa
Yang Dicari/Penyuruk: Ambio, Mata kero, Rokan, Kambing, Bing kok, Kodok, Dolah, Cina, Nasi, Si ta, Tali, Lipan, Pandan, Dandut, lico-lico
Sampai pada bait terakhir maka pencari (jadi) sudah dapat melakukan pencarian. Bila ada penyuruk yang dapat, pencari menyebut nomor penemunya satu-per satu. Nomer penemuan syah bila benteng dalam keadaan aman atau benteng tidak diserang pemain lainnya, dan nomor yang disebut duduk dekat benteng sebelum pemain lainnya ditemukan seluruhnya.
Setelah penyuruk dapat semua mereka, maka penyuruk baris berbanjar satu-per satu menghadap benteng, pencari akan menebak baris keberapa yang pertama ditemuinya. Jika benar maka yang ditebak berganti menjadi pencari (jadi) dan bila salah maka permainan diulangi kembali dengan cara seperti di atas. Kalah- menang dalam permainan ini hanya terletak pada siapa yang mencari ialah yang kalah (tidak ada perhitungan point). Demikian permainan ini dilakukan sampai mereka sepakat untuk menghentikan permainan karena bosan atau lelah.
Sumber: http://kebudayaanindonesia.net/kebudayaan/1218/permainan-ali-oma
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja