|
|
|
|
5_Tengku Syiah Kudam Tanggal 19 May 2018 oleh Sobat Budaya. |
Pada zaman dahulu ada seorang raja yang sangat luas kekuasaannya. Pada waktu memerintah usianya telah lanjut. Raja itu memiliki seorang anak laki-laki yang telah dewasa. Raja besar itu menginginkan kelak anaknya menggantikannya sebagai raja yang besar pula. Anak Raja itu sejak kecil diajar berbagai ilmu pengetahuan. Guru-guru dan ahli didatangkan ke istana untuk mengajar putra mahkota itu berbagai ilmu. Ilmu perang, ilmu tata negara, ilmu perbintangan, ilmu hukum, ilmu perdagangan dan lain-lain. Setelah beranjak dewasa diketahui putra itu paling menguasai ilmu perdagangan.
“Ananda lebih pantas menjadi seorang saudagar!” kata guru kepala kepada Raja.
“Apa, anakku pantas menjadi pedagang, mengapa begitu?”
“Sebab Ananda mudah sekali memahami dan menguasai seluk beluk berdagang, lain dengan ilmu perang atau tata negara. Ananda susah memahami dan menangkap maksudnya. Oleh sebab itu, lebih baik Ananda menjadi sudagar saja!”
Usai mengadakan pertemuan dengan guru kepala, Raja segera memanggil putra mahkotanya.
“Menurut pertimbanganku lebih baik Ananda menjadi saudagar dagang saja, tak usah memegang pemerintahan negeri!”
“Jika itu titah Ayahanda, hamba akan menurut!”
“Namun, kau tidak kuizinkan berlayar sendirian. Harus ada seseorang yang menemanimu. Seperdua kekayaan negara akan kuserahkan untuk modal kalian berdua. Orang yang akan mendampingimu kupilih dengan syarat orang itu kuat makan garam sebanyak satu liter. Carilah orang itu. Jika sudah kau temukan akan kuizinkan kau berlayar mengarungi samudra!” kata Raja.
Setelah mendengar perintah ayahnya, putra mahkota segera ke luar istana, berjalan ke kedai-kedai, pasar, dan tempat-tempat yang ramai, menghubungi teman-temannya mungkin ada yang memenuhi syarat seperti yang disebutkan Raja.
“Ayahanda Raja akan memberikan separuh kekayaan negara untuk modal berdagang mendampingiku. Dengan syarat orang itu harus bisa makan garam sebanyak satu liter! Bagaimana? Siapa yang sanggup maka ialah bakal temanku berdagang!” kata putra mahkota di antara kerumunan orang banyak.
Setelah mendengar kabar itu, pemuda-pemuda yang gagah dan kuat-kuat, semuanya datang ke tempat Raja. Mereka beramai-ramai ingin menjadi teman dagang anak raja.
Raja telah menyiapkan sebuah gelanggang untuk menguji satu per satu pemuda yang akan dijadikan teman dagang putra mahkota. Gelanggang dikelilingi para penonton. Mereka berbondong-bondong menyaksikan pengujian itu. Raja meletakkan garam yang telah ditimbang sebanyak satu liter kemudian diletakkan di tengah-tengah arena. Seorang punggawa segera memanggil peserta pertama. Seorang pemuda tinggi besar yang kuat. Laki-laki itu segera memasuki gelanggang lalu mengambil garam itu lalu dimakannya.
“Masak hanya garam segini. Aku yakin bisa!” katanya dengan nada sombong. Para penonton bersorak sorai. Pemuda itu segera melahap dengan rakus garam itu.
Belum habis seperempat liter, pemuda itu muntah-muntah. Penonton bersorak-sorai mengejek pemuda itu. Peserta yang lain segera dipanggil. Belum mendapat separuh liter juga muntah-muntah. Singkatnya pada hari itu tak ada pemuda yang sanggup menghabiskan garam itu. Begitu pula dengan hari yang kedua. Pemuda-pemuda gagah datang dari pelosok negeri, ingin mendaftarkan diri menjadi teman dagang si anak raja. namun, belum juga didapati orang yang memenuhi syarat.
Anak raja itu menjadi sedih. Hasratnya untuk berdagang mengarungi samudra dan menyinggahi negeri-negeri nun jauh kian menggebu-gebu, “Jikalau tidak kutemukan temanku, niscaya akan urung keinginanku!” katanya dengan sedih.
Anak raja itu meninggalkan istana, berjalan dari kedai ke kedai, dari kampung ke kampung hingga akhirnya sampailah di tepi pantai. Laki-laki itu merenung-renung sambil memandang lautan lepas. Sesekali dilihatnya perahu besar berlayar di kejauhan, membangkitkan semangat dagangnya. Ketika sedang melamun itu tiba-tiba tak jauh dari tempatnya ada seorang laki-laki tua sedang menatap laut, berteduh di bawah pohon cemara. Laki-laki itu bernama Teungku Syiah Kudam. Bajunya kumal bercat air bakau, demikian juga celananya. Karena anak raja melihatnya, laki-laki itu lalu berjalan mendekati putra mahkota.
“Hai anak muda, mengapa ada di sini? Akan pergi ke mana?”
“Saya disuruh ayahanda Raja untuk mencari teman berdagang. Sungguh susah syarat yang diinginkan. Susah saya mencarinya. Sudah beberapa pemuda diuji namun tak ada yang berhasil memenuhi syarat!” jawab putra mahkota dengan sedih.
“Syarat apa yang harus dipenuhi itu?”
“Orang itu harus sanggup makan garam sebanyak satu liter.”
“Oh, itu syaratya! Kalau begitu, boleh saya mencobanya?”
“Apakah benar Bapak sanggup?”
“Akan saya coba.”
Mereka meninggalkan pinggiran laut itu, berjalan melewati kampung-kampung, akhirnya sampailah di kota. Raja telah menunggu kedatangan putra mahkotanya. Setelah menghadap Raja bertanya kepada putranya, “Sudahkah kau temukan orangnya?”
“Sudah Ayah, inilah orangnya!” jawab putra mahkota sambil menunjuk Teungku.
Raja menatap laki-laki tua itu. Dilihatnya usianya sudah lanjut.
“Mungkin orang ini memang mampu,” pikirnya.
Raja segera mengambil garam yang sudah ditakar lalu diletakkan di depan Teungku.
“Cobalah ini, jika kau mampu menghabiskan maka kaulah yang akan menemani anakku!”
Teungku segera mengambilnya. Mula-mula seujung jarinya. Setelah itu dia keluar istana, “Sebentar lagi Tuanku, hamba akan datang dan memakannya lagi,”
Selama sehari itu Teungku datang sampai lima kali hingga habislah garam itu sedikit demi sedikit.
“Sebenarnya jika hanya satu liter masih sangat kurang. Sama dengan hidup kita ini, sudah banyak makan garam, bukan hanya satu liter. Mungkin berpuluh-puluh goni sudah kita habiskan. Makanya, satu liter sedikit sekali untuk setiap orang!”
“Cerdas sekali orang tua ini!” pikir Raja.
“Ya, benar sudah yang kau katakan. Sahlah Teungku menjadi teman dagang anakku.”
Berita tentang laki-laki tua yang mampu menghabiskan seliter garam mulai tersebar di seluruh kerajaan. Mereka berbondong-bondong ingin melihat rupa orang yang mampu menghabiskan garam itu. Mereka terheran-heran karena pemenangnya adalah orang yang sudah tua.
Raja memenuhi janjinya. Anaknya diberi modal separuh harta negara untuk berdagang bersama Teungku Syiah Kudam. Mereka mencari barang dagangan yang ada di Aceh. Setelah terkumpul aneka macam barang dagangan, berlayarlah mereka mengarungi samudra, singgah dari satu negeri ke negeri-negeri yang lain selama berbulan-bulan.
Sesampainya di sebuah negeri, mereka berdua membuka sebuah toko. Lambat laun berubah menjadi pedagang besar kaya raya. Berkat bimbingan Teungku, usaha dagangnya menjadi besar. Toko yang dibangun meliputi dua tingkat, dengan barang-barang beraneka ragam. Semakin hari bertambah banyak orang yang mencari barang atau menjualnya di toko itu. Mereka bekerjasama layaknya bapak dan anak.
Suatu hari Teungku berangkat keluar kota karena ada urusan dagang yang harus ditangani. Sebelum berangkat Teungku menyampaikan wasiat kepada anaknya, “Aku akan segera berangkat. Jagalah toko kita. Bila kamu naik ke atas loteng jangan sekali-kali melihat ke kiri. Ini wasiat dan harus kau jalankan!”
“Ya Ayah!”
Setelah Teungku meninggalkan toko, anak raja itu menduga-duda apa yang telah diwasiatkan Teungku, “Mengapa sebabnya aku tidak boleh melihat ke kiri!” Hal itu selalu mengganggu pikirannya sekaligus menarik hatinya.
Anak raja itu menaiki loteng. Rasa penasaran tak terbendung lagi, “Aku harus melihatnya!”
Ketika sampai di atas loteng, dia langsung melihat ke kiri. Anak itu terpana melihat seorang putri yang sangat cantik sedang berdiri di depan jendela. Mereka bertemu pandang. Anak raja itu langsung jatuh cinta. Setelah perempuan itu lenyap, anak raja turun kembali menunggu kedatangan Teungku.
“Maaf Bapak, saya telah naik ke atas loteng, saya melihat seorang putri yang sangat cantik, “ katanya.
“Bukankah sudah kukatakan kamu tidak boleh melihat ke kiri sebagaimana yang saya wasiatkan.”
“Sudah takdir Ta ‘ala saya melihatnya. Saya jatuh cinta kepadanya. Tidak boleh tidak saya harus memilikinya. Akan saya jadikan sebagai istri.”
“Bahaya besar anakku. Janganlah kamu meginginkan putri itu. Jika ada putri yang lain aku sanggup memberimu restu, tapi jangan putri itu!” kata Teungku.
“Tidak bisa Ayah. Jika bukan dia jodoh saya lebih baik saya mati. Sebagai mas kawinnya, semua modal pun boleh.”
Anak Raja itu mendesak-desak Teungku supaya diizinkan melamar putri itu. Akhirnya Teungku meluluskan permintaannya.
“Ya, apa boleh buat, sudah sembilan puluh sembilan anak Raja meninggal karena kawin dengan putri itu. Apakah engkau ingin menjadi genapnya supaya menjadi seratus?”
“Biarlah saya mati asal bersanding dengan putri itu!”
“Apa boleh buat. Baiklah aku akan memberimu restu.”
Akhirnya Teungku datang menghadap orang tua putri itu. Mereka menyetujui karena anak raja cukup tekun dan ulet berdagang.
Mereka segera dikawinkan. Hati anak raja sangat bahagia karena bisa bersanding dengan putri impiannya. Telah sembilan puluh sembilan laki-laki yang mati karena kawin dengan perempuan itu.
“Jangan sampai hal itu terjadi dengan anakku. Aku harus berjaga-jaga supaya anakku selamat!” kata Teungku siap berjaga-jga. Orang tua itu sudah mengetahui penyebab kematian suami-suami putri itu yang terdahulu.
Ketika putri sedang beradu dengan anak raja, Teungku diam-diam berjaga-jaga di dalam bilik. Mereka tertidur pulas hingga tidak menyadari mulut sang putri mengeluarkan bisa beracun. Ketika keluar bisa yang pertama Teungku segera membunuhnya, keluar yang kedua segera membunuhnya hingga keluarlah racun sampai keenam kalinya baru berhenti. Oleh Teungku, keenam bisa racun itu kemudian dilemparkan ke dalam paya-paya yang ada di taman istana. Ketika jatuh di paya-paya bisa itu dipatuk-patuk oleh ular air. Bisa itu akhirnya pindah ke ular. Bangkong mengetahui peristiwa itu, sahabat karibnya, ular, kini telah memiliki bisa.
Bangkong segera berlari menjauhi ular. Dia berjalan jauh ke sana kemari akhirnya bertemu pelanduk. Lalu disampaikan hal itu kepada pelanduk, “Hai pelanduk, ular kini telah memiliki bisa. Orang yang dijilat tapak kakinya akan mati karena semua racun lengkap dimilikinya. Berbahaya!” kata Bangkong.
“O ya? Kalau begitu kita harus berhasil menipunya, jangan sampai ular air memiliki racun, kita semua tentu akan dimangsanya. Mudah sekali menipu ular! Nanti aku punya caranya.” kata pelanduk.
“Bagaimana caranya?”
“Nanti, aku punya caranya!” jawab pelanduk.
Pelanduk datang ke pesawahan, mengunjungi rumah kodok. Dikumpulkannya semua kodok yang singgah di pesawahan itu.
“Hei, teman-teman kita adakan sebuah pesta!” kata pelanduk.
“Pesta apa?” Tanya seekor kodok tua.
Pelanduk menceritakan bahwa ular air telah memiliki bisa beracun yang membahayakan.
“Kalau sampai ular air memiliki racun maka dengan mudah kalian semua akan dimangsa karena sama-sama tinggal di air! Kita harus bikin tipu muslihat!” kata pelanduk mempengaruhi para kodok.
Teman-teman kodok pun sepakat. Mereka berkumpul di pinggir sawah. Mereka segera memukul canang, melike, sambil mengatakan bahwa ular sedang sakit gigi. Bunyi canang bercampur tabuh-tabuhan bertalu-talu membelah malam. Suasana di bawah temaram sinar rembulan itu sangat ramai, banyak kodok berkumpul bernyanyi-nyanyi, “Tang ting tang ular sakit gigi. Tang ting tang ular sakit gigi!” Bunyinya berulang-ulang.
Mendengar keributan itu ular segera mendekat ke pesawahan. Menyaksikan pesta itu, ular air merasa terhina, kodok-kodok itu mengatakan dirinya sakit gigi. Ular itu merasa malu, kemudian diludahkannya racun yang didapatnya dari paya-paya sehingga tak ular air punya apa-apa lagi. Racun yang dikeluarkan ular air menjadi rebutan binatang-binatang yang lain. Racun itu diambil lipan sedikit, dimakan oleh ikan sedikit, dimakan kalajengking sebagian kecil, ditelan ular kotoran sedikit dan sisanya dimakan biawak. Ular lidi tidak sempat memakan racun itu sehingga binatang itu tidak memiliki racun. Itulah yang menjadi penyebab ular air tidak mempunyai bisa.
Berkat perlindungan dan pengawasan Teungku, anak raja terbebas dari malapetaka. Mereka terus berdagang, semakin lama mengalami kemajuan pesat. Anak raja hidup berbahagia dengan istrinya. Setelah masanya putri itu melahirkan. Anak raja itu memilki dua orang anak.
Suatu hari anak raja itu teringat kampung negerinya. Istri sudah ada. Begitu pula dengan anak-anak, lengkap sudah. Anak raja itu senantiasa terkenang-kenang ayah dan bundanya. Maka hari itu juga, anak raja itu minta izin kepada Teungku.
“Bapak, izinkan saya pulang ke dalam negeri, bertemu ayahanda Raja dan ibunda!”
“Tidak bisa. Niaga ini milik bersama. Aku tidak bisa menjalankannya sendiri, kecuali jika itu barang niagaku sendiri. Jika kau pulang maka semua harta harus kita bagi dua. Semua yang dulu kita bawa sampai yang kita miliki sekarang harus dipecah menjadi dua!”
Anak raja bingung menimbang-nimbang. Niaga begitu penting, namun kampung halaman mengayun dalam benaknya. Akhirnya anak raja menyetujui usul Teungku. Barang-barang dagangan serta toko itu dijual kepada saudagar lain, lalu hartanya dibagi menjadi dua sama rata. Anak raja beserta istri dan anaknya siap-siap berangkat dengan perahu.
“Jika sekiranya anak akan pulang ke kampung halaman, saya pun akan berangkat melanjutkan hidup ke tempat lain. Sudah saatnya kita berpisah anakku!” kata Teungku dengan sedih.
“Bukan hanya harta yang harus kita pecah menjadi dua, melainkan semua-muanya, termasuk anak dan istri! Bukankah seperti itu kesepakatan kita” lanjut Teungku
“Oh…jangan, anak saya hanya satu orang. Mana bisa membaginya?”
“Baiklah, kalau begitu, bagaimana jika istri yang dipecah menjadi dua!”
“Istriku yang akan dibelah?” sahut anak raja dengan wajah cemas.
“Ya. Sudah janji dan tak bisa ditarik lagi!” kata Teungku.
“Teungku, apakah kau tega membunuh istriku?”
“Bukankah kita sudah berteguh janji?” ulang Teungku.
Karena sudah terjerat dengan janji, maka masing-masing tak boleh mungkir. Anak raja menyerahkan istrinya kepada Teungku. Teungku siap membelah dengan kapaknya. Melihat peristiwa itu anak raja sangat pilu, mendekap erat putranya, menyaksikan istrinya hampir menemui ajal. Namun, janji adalah janji, tak boleh ditarik lagi.
Kapak diangkat tinggi-tinggi. Teungku tepat mengarahkannya ke kepala putri itu. Wajah putri itu menjadi pucat pasi bercampur sedih sebab tubuhnya akan dibelah, dan hari itu juga pasti menemui ajal.
“Sekarang, istrimu kita belah dua sama rata!” kata Teungku.
“Bismillahirrahmaanirrahiim,”
Dengan yakin Teungku mengayunkannya. Ketika kapak itu mengayun, hampir menyentuh kepala putri, tiba-tiba sang putri menjerit dengan nyaring. Saat itu tiba-tiba keluarlah seekor binatang beracun dari kepalanya. Setelah jatuh ke tanah binatang itu kelak dimakan oleh biawak.
“Alhamdulillah, sudah sempurna!” kata Teungku.
Anak raja terheran-hern karena Teungku tidak jadi membelah istrinya.
“Mengapa kau urungkan membelah istriku?” Tanya anak raja.
“Kau telah melihat seekor binatang beracun keluar dari kepala istrimu. Jika binatang itu tidak dikeluarkan maka kelak kau yang akan celaka sebagaimana suami-suami putri ini di masa dahulu. Sebab yang singgah di kepalanya itu binatang beracun. Bisa itu akan mengenai tubuhmu dan membunuhmu. Sekarang ini tak ada lagi sisa racun dalam tubuh istrimu!”
“Oh, terima kasih Teungku!”
“Sudah sempurna kamu kawin. Sekarang ambil kembali istrimu!” kata Teungku sambil mengucapkn selamat tinggal. Anak raja itu memeluk Teungku dengan erat sebagai tanda perpisahan, sebab di esok hari mereka tak akan bersua lagi.
Kata sulit
bala : malapetaka, kemalangan
cambung : mangkuk atau pinggan cekung
faraj : kemaluan perempuan
jengki : tempat menumbuk padi
jernang : kemenyan merah, damar merah
jiran : orang yang tinggal sebelah menyebelah, tetangga
kadhi : hakim yang mengadili perkara yang ada sangkut pautnya dengan agama Islam
magi : cara tertentu yang diyakini memiliki kekuatan gaib
malakat : sejenis benda sakti/azimat
melike : menyanyi lagu-lagu agama
meugah : megah, jaya
paya-paya : rawa/kolam yang bertumbuhan
prah : mobil pengangkut, di belakang ada baknya
saga : buah sejenis polong-polongan
sekati : satu kati, ukuran berat 6,25 ons
sulus terakhir : sepertiga malam terakhir
Sumber: https://aning99.wordpress.com/page/1/
Gambus
Oleh
agus deden
| 21 Jun 2012.
Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual... |
Hukum Adat Suku...
Oleh
Riduwan Philly
| 23 Jan 2015.
Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dala... |
Fuu
Oleh
Sobat Budaya
| 25 Jun 2014.
Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend... |
Ukiran Gorga Si...
Oleh
hokky saavedra
| 09 Apr 2012.
Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai... |