Sang Prabu Erlangga kebingungan, sejak tadi ia berjalan mondar-mandir di ruangannya. Patih Narottama yang berdiri di dekatnya, juga tampak terlihat kebingungan. Kerajaan Kahuripan saat ini tengah diserang penyakit aneh, Penyakit itu banyak sekali memakan korban jiwa baik dari masyarakat umum maupun keluarga pejabat dan keluarga kerajaan. Ternyata, penyakit itu disebarkan oleh seorang wanita penyihir yang sangat kejam dan sakti. Namanya Serat Asih, tapi ia lebih dikenal dengan nama Colon Arang. Ia tinggal di Desa Girah.
Karena khawatir penyakit itu akan semakin meluas, Raja Erlangga mengutus Patih Narottama untuk menangkap Colon Arang. Setelah menerima perintah tersebut, Patih Narottama mengumpulkan para prajurit pilihannya. "Wahai, para prajuritku. Mari kita berangkat ke Desa Girah untuk menangkap wanita penyihir itu," perintah Patih Narottama.
Mereka kemudian memulai perjalanan ke Desa Girah, menuju tempat tinggal Colon Arang.
Colon Arang terkejut melihat kedatangan para prajurit kerajaan. Ia segera mengumpulkan empat murid terbaiknya yang bernama Supala, Guritna, Datyeng, don Pitrah untuk melawan mereka. Pertempuran sengit pun tak terelakkan. Colon Arang berhadapan sendiri dengan Patih Narottama.
"Ha... ha... ha... pria tua sepertimu mana bisa mengalahkan aku," ejek Colon Arang. Hati Patih Narottama panas mendengar ejekan itu. Ia segera menghunus pedangnya dan menebas leher Colon Arang hingga putus.
Namun kejadian aneh terjadi! Setiap kali kepala Colon Arang putus terkena tebasan pedang Patih Narottama, kepala itu dengan mudah bersatu kembali ke tubuhnya. Calon Arang terus tertawa mengejek, semakin lama suara tawanya semakin mengerikan.
Patih Narottama menarik mundur pasukannya. Ia sadar, mereka tak mungkin mengalahkan Colon Arang saat itu juga. Ia pun menghadap Raja Erlangga dan menceritakan apa yang terjadi. "Hmm... pasti ia punya rahasia. Tidak mungkin ia tak bisa dikalahkan, tapi kita harus tahu apa rahasia kesaktiannya," gumam Raja Erlangga.
"Mungkin sebaiknya kita minta pendapat Empu Bharada? Ia adalah adik ipar Colon Arang, barangkali ia tahu apa yang harus kita lakukan," jawab Patih Narottama.
Empu Bharada dipanggil ke istana. Setelah Raja Erlangga dan Patih Narottama menceritakan masalah yang mereka hadapi, ia berpikir dengan keras. "Baiklah Baginda, hamba akan mencari jalan keluarnya. Semoga kali ini kita berhasil mengalahkannya," kata Empu Bharada.
Empu Bharada kembali ke rumahnya dan memanggil muridnya yang bernama Bahula. "Bahula, Baginda memintaku untuk mencaritahu rahasia Colon Arang. Karena itu, aku memerlukan bantuanmu," katanya pada Bahula. "Jika ini untuk kepentingan rakyat, saya bersedia membantu Empu. Bagaimana caranya?" jawab Bahula.
Empu Bharada meminta Bahula menikahi anak perempuan Colon Arang yang bernama Ratna Manggali. "Jika kau menikah dengannya, kau akan mudah melaksanakan tugas ini. Aku tahu semua rahasia Colon Arang ada di kitab pusakanya. Carilah kitab itu dan berikan padaku," jelas Empu Bharada.
Awalnya Bahula tampak ragu, ia memikirkan kekasihnya Wedawati, yang tak lain adalah anak perempuan Empu Bharada.
Empu Bharada mengetahui kegundahan hati Bahula. "Jangan khawatir, Wedawati tak akan tahu. Aku memintamu melakukan ini demi keselamatan rakyat kita," tegas Empu Bharada. Bahula pun mengangguk setuju.
Bahula segera melakukan perjalanan ke Desa Girah. Di sana, ia segera mencari rumah Colon Arang dan menyatakan maksudnya untuk menikahi Ratna Manggali. Melihat paras Bahula yang tampan serta tingkah lakunya yang sopan, Colon Arang pun menerima lamarannya. Ia ingin membuat pesta pernikahan yang meriah untuk Ratna Manggali dan Bahula.
Setelah resmi menjadi suami-istri, pengantin baru itu tinggal di rumah mertuanya.
Pada suatu malam, Bahula melaksanakan tugasnya. Setelah yakin keadaan aman, ia mengendap-endap memasuki kamar Calon Arang. Begitu membuka lemari, matanya terpaku pada sebuah kotak kayu berwarna cokelat.
"Pasti ia menyimpan kitab pusakanya disini," bisiknya dalam hati.
Bahula segera mengambil kotak kayu itu dan meninggalkan rumah. Ia Iari di kegelapan malam, menuju rumah Empu Bharada, gurunya.
Keesokan harinya, Colon Arang terkejut bukan main melihat kotak kayunya telah raib. Ia mencari Bahula, tapi tak ditemukannya. Ia berprasangka, pasti Bahula yang mencuri kotak kayu itu. Sementara itu, Bahula telah mengerahkan kotak kayu itu pada Empu Bharada. Empu Bharada segera membukanya dan mencari kitab pusaka. "Ah, ini dia. Semua rahasia kekuatan sihir Colon Arang pasti ada pada kitab ini," teriak Empu Bharada senang. Ia langsung mempelajari isi kitab itu dengan saksama. Bahula menunggu dengan sabar.
"Bahula, menurut kitab ini, Calon Arang hanga dapat dikalahkan dengan Keris Weling Putih," kata Empu Bharada. "Bukankah keris itu milik Empu sendiri?" tanya Bahula bingung. Sambil tersengum, Empu Bharada menjawab "Ya, kau benar. Berarti aku bisa membunuh Calon Arang dengan mudah.
Empu Bharada mengambil keris Weling Putihnga, dan bersiap-siap mengadakan perjalanan ke Desa Girah. Bahula mengikutinga dengan setia. Di sana, Calon Arang rupanga sudah menunggu Bahula.
"Bahula, segera kembalikan kitab pusakaku yang kau curi! Berani sekali kau menipuku dan putriku, rasakan pembalasanku!" kata Colon Arang sambil menyerang Bahula.
Bahula berkelit, Empu Bharada segera menghadang langkah Colon Arang. "Kong Ayu, kau telah menyusahkan seluruh rakyat Kahuripan. Raja telah memerintahkan kami untuk membunuhmu supaya pengaruh sihirmu lenyap untuk selama-lamanya," kata Empu Bharada.
"Ha... ha... kau hendak melawan kakak iparmu sendiri? Silakan saja jika kau mampu," jawab Colon Arang. Dengan cepat ia menyerang Empu Bharada, namun Empu Bharada tak kalah sigap. Keris Weling Putih dicabutnya dari pinggangnya untuk menangkis serangan sihir Colon Arang.
Colon Arang terkejut melihat keris itu. "Ampun Dimas, jangan kau bunuh aku dengan keris itu," teriaknya mengiba.
"Kong Ayu, maafkan aku. Aku harus membunuhmu, jika tidak, rakyat akan semakin menderita," jawab Empu Bharada sambil menghujamkan keris itu ke tubuh Colon Arang. Colon Arang meninggal seketika. Saat itu juga, segala penyakit yang menyerang rakyat Kerajaan Kahuripan lenyap tak berbekas. Rakyat kembali hidup berbahagia dan aman sentosa.
Pesan moral: Keris Weling Putih untukmu adalah Kejahatan akan selalu menuai hukuman. Jadi, lakukanlah kebaikan pada teman dan orangtuamu. Kemampuan yang kita miliki hendaknya digunakan untuk kebaikan dan menolong sesama.
Referensi:
Vila Van Resink adalah bangunan cagar budaya berbentuk vila yang terletak di Jalan Siaga, Kalurahan Hargobinangun, Kapanewon Pakem, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Pemilik awal vila ini adalah Gertrudes Johannes "Han" Resink, seorang anggota Stuw-groep , sebuah organisasi aktif pada Perang Dunia II yang memperjuangkan kemerdekaan dan pembentukan negara demokratis Hindia Belanda. Bangunan tersebut dibangun pada masa pemerintah Hindia Belanda sebagai bagian dari station hill (tempat tetirah pada musim panas yang berada di pegunungan) untuk boschwezen dienst (pejabat kehutanan Belanda). Pada era Hamengkubuwana VII, kepengelolaan Kaliurang (dalam hal ini termasuk bangunan-bangunan yang berada di wilayah tersebut) diserahkan kepada saudaranya yang bernama Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Mangkubumi. Tanah tersebut lantas dimanfaatkan untuk perkebunan nila, tetapi kegiatan itu terhenti kemudian hari karena adanya reorganisasi pertanian dan ekonomi di Vors...
Gereja Kristen Jawa (GKJ) Pakem Kertodadi adalah salah satu gereja di bawah naungan sinode Gereja Kristen Jawa, yang terletak di Jalan Kaliurang km. 18,5, Padukuhan Kertadadi, Kalurahan Pakembinangun, Kapanewon Pakem, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Awal mula pertumbuhan jemaat gereja ini berkaitan dengan keberadaan Rumah Sakit Paru-Paru Pakem, cabang dari Rumah Sakit Petronela (Tulung), yang didirikan di wilayah Hargobinangun. Sebelum tahun 1945, kegiatan keagamaan umat Kristen diadakan secara sederhana dalam bentuk renungan atau kebaktian pagi yang berlangsung di klinik maupun apotek rumah sakit yang dikenal dengan nama "Loteng". Para perawat di rumah sakit tersebut juga melakukan pelayanan kesehatan ke dusun-dusun di sekitarnya, yaitu Tanen, Sidorejo, Purworejo, dan Banteng. Menurut Notula Rapat Gerejawi, jemaat gereja ini mengadakan penetapan majelis yang pertama kali pada 21 April 1945. Tanggal tersebut lantas disepakati sebagai hari jadi GKJ Pa...
Situs Cepet Pakem adalah situs arkeologi yang terletak di Padukuhan Cepet, Kalurahan Purwobinangun, Kapanewon Pakem, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Berdasarkan temuan dua buah yoni dan sejumlah komponen arsitektur candi di sekitarnya, situs ini diduga merupakan reruntuhan sebuah candi Hindu dari masa klasik. Lokasinya kini berada di area permakaman umum Padukuhan Cepet, berdekatan dengan sebuah masjid. Benda cagar budaya (BCB) utama yang ditemukan di situs ini adalah dua buah yoni yang terbuat dari batu andesit. Kondisi keduanya telah rusak, sedangkan lingganya tidak ditemukan. Yoni pertama awalnya berada di pekarangan penduduk bernama Pujodiyono, tetapi sekarang dipindahkan di halaman makam. Yoni ini memiliki ukuran relatif besar dengan bentuk yang sederhana, yaitu lebar 134 sentimeter, tebal 115 sentimeter, dan tinggi 88 sentimeter. Bagian bawah cerat yoni tersebut tidak bermotif dan memberikan kesan bahwa pengerjaannya belum selesai. Sementara itu, terdap...
Situs Potro atau Pancuran Buto Potro adalah situs arkeologi yang terletak di Padukuhan Potro, Kalurahan Purwobinangun, Kapanewon Pakem, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Situs ini terdiri atas dua benda cagar budaya (BCB) utama yang seluruhnya terbuat dari batu andesit, yaitu jaladwara dan peripih. Jaladwara di situs ini oleh masyarakat setempat dikenal dengan nama Pancuran Buto, karena bentuknya menyerupai kepala raksasa (kala) dengan mulut terbuka, gigi bertaring, dan ukirannya menyerupai naga. Sementara itu, keberadaan peripih berukuran cukup besar di situs ini menimbulkan dugaan bahwa pernah berdiri sebuah bangunan keagamaan di sekitar lokasi, kemungkinan sebuah candi, meskipun bentuk dan coraknya tidak dapat dipastikan karena minimnya artefak yang tersisa.
Resep Sambal Matah Bahan-bahan: Bawang Merah Cabai Rawit Daun Jeruk Sereh Secukupnya garam Minyak panas Pembuatan: Cincang bawang merah, cabai rawit, daun jeruk, dan juga sereh Campur semua bahan yang sudah dicincang dalam satu wadah Tambahkan garam secukupnya atau sesuai selera Masukkan minyak panas Aduk semuanya Sambal matah siap dinikmati