Pada saat Prabu Brawijaya bertahta di Kerajaan Majapahit, di daerah Jawa Tengah tumbuh kerajaan baru di Demak yang bercorak Islam. Kerajaan Demak ini semakin lama semakin besar dan pengaruh agama Islam meluas hingga ke pusat kerajaan Majapahit. Hal ini menyebabkan kekuasaan Kerajaan Majapahit menjadi terdesak dan memaksa orang-orang yang tidak mau diislamkan melarikan diri dari kraton. Salah satu kelompok yang melarikan diri adalah kelompok Prabu Brawijaya dan Permaisurinya beserta beberapa pengawalnya. Dalam kelompok ini Sang Prabu juga membawa anjing kesayangannya yang berwarna hitam. Kelompok kecil ini melarikan diri menyusuri pantai selatan Pulau Jawa, ke arah barat, hingga sampai di daerah Gunung Kidul. Agar pelariannya tidak diketahui oleh siapa pun, lebih-lebih oleh pasukan Kerajaan Demak, maka Prabu Brawijaya dan Permaisuri menyamar sebagai rakyat jelata. Pada suatu ketika, Sang Prabu dan Permaisuri menemukan sebuah goa, di tepi Sungai Maja. Setelah masuk ke dalam goa, Sang Prabu merasa bahwa goa tersebut sangat cocok untuk tempat bersembunyi, karena tempatnya terpencil dan di dalamnya memiliki sebuah sendang (sumber air, danau kecil). Sendang ini oleh Prabu Brawijaya dinamakan Sendang Tuban. Setelah beberapa lama, Sang Prabu pindah ke goa lain yang letaknya tidak jauh dari Sendang Tuban. Pada suatu hari, seorang pencari kayu melihat anjing hitam kesayangan Prabu Brawijaya. Setelah diikuti, ternyata si anjing masuk ke dalam goa. Berita tentang keberadaan anjing hitam segera ia sampaikan kepada penduduk lainnya di sekitar hutan itu. Keesokan harinya, penduduk secara beramai-ramai menuju goa untuk menangkap anjing hitam itu. Setelah berhasil menggiring anjing hitam itu masuk ke dalam goa, mereka kemudian mengikutinya. Namun ketika berada di dalam, anjing itu tidak dijumpai, hanya sebuah sendang, yang airnya melimpah dan sangat jernih. Sendang itu oleh mereka dinamakan Sendang Sureng. Dari Sendang Sureng itu, menyusuri pantai selatan, berjalan ke arah barat. Pada suatu ketika, sampailah mereka di sebuah desa yang bernama Gebang Sawar. Saat itu ada salah satu penduduk desa yang sedang mempunyai hajat dengan menanggap wayang. Sang Prabu dan Permaisurinya yang telah lama tidak menyaksikan hiburan, menyempatkan diri untuk melihat pertunjukan wayang tersebut. Namun, setelah segala perlengkapan yang diperlukan sudah siap, sang dalang tidak datang karena mendadak sakit. Hal ini tentu saja membuat orang yang punya hajat itu menjadi bingung dan cemas. Mengetahui penyebab yang mencemaskan tuan rumah, Prabu Brawijaya mendekatinya, dan menyampaikan kesediaannya untuk membantu menggantikan dalang dalam pertunjukan yang akan digelar. Orang yang nanggap wayang itu semula ragu-ragu. Namun, karena dalang yang ditunggu tidak datang, akhirnya terpaksa menerima tawaran orang yang belum dikenal itu. Pagelaran wayang dimulai dengan dalang Prabu Brawijaya yang menyamar. Para tamu undangan dan semua orang yang menyaksikan pementasan wayang itu sangat terpesona dan kagum menyaksikan kemahirannya. Pesindennya, yang diperankan oleh Permaisuri, juga bagus dan suaranya sangat merdu. Selesai mendalang, sang prabu dan permaisuri berusaha cepat-cepat meninggalkan tempat itu. Oleh tuan rumah mereka ditahan agar mau makan-minum, tetapi sang Prabu tidak mau. Beberapa saat setelah Ki Dalang dan isterinya pergi, berceritalah si tuan rumah kepada isterinya tentang keanehan Ki Dalang. Sang istri pun menanyakan siapa nama Ki Dalang yang telah memberi pertolongan. Menyadari belum tahu nama Ki Dalang yang sebenarnya, maka tuan rumah segera bergegas menyusul Ki Dalang untuk menanyakan nama dan menyampaikan terima kasih. Namun, setelah berkeliling mencari hingga ke batas desa, akhirnya ia kembali ke rumahnya karena Ki Dalang dan sindennya sudah tidak tampak lagi. Perjalanan Prabu Brawijaya dari Desa Gebang Sawar diteruskan menuju ke arah barat laut. Saat berada di tengah hutan, beristirahatlah mereka karena merasa sangat lelah akibat mendalang semalaman. Tak lama kemudian suami-isteri itu pun tidur pulas. Pada waktu terjaga dari tidurnya, tahulah Sang Prabu dan Permaisuri, bahwa yang dipergunakan untuk bantal hanyalah sebongkah batu. Meskipun bantalnya hanya batu, tetapi ternyata mereka dapat tidur dengan nyenyak. Sejak itu, maka hutan tempat Prabu Brawijaya tertidur pulas itu lalu dinamakan �Alas Bantal Watu� atau Hutan Bantal Batu. Dari hutan itu, Sang Prabu melanjutkan perjalanan ke arah tenggara, hingga sampai di sebuah pantai yang sekarang dikenal dengan nama Kukup. Dari Pantai Kukup Sang Prabu Brawijaya dan Sang Permaisuri lalu melanjutkan perjalanannya berkelana hingga akhirnya mereka berdua mangkat dengan �muksa� (hilang tanpa bekas). Ada pula yang mengatakan, bahwa Sang Prabu sampai di Gunung Kawi, dan mengganti namanya menjadi Kyai Jugo atau Mbah Jugo.
Sumber: http://navigasi-budaya.jogjaprov.go.id/heritage/cerita-rakyat/462#
Kelahiran seorang anak yang dinantikan tentu membuat seorang ibu serta keluarga menjadi bahagia karena dapat bertemu dengan buah hatinya, terutama bagi ibu (melahirkan anak pertama). Tetapi tidak sedikit pula ibu yang mengalami stress yang bersamaan dengan rasa bahagia itu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan tentang makna dari pra-kelahiran seseorang dalam adat Nias khusunya di Nias Barat, Kecamatan Lahomi Desa Tigaserangkai, dan menjelaskan tentang proses kelahiran anak mulai dari memberikan nama famanoro ono khora sibaya. Metode pelaksanaan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode observasi dan metode wawancara dengan pendekatan deskriptif. pendekatan deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan fakta sosial dan memberikan keterangan yang jelas mengenai Pra-Kelahiran dalam adat Nias. Adapun hasil dalam pembahasan ini adalah pra-kelahiran, pada waktu melahirkan anak, Pemberian Nama (Famatorõ Tõi), acara famangõrõ ono khõ zibaya (Mengantar anak ke rumah paman)...
Prajurit pemanah dari komunitas pemanah berkuda indonesia (KPBI) mengikuti Festival Keraton Nusantara 2017. mewakili kesultanan kasepuhan cirebon. PAKAIAN: terdiri dari ikat kepala/ totopong khas sunda jenis mahkuta wangsa. kain sembongb berwarnaungu di ikat di pinggang bersamaan dengan senjata tajam seperti golok dan pisau lalu baju & celana pangsi sunda. dengan baju corak ukiran batik khas sunda di bagian dada. untuk alas kaki sebagian besar memakai sendal gunung, namun juga ada yang memakai sepatu berkuda. BUSUR: sebagian besar memakai busur dengan model bentuk turkis dan ada juga memakai busur model bentuk korea. ANAK PANAH: Semua nya memakai anak panah bahan natural seperti bambu tonkin, kayu mapple & kayu spruce QUIVER (TEMPAT ANAK PANAH): Semua pemanah menggunakan quiver jenis backside quiver atau hip quiver . yaitu quiver yang anak panah di pasang di pinggang dan apabila anak panah di pasang di dalam quiver , nock anak panah menghadap ke belaka...
Prajurit pemanah dari komunitas pemanah berkuda indonesia (KPBI) mengikuti Festival Keraton Nusantara 2017. mewakili kesultanan kasepuhan cirebon. PAKAIAN : terdiri dari ikat kepala/ totopong khas sunda jenis mahkuta wangsa. kain sembong berwarna ungu di ikat di pinggang bersamaan dengan senjata tajam seperti golok ataupun pisau lalu baju & celana pangsi sunda. dengan baju corak ukiran batik khas sunda di bagian dada. untuk alas kaki sebagian besar memakai sendal gunung, namun juga ada yang memakai sepatu berkuda. BUSUR : sebagian besar memakai busur dengan model bentuk turkis dan ada juga memakai busur model bentuk korea. ANAK PANAH : Semua nya memakai anak panah bahan natural seperti bambu tonkin, kayu mapple & kayu spruce QUIVER (TEMPAT ANAK PANAH): Semua pemanah menggunakan quiver jenis backside quiver atau hip quiver . yaitu quiver yang anak panah di pasang di pinggang dan apabila anak panah di pasang di dalam quiver , nock anak panah menghad...
aksi pertunjukan pusaka dan pasukan kesultanan kacirebonan dari balaikota cirebon sampai ke keraton kacirebonan
Para pasukan penjaga keraton Sumedang larang