Aek Sipitu Dai atau Air Tujuh Rasa sudah menjadi lokasi wisata yang cukup ternama di Kabupaten Samosir, Sumatera Utara. Bagaimana tidak, tujuh pancur dari mata air ini bisa mengeluarkan air dengan rasa yang berbeda-beda.
Entah apakah ada pendapat yang masuk akal untuk menjelaskan fenomena tersebut, namun yang jelas ada dua cerita yang melatarbelakangi lahirnya Air Tujuh Rasa.
Menurut Ompung Bona br Sihotang, yang rumahnya persis di depan Aek Sipitu Dai, sumber air ini sudah ada sejak zaman dulu. Cerita berawal saat Ompung Langgat Limbong, generasi ke dua dari Marga Limbong, sedang kehausan dan pergi mencari air.
"Namun dia ini tak kunjung mendapatkan mata air untuk diminum. Ia lalu berhenti persis di lokasi mata air yang ada saat ini,” cerita Ompung Bona br Sihotang kepada batakgaul.com di rumahnya, belum lama ini.

Aek Sipitu Dai, Samosir/simon siregar
Dalam kehausan dan kelelahannya, Ompung Langgat Limbong lalu berdoa. Selanjutnya dia lalu menancapkan tongkatnya ke tanah, namun air tak juga keluar. Dia kemudian melakukan hal itu berkali-kali hingga tujuh kali, namun usahanya tak kunjung membuahkan hasil.
Dia kemudian menengadah ke atas dan berdoa meminta air. Tak lama, ke tujuh lobang bekas tancapan tongkatnya langsung mengeluarkan air.
"Itulah awal mula air tujuh rasa ini," ujar Ompung Bona Br Sihotang menjelaskan asal muasal mata air tersebut.
Namun cerita ini berbeda dari kisah yang disampaikan oleh Santun Sagala (39), petugas Pariwisata Samosir yang menjaga cagar budaya ini. Menurutnya, mata air yang berada persis di kaki bukit Pusuk Buhit ini adalah karya alam.
Sagala menyebut jika air tersebut pertama kali ditemukan oleh Siboru Pareme, generasi ke tiga dari silsilah Si Raja Batak.
Lalu bagaimana ceritanya?
Si Raja Batak sendiri memiliki dua keturunan, yakni Guru Tatea Bulan dan Raja Isumbaon. Oleh Si Raja Batak, Pusuk Buhit yang juga diyakini tempat lahirnya Si Raja Batak, dibagi Pusuk Buhit menjadi dua bagian.
Satu bagian menjadi milik Raja Tatea Bulan, termasuk lokasi Aek Sipitu Dai, sedangkan sebagian lagi menjadi milik Raja Isumbaon.
Kemudian, Raja Tatea Bulan memiliki 10 keturunan. Kelima putranya bernama Siraja Uti, Saribu Raja, Limbong Mulana, Sagala Raja dan Silau Raja. Sedangkan lima putrinya bernama Sibiding Laut, Siboru Pareme, Pinta Haumasan, Pungga Haumasan dan Nantinjo.

Saribu Raja dan Siboru Pareme diyakini adalah saudara kembar. Semasa hidupnya, Saribu Raja sendiri diyakini adalah seorang seorang seniman.
Melihat pekerjaan saudaranya yang terbilang santai dan hanya duduk di satu tempat, maka Si Boru Pareme selalu menjadi pelayannya, menyediakan makanan dan minumannya.
Karena kedekatan itu, kedua saudara kembar ini diyakini melakukan hubungan incest hingga Si Boru Pareme hamil.
Lalu bagaimana setelah hamil?
Si Boru Pareme kemudian menyuruh anaknya pergi ke Pusuk Buhit untuk mencari paribannya (putri paman) untuk dijadikan istrinya. Saat itu, Si Boru Pareme mengatakan kepada anaknya, bahwa di Pusuk Buhit ada air yang memiliki tujuh rasa.
Di Air Tujuh Rasa itulah anaknya akan menemukan paribannya yang kelak akan menjadi istrinya. Bahkan saat itu, ibunya memberikan cincin kepeda Si Raja Lontung. Cincin itulah yang disebut sebagai tanda pengenal kepada paribannya nanti.
Kepada anaknya, Si Boru Pareme berpesan, jika ia menemukan wanita di Aek Sipitu Dai, dan cincin yang diberikan cocok ke jari manis wanita itu, maka itulah paribannya yang kelak kemudian menjadi istrinya.
Mendengar pesan dan nasihat ibunya, Si Raja Lontong lalu berangkat ke Pusuk Buhit mencari Aek Sipitu Dai yang ia maksud. Setelah menemukan Aek Sipitu Dai itu, Siraja Lontung mendapati wanita yang membelakanginya di sana.
Siapa wanita itu?
Kepada si wanita itu, Si Raja Lontung berkata bahwa ia sedang mencari paribannya dan memberikan cincin itu sebagai pertanda. Wanita itu lalu menerima cincin itu dan memakainya.
Dan Benar saja, cincin itu ternyata cocok dengan wanita tersebut. Namun setelah wanita itu membalikkan tubuh dan menatapnya, dia kaget karena ternyata wanita itu adalah ibunya sendiri, Si Boru Pareme.
Si Boru Pareme lalu menceritakan soal masa lalunya kepada anaknya, namun karena anaknya tidak memiliki pariban, ia takut anaknya tidak akan menikah. Karena itu dia memerintahkan anaknya untuk mencari paribannya dan memberikan cincinnya sebagai penanda.
Sejak itulah, Si Raja Lontung akhirnya mempersunting ibunya dan mereka memiliki tujuh keturunan yakni Sinaga, Situmorang, Pandiangan, Aritonang, Simatupang, Nainggolan dan Siregar yang kemudian terus berketurunan hingga saat ini nama ketujuh keturunannya menjadi marga dalam silsilah batak.
Oleh Siraja Lontung, mata air tempat pertemuannya dengan ibu yang kemudian menjadi istrinya itu dibagi menjadi 7 pancuran yang peruntukannya berbeda-beda.
Apa saja peruntukannya?
"Jadi mata air ini adalah karya alam. Namun mata air ini menjadi sejarah pertemuan antara Si Raja Lontung dengan ibunya, yakni Si Boru Pareme yang kemudian menjadi istrinya,” ujar Sagala.
“Dari keturunan mereka juga lahir sebagian marga-marga batak yang ada saat ini," imbuhnya Santun menutup cerita tengang filosofi Aek Sipitu Dai.
sumber:http://batakgaul.com/danau-toba/aek-sipitu-dai-cerita-tentang-kehausan-dan-pencarian-pariban-1197-5.html
Kelahiran seorang anak yang dinantikan tentu membuat seorang ibu serta keluarga menjadi bahagia karena dapat bertemu dengan buah hatinya, terutama bagi ibu (melahirkan anak pertama). Tetapi tidak sedikit pula ibu yang mengalami stress yang bersamaan dengan rasa bahagia itu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan tentang makna dari pra-kelahiran seseorang dalam adat Nias khusunya di Nias Barat, Kecamatan Lahomi Desa Tigaserangkai, dan menjelaskan tentang proses kelahiran anak mulai dari memberikan nama famanoro ono khora sibaya. Metode pelaksanaan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode observasi dan metode wawancara dengan pendekatan deskriptif. pendekatan deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan fakta sosial dan memberikan keterangan yang jelas mengenai Pra-Kelahiran dalam adat Nias. Adapun hasil dalam pembahasan ini adalah pra-kelahiran, pada waktu melahirkan anak,Pemberian Nama (Famatorõ Tõi), acara famangõrõ ono khõ zibaya (Mengantar anak ke rumah paman),...
Prajurit pemanah dari komunitas pemanah berkuda indonesia (KPBI) mengikuti Festival Keraton Nusantara 2017. mewakili kesultanan kasepuhan cirebon. PAKAIAN: terdiri dari ikat kepala/ totopong khas sunda jenis mahkuta wangsa. kain sembongb berwarnaungu di ikat di pinggang bersamaan dengan senjata tajam seperti golok dan pisau lalu baju & celana pangsi sunda. dengan baju corak ukiran batik khas sunda di bagian dada. untuk alas kaki sebagian besar memakai sendal gunung, namun juga ada yang memakai sepatu berkuda. BUSUR: sebagian besar memakai busur dengan model bentuk turkis dan ada juga memakai busur model bentuk korea. ANAK PANAH: Semua nya memakai anak panah bahan natural seperti bambu tonkin, kayu mapple & kayu spruce QUIVER (TEMPAT ANAK PANAH): Semua pemanah menggunakan quiver jenis backside quiver atau hip quiver . yaitu quiver yang anak panah di pasang di pinggang dan apabila anak panah di pasang di dalam quiver , nock anak panah menghadap ke belaka...
aksi pertunjukan pusaka dan pasukan kesultanan kacirebonan dari balaikota cirebon sampai ke keraton kacirebonan
Para pasukan penjaga keraton Sumedang larang