|
|
|
|
5_Sejarah Kerajaan Nagur Pulo Pandan Tanggal 20 May 2018 oleh Sobat Budaya. |
Umum
Setelah mempelajari dan membaca beberapa buku-buku sejarah dunia dapatlah diketahui bahwa di daerah Nusantara atau lebih dikenal orang zaman sekarang dengan sebutan Asia Tenggara, telah berdiri tiga kerajaan abad ke-5 Masehi yaitu:
Yang akan diterangkan dalam tulisan ini ialah mengenai keberadaan satu kerajaan di pedalaman Sumatera Timur abad ke-5 Masehi yaitu Kerajaan Nagur (selanjutnya lihat peta).
Memang dalam buku-buku sejarah nasional Indonesia bahwa keberadaan Kerajaan Nagur itu tidak ada tercantum, tetapi dari hasil penyelidikan para ahli-ahli sejarah di kemudian hari sepeti H. Maratua Siregar guru sejarah di Vervolg School di zaman Belanda di Pamatang Siantar bahwa ada satu kerajaan di pedalaman Sumatera Timur di tepi sungai Bah Bolon lebih kurang 3 kilometer dari kota Pardagangan sekaran, dahulu kala dikenal dengan nama Pulau Pandan dan sekarang dikenal orang tempatnya itu Kramat Suci atau Kubah Pardagangan.
Dari nama Pulau Pandan itulah berasal nama Pustaha Parpandanan Na Bolag, dari sinilah pusat Kerajaan Nagur tersebut berkembang sehingga berpengaruh ke segala penjuru Sumatera Utara, sehingga nama Nagur tersebut terpakai di beberapa tempat seperti :
Satu hal yang menjadi pemikiran kenapa Nagur itu menjadi nama yang dipakai di beberapa tempat terutama di Pulau Sumatera bagian utara, berarti benar ada satu kerajaan besar yang berpengaruh di pedalaman Sumatera Timur sekitar 1500 tahun yang lalu saat tulisan ini dibuat.
Untuk mengetahui dari mana asalnya manusia Nagur abad ke-5 Masehi yang mendirikan Kerajaan Nagur di pedalaman Sumatera Timur di tepi sungai Bah Bolon atau di dekat Kota Pardagangan sekarang, haruslah membuka buku-buku sejarah dunia, supaya diketahui, di manakah di muka bumi yang mula-mula ada penghuninya.
Sejarah dunia telah membuktikan bahwa manusia pertama yang mempunyai peradaban atau sesuai dengan penggalian-penggalian para arkeolog untuk mencari bukti-bukti sejarah yang tertua adalah adalah di Mesopotamia di Timur Tengah letaknya kira-kira di Iraq sekarang ini.
Kalau dihubungkan dengan cerita-cerita Alkitab atau Bibel pada waktu air menggenangi bumi di zaman Nabi Nuh dan sesudah air surut bahwa asal-usul manusia sebagai penghuni bumi ini berasal dari 3 (tiga) orang putera Nabi Nuh, masing-masing bernama: Sem, Ham dan Zapet. Dari keturunan Nabi Nuh inilah manusia berkembang menurut Alkitab atau Bibel pada mulanya berasal dasi suatu tempat yang dialiri dua sungai besar yaitu sungai Tigris dan Eufrat; sungai tersebut berada di negara Iraq sekarang kalau diteliti dalam peta termasuk dalam geografis Timur Tengah.
Alkitab seterusnya menceritakan bahwa keturunan Sem berkembang ke Timur dan turunannya dalam bahasa ilmiah disebut Semitis. Turunan Ham berkembang ke selatan atau ke Afrika dan turunan Ham ini bernama Misraim atau Misir dalam bahasa ilmiahnya disebut Hamitis. Selanjutnya Zapet berkembang ke Barat yang menjadi leluhur bangsa Eropa dan mereka menyebut bangsanya bangsa Aria.
Ingat buku Prof. Dr. Albert Rosenberg yang berjudul Nazi Rossen Teory di zaman Hitler bahwa bangsa Aria itu ras yang terunggul, sebagian keturunan Zapet ini membelok ke arah Utara menuju Laut Hitam dan mendarat di Pegunungan Kaukasus dan mereka ini kelak di kemudian hari oleh para penulis-penulis sejarah disebut Kaukasoid.
Bangsa Kaukasoid inilah berkembang ke benua Asia dan dari Laut Kaspia sebagian turun ke selatan menjadi suatu bangsa yang disebut Iran atau Aria + 1500 tahun sebelum Masehi sebagian lagi terus ke Asia Tengah dan melalui celah-celah atau Kaibar Pass di pegunungan Himalaya turun ke satu jazirah Asia Selatan dan di sana menyebut dirinya Aria Warta, oleh ilmuwan bangsa Yunani, waktu Iskandar Agung menaklukkan jazirah tersebut dan menjumpai sebuah sungai besar yang benama Indus dan para ahli ilmu pengetahuan yang turut serta bersama Iskandar Agung raja Yunani itu dan mereka menyebut daerah itu India. Menurut nama sungai besar yang mereka jumpai yaitu sungai Indus, di belakang hari penyebutan India ada juga menyebutnya Hindustan.
Masuknya bangsa Kaukasoid itu ke dalam jazirah Asia Selatan menurut buku-buku sejarah zaman kuno + 1000 sebelum Masehi. Dalam kurun waktu 1400 tahun lamanya di jazirah tersebut silih berganti kerajaan-kerajaan besar dari bangsa Hindustan sampai kepada zamannya Kaisar Samudra Gupta yang terkenal itu. Di akhir abad ke-4 Masehi dengan datangnya satu bangsa dari Asia Tengah, menurut para ahli sejarah bangsa itu disebut Hun, tetapi orang Tionghoa menyebutnya bangsa Siung Nu. Bangsa Hun ini juga menyerbu Kerajaan Iran dan Persia, juga Byzantium atau Romawi Timur dan mengancam Roma ibukota Romawi Barat. Mereka juga menyerang ke India.
Terkenal dalam sejarah, perjumpaan raja Hun bernama Attila dengan Paus pimpinan Katolik Roma dan Paus meminta kepada Attila supaya jangan lagi mengadakan pengrusakan-pengrusakan di belahan bumi lain dan Attila selanjutnya tidak lagi mengadakan serangan-serangan ke berbagai penjuru di mana penghuninya telah mempunyai peradaban.
Pada abad ke-4 Masehi dan awal abad ke-5 Masehi terjadi kekacauan yang luar biasa di jazirah Asia Selatan yang disebut tanah Hindustan akibat serangan-serangan bangsa Hun yang masih barbar sifatnya, merusak, membakar dan menjarah daerah yang didatanginya.
Sebuah kerajaan kecil di tenggara jazirah tersebut bernama Nagore penduduknya banyak yang mengungsi; sebagian menuju ke timur melalui lautan dan sampai di tanah semenanjung dan bercampur baur dengan penduduk setempat dengan ras Melayu Tua.
Bangsawan-bangsawan Hindustan sudah kebiasaan memakai seban di kepala dilengketi oleh bermacam-macam berlian dan manik-manik begitu juga di leher, di tangan dan di pinggang, sehingga bagi yang melihatnya sangat anggun dan berwibawa. Pertengahan abad ke-5 Masehi turunan bangsawan Nagore itu menyeberang ke pantai timur Sumatera Timur dan mendarat di satu tempat, jika di malam hari terang bulan banyak batu-batu putih bercahaya dan dinamailah tempat itu Batu Bara.
Dari Batubara inilah keturunan bangsawan Nagore itu membawa rakyatnya memasuki pedalaman Sumatera Timur mengikuti jalur sungai Bah Bolon dan sampai di suatu tempat yang disebut Pulau Pandan.
Dalam kegiatan sehari-hari untuk mengatur rakyatnya turunan bangsawan Nagore itu selalu memakai pakaian kebesarannya yang bertatahkan berlian dan mutiara manik-manik; maka oleh rakyatnya digelarilah bangsawan itu: Datu Parmanik-manik. Menurut Djahutar Damanik, kelak dikemudian hari dipendekkan orang menjadi DAMANIK. Dan bagi keturunanya dipakai menjadi marga Damanik, salah satu marga pokok bagi suku Simalungun.
Datu Parmanik-manik inilah pendiri Kerajaan Nagur di Pulau Pandan + tahun 490 Masehi. Tuan Sjah Alam Damanik menyebut Datu Parmanik-manik ini dengan nama Sri Nagur Raya Damanik. Pada tahun 570 Masehi telah ada catatan mengenai Nagur ini dalam sejarah Cina waktu Dinasti Sui. Datuk Parmanik-manik menamai kerajaannya Nagur mengingat nama kampung leluhurnya dari India bernama NAGORE.
SEJARAH KERAJAAN NAGUR PULAU PANDAN
DI SUMATERA TIMUR
Semenjak berdirinya Kerajaan Nagur di Sumatera Timur akhir abad ke-5 Masehi oleh orang Nagur dahulu itu diciptakanlah tata cara kebudayaan sebagai contoh memuja Yang Maha Tinggi atau penguasa alam semesta dengan sebutan Naibata (dari Devata/Sansekerta) sehingga tercipta Dolog Sinumbah yang artinya mereka memuja atau menghormati Naibata di atas bukit yang tinggi atau “dolog”.
Di kemudian hari oleh generasi penerus Nagur dalam upacara menghormati Naibata di suatu tempat yang agak tinggi tempatnya disebut “manumbah”. Kerajaan Nagur berkembang terus karena hasil perdagangannya dengan kerajaan luar terutama ke negeri Cina yaitu hasil yang sangat melimpah dari Kerajaan Nagur seperti karet balata (rambung merah), damar, rotan dan lain-lain. Kegunaan karet balata pada waktu itu untuk membuat dompol dalam industri perkapalan Cina yang ratusan ribu banyaknya; ingat Cina sudah berpenduduk 4,000,000 jiwa pada abad ke-5 Masehi.
Menurut pustaha Simalungun yang diriwayatkan orang-orang tua bahwa Kerajaan Nagur Pulau Pandan ini sangat kaya dan makmur; sehingga kabar kerajaan ini tersebar ke seluruh Asia Timur, sampai juga kepada Kerajaan Cholamandala (Coromandel) di India Selatan dan Rajendra Chola raja dari India Selatan yang mengerahkan armada perangnya menyerang dan menjarah Kerajaan Nagur itu pada tahun 1025 Masehi. Rajendra Chola juga menyerang Kerajaan Sriwijaya di Palembang pada tahun yang sama.
Dalam serangan India ini, Kerajaan Nagur Pulau Pandan hancur lebur dan semua penduduknya mengungsi menyelamatkan dirinya keluar dari Pamatang Nagur. Masing-masing rombongan di bawah pimpinan ketiga putra raja Nagur masing-masing bernama :
Sejak penghancuran dan penjarahan oleh orang India ke Nagur, sebelum ditinggalkan orang India itu, Pamatang Nagur dibakar habis sehingga rata dengan tanah dan di kemudian hari tidak ditempati manusia lagi dan tinggallah legenda-legenda bagi manusia penerus Nagur (Simalungun) di kemudian hari dan bekas ibukota Nagur itulah menjadi Keramat Suci atau Kubah Pardagangan sekarang.
Putra Nagur Pulau Pandan yang pertama bernama MARAH SILAU mengundurkan diri ke arah selatan Pulau Pandan arah ke Tapanuli Selatan menunggu keadaan aman dengan rencana mendirikan Kerajaan Nagur kembali, tetapi tidak berhasil karena keadaan di Selat Malaka berubah, di mana rebutan kekuasaan di selat itu antara kerajaan-kerajaan besar seperti Sriwijaya; Kerajaan Samudera Pasai dan bajak laut yang merajalela di selat tersebut sehingga tidak memungkinkan beroperasinya pelabuhan perdagangan atau di zaman kuno disebut SANG PANG TO.
Selama 300 tahun Nagur Pulau Pandan setelah dihancurkan orang India, terciptalah apa yang disebut Hikayat Parpandanan Na Bolag atau pustaka Simalungun kuno yang menceritakan bahwa di bekas sisa-sisa Kerajaan Nagur Pulau Pandan dari keturunan Marah Silau menjabat sebagai raja Parpandanan Na Bolag mempunyai seorang putera yang bernama Tuan Sormaliat dan Tuan Sormaliat mempunyai seorang putera yang bernama Si Anas Bondailing yang lahir di Tapanuli Selatan (Mandailing=Mandalay) dan Si Anas Bondailing mempunyai seorang putera bernama Si Pakpak Mularaja yang sesudah dewasa kembali ke Nagur Pulau Pandan.
Kamus bahasa Simalungun “ipakpakhon” artinya diletakkan dasar pembentukan kerajaan dari Nagur Pulau Pandan dahulu kala itu dari keturunan Marah Silau Damanik menjadi 3 (tiga) kerajaan di sekitar alur sungai Bah Bolon. Ingat, Bah Bolon berasal dari pegunungan sekitar Dolog Simarjarunjung dan Sijambak Bahir (Indonesia “menjangkau langit”) atau dari kampung Gorbus Kecamatan Pamatang Sidamanik sekarang.
Dari keturunan Si Pakpak Mularaja Damanik inilah kelak muncul 3 (tiga) keturunannya yaitu:
Ketiga kerajaan sama-sama bermarga Damanik :
Ketiga kerajaan tersebut di atas dengan berpuluh-puluh partuanonnya kelak di kemudian hari memakai marga Damanik Bariba (menurut sebutan orang Samosir “na i bariba i = di seberang itu”) sampai sekarang.
Rombongan Soru Tilu atau putra kedua Raja Nagur Pulau Pandan waktu serangan India ke Nagur tahun 1025 Masehi mengungsi ke arah utara yaitu ke sebelah timur Gunung Dolog Simbolon sekarang dan mendirikan Kerajaan Nagur; di sini dengan nama Nagur Bayu (Nagur Baru) dan daerahnya meliputi sekeliling Dolog Simbolon, daerah Sappiniou (Sipispis sekarang), Padang-Badagei (Tebing Tinggi sekarang) sampai ke pesisir Selat Malaka. Abad ke-17 daerah Kerajaan Nagur Bayu ini menjadi daerah Kerajaan Raya dinasti Saragih Garingging.
Dalam sejarah dikenal nama-nama raja Nagur Bayu ini, seperti Sangai Alam Damanik, Sang Majadi, Anggaraim Na Bolon, semua dari keturunan Tuan Soro Tilu Damanik. Dan Kerajaan Nagur Bayu ini terus berdiri sampai datangnya orang-orang Eropa seperi: Portugis. Spanyol, Belanda, Inggris dan lain-lain. Menjelang datangnya Belanda ke Sumatera Timur abad ke-17 dan munculnya satu kerajaan di sebelah barat dari Kerajaan Nagur Bayu, kelak Kerajaan yang baru itu bernama Kerajaan Raya; akhir abad ke-19 Kerajaan Nagur Bayu itu sebagian masuk ke dalam Kerajaan Raya dan sebagian masuk ke dalam Kesultanan Deli dan Serdang. Yang tinggal sekarang hanya nama-nama kampung peninggalan Kerajaan Nagur Bayu seperti nama Nagur Raja (sekarang Nagaraja), Nagur Usang, Pamatang Nagur di Kecamtan Tanjung Beringin dan Bandar Kalipah.
Umumnya turunan Tuan Soru Tilu Damanik raja Nagur Bayu atau Nagur Dolog Simbolon itu memakai marga Damanik :
Tetapi belakangan ini turunan Raja Nagur Soru Tilu ini banyak memakai marga Damanik Raja, karena mereka Damanik pertama di Sumatera Timur abad ke-6 Masehi dan bukan turunan marga Manik Raja dari Pulau Samosir.
Keturunan Nagur Pulau Pandan yang ketiga yang bernama Tuan Timor Raya Damanik dengan rombongannya berangkat ke arah barat mengikuti alur Sungai Bah Bolon dan sampai di tanah datar antara Gunung Dolog Simarjarunjung dan Dolog Sijambak Bahir dan turun ke tepi Laut Tawar (Danau Toba sekarang), menjumpai suatu tempat yang bagus dan luas dikelilingi oleh jurang yang dalam, hanya satu jalan untuk masuk, memang begitulah model kampung zaman dahulu itu, supaya mudah mempertahankan kampung jika ada serangan dari luar; hanya satu jalan saja yang perlu dipertahankan. Daerah itu kelak disebut namanya Si Bona-bona.[1]
Lebih kurang 100 tahun turunan Nagur Timo Raya (Timur Raya) itu bermukim di Si Bona-bona atau di tepi Laut Tawar dekat Tuktuk Silumonggur atau Tanjung Unta sekarang, berdirilah satu kerajaan di tepi Laut Tawar menurut keterangan orang-orangtua zaman dahulu bernama Kerajaan Bornou, kira-kira tahun 1250 Masehi.
Keturunan Kerajaan Bornou ini umumnya memakai marga Damanik Tomok; oleh karena istilah “Tomok” inilah, maka ada sebagian orang (khususnya orang Batak Toba) menganggap pendiri Kerajaan Bornou ini berasal dari Negeri Tomok – Samosir dari keturunan marga Manik Raja. Salah seorang keturunan Raja Sosiar Mangula Damanik dari Sihilon, Bapak Kadim Morgan Damanik Tomok menjelaskan, asal kata “Tomok” itu tidak ada kaitannya dengan kampung Tomok di Samosir. Kata “Tomok” itu berasal dari nama leluhur mereka yang bernama Si Tomok, karena perawakan tubuhnya yang gemuk dan agak pendek yang dalam bahasa Simalungun disebut “tomok angkulani”. Di Dolog Malela di mana Damanik Tomok menjadi partuanan, masih terdapat batu keramat yang disebut Batu Tomok. Jadi jelasnya, Damanik Tomok itu bukan berketurunan dari marga Damanik Raja dari Negeri Tomok Samosir, tetapi dari keturunan raja Nagur juga bermarga Damanik.
Menjelang pecahnya Perang Rondahaim (1887-1891), Kerajaan Bornou ini lebih dikenal orang dengan nama Kerajaan Raja Na Takkang dan sesudah tentara Kerajaan Raya berundur dari tepi Laut Tawar berobah namanya menjadi Tambun Raya mengingat nama leluhurnya dahulu itu Timor Raya Damanik.
Sejarah selanjutnya Kerajaan Bornou ini mempunyai tiga orang putera masing-masing bernama Raja Sosiar Mangula dan Raja Na Takkang dan anak ketiga anak adopsi bernama Lumban Sambo. Dan menurut Bapak Kadim Morgan Damanik, anak adopsi ini ditemukan ayahnya Raja Timor Raya “marsambo-sambo” (bermain-main air dengan memakai tangan) di tepi Danau Toba yang oleh karenanya diberi nama Lumban Sambo. Beberapa tahun kemudian, dua orang putera Raja Sosiar Mangula pergi ke seberang Laut Tawar dan sampai di sebuah pulau yang dikenal dengan nama Pulau Samosir. Di pulau ini, putera sulung Raja Sosiar Mangula yang bergelar Si Bolon Pinggol (Si Telinga Besar) menurut sebutan orang Samosir berputera seorang yang diberinya nama Damanik Raja, oleh orang Samosir disebutnya Manik Raja, mereka inilah yang menyesuaikan dirinya dengan perkumpulan Guru Tatea Bula. Putera bungsu menyeberang ke Tongging dan terus ke Dairi dan menurunkan marga Manik di Dairi dan Singkel.
Jadi ada dua keturunan marga Damanik dari Raja Sosiar Mangula di luar daerah kekuasaanya Kerajaan Bornou: marga Manik Raja di Samosir dan Manik di Dairi/Singkel.
Turunan Damanik dari Kerajaan Bornou ini yang banyak berkembang sebelum berdirinya Kerajaan Siantar pada abad ke-15 yang menjadi partuanan-partuanan di Simalungun kurang mendapat tempat dalam pemikiran-pemikiran para penulis mengenai keberadaan marga Damanik Tomok; seolah-olah ada jurang pemisah antara marga :
Padahal di antara ketiga Damanik ini masih satu leluhur dari Nagur Pulau Pandan yang berpisah waktu serangan India awal abad ke-11 dahulu kala itu, sehingga pada masa sekarang ini dalam urusan paradaton memasuki grup marga Tatea Bulan yaitu tarombo Toba, Humbang dan Samosir atau disebabkan dua hal :
Seperti disebutkan di atas bahwa jalan masuk ke Danau Laut Tawar dari Selat Malaka yang terbaik dan termudah adalah dari dataran tinggi Simarjarunjung dan Dolog Sijambak Bahir. Begitu juga dari Tapanuli atau Samosir, jalan yang terbaik ke Sumatera Timur adalah melalui dataran tinggi di antara gunung-gunung tersebut. Itu sebabnya orang Belanda dan penginjil-penginjil dari Toba menyebut penduduk antara Gunung Dolog Simanuk-manuk dan sekitar Dolog Simbolon dari Laut Tawar sampai ke Selat Malaka mereka menyebutnya Batak Timur, karena letak di sebelah timur Tapanuli (Tanah Batak).
Walaupun demikian, di kemudian hari, orang-orang Toba dan Samosir beralih memakai jalan dari Tigaras-Dolog Saribu-Pamatang Raya. Seperti diketahui, bahwa jalan besar Parapat, Pamatang Siantar dibuka tahun 1910 Masehi; dengan demikian mengalirlah orang dari Toba, Humbang, Tarutung ke Sumatera Timur membuka persawahan atas undangan, dukungan dan perlindungan dari pemerintah Kolonial Belanda dan zending Jerman (RMG), bekerja di perkebunan (onderneming) Sumatera Timur.
Dengan mengalirnya orang-orang Batak Toba dari Tapanuli ke Timur (Simalungun) maka masuk juga datu-datu (Parhudamdam, Golongan Si Radja Batak, Parmalim), partarombo-partarombo (Raja Patik Tampubolon) dan penginjil-penginjil, sehingga sebagian besar masyarakat Simalungun (yang tidak mengetahui lagi sejarah nenek moyangnya) manut saja pada uraian mereka dan akhirnya “tenggelam” dalam silsilah mereka, sebagai contoh :
Kemungkinan besar penulis-penulis Batak Toba ini tidak pernah mengetahui adanya kerajaan di Simalungun, yaitu Kerajaan Nagur yang menjadi leluhur Damanik dan beberapa kerajaan Damanik di bekas wilayah Kerajaan Nagur dahulu itu, sampai datangnya Belanda awal abad ke-20 Masehi sampai alam kemerdekaan. Seperti kita ketahui, bahwa penulisan buku Tarombo ni Bangso Batak yang pertama ditulis dan diterbitkan adalah Pustaha Batak dohot Turi-turian ni Bangso Batak oleh W.M. Hutagalung (demang di Samosir) terbitan Januari 1926 di Pangururan.
Banyak sudah penulis-penulis dari saudara-saudara kita dari luar daerah Simalungun ini menulis marga Damanik seperti: W.M. Hutagalung dan M.A.S. Pasaribu tersebut; juga dari suku Simalungun sendiri seperti almarhum Djahutar Damanik dalam bukunya Hukum Adat Simalungun yang hemat penulis banyak yang dilupakan dalam tulisan tersebut mengenai marga dan kerajaan-kerajaan marga Damanik dari Tanjung Tiram Batubara dari Selat Malaka sampai ke Laut Tawar (Danau Toba) mengikuti jalur sungai Bah Bolon.
Dan kerajaan Damanik itu berdiri dalam kesatuan Kerajaan Siantar sampai Proklamasi 17 Agustus 1945 seperti Kerajaan Bandar yang daerahnya sampai ke Tanjung Tiram dan Tanjung Balai. Kerajaan Siantar di Pulou Holang Pamatang Siantar sekarang. Kerajaan Jumorlang menjadi Partuanon Jorlang Huluan. Kerajaan Manik Hasian menjadi Partuanon Simanjoloi dan Raja Bornou atau Raja Na Takkang menjadi partuanon Tuan Tambun Raya Banggal atau Tuan Tambun Raya Agung sampai datangnya Belanda di akhir abad ke-19.
Kerajaan Sidamanik dan Kerajaan Sipolha tidak berubah namanya dan semua kerajaan Damanik bubar sesudah berdirinya “kerajaan” kita yang lebih besar yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan kerajaan dinasti Damanik zaman dulu itu tinggal menjadi sejarah bagi keturunannya supaya mengetahui dari mana asl-usulnya.
Banyak orang sampai hari ini mempertahankan bahwa leluhurnya berasal dari langit dan turun di atas sebuah gunung lalu turun ke bawah atau ke tanah dataran dan berkembang menjadi marga-marga. Masih banyak yang lebih yakin dengan mitos ketimbang historis (sejarah).
Bagaimanapun kita sebagai manusia yang pernah membaca sejarah dunia bahwa manusia biasanya mendarat di pantai-pantai pulau dan benua serta berkembang ke arah pegunungan tidak pernah ada manusia dari pegunungan turun ke pantai.
Di atas telah disebut satu contoh Zapet atau Aria mendarat di pegunungan Kaukasus di Timur Laut Hitam dan turunan mereka disebut Kaukasoid, kelak menjadi leluhur bangsa Iran (Aria), dan Aria Warta atau Hindustan di Jazirah Asia Selatan yang lazim disebut India. Dari sebuah kerajaan kecil yang bernama Nagore seorang bangsawan Hindustan dengan rakyatnya menyeberang ke Semenanjung Malaya dan berasimilasi dengan ras Melayu dan turunnanya kelak menyeberang ke pantai Sumatera Timur akhir abad ke-5 Masehi. Oleh pengikutnya digelar Datuk Bermanik-manik dan sampai di tempat bernama Batubara dan mengikuti jalur sungai Bah Bolon sampai di suatu tempat yang bernama Pulau Pandan dan mendirikan permukiman atau “pamatang” (benteng pertahanan) yang kelak menjadi ibukota Kerajaan Nagur dahulu kala itu dari abad ke-5 Masehi sampai abad ke-10 Masehi. Sekarang lebih dikenal dengan nama Kramat Suci atau Kubah Pardagangan yang terletak di Kabupaten Simalungun-Sumatera Utara sekarang.
Banyak sudah naskah-naskah tulisan mengenai marga Damanik di antaranya tulisan :
Sesudah penandatanganan Korte Verklaring tahun 1907 sistem pemerintahan di kerajaan yang tujuh (baca: Simalungun) sudah berubah dari kerajaan yang berdiri sendiri menjadi swapraja yang disebut “landschap” yang berada dalam Onderafdeeling Simelungun di bawah pemerintahan Controleur (pengawas) Hindia Belanda. Hal ini diketahui dari buku Sejarah Simalungun tulisan Kenan Purba halaman 60.
Itu sebabnya di bekas Kerajaan Nagur dahulu kala itu (baca: Simalungun) ada istilah : Par Siattar, Parsini Panei, Parsin Raya, Parsini Purba, biasa disingkat muda-mudi zaman dulu dengan sebutan Siattar, Sini Panei, Sin Raya, Sini Purba. Jadi kalau mengikuti istilah Jalatua Hasugian seperti tersebut di atas bahwa Kabupaten Simalungun sudah 171 tahun betul-betul tidak bisa diterima akal sehat, sama dengan mitos yang mengatakan bahwa Allah menurunkan manusia di atas satu gunung dan turun ke bawah ke tanah dataran untuk selanjutnya menurunkan marga-marga. Sebab apa yang disebut Kabupaten Simalungun baru ada bulan September 1946 dan beribukota di Pamatang Siantar dan bupatinya yang pertama ialah Tuan Madja Purba salah seorang turunan Raja Napitu, tetapi mengenai marga Damanik pendiri Kerajaan Nagur di Pulau Pandan abad ke-6 dekat Pardagangan sekarang menurut Jalatua Hasugian ada benarnya, tetapi Jalatua tidak menerangkan dari mana asalnya Damanik pendiri Kerajaan Nagur tersebut.
Mengikuti jalannya tulisan Jalatua Hasugian tersebut di atas bahwa marga Damanik pendiri Kerajaan Nagur di Sumatera Timur sudah ada tahun 600 Masehi pasti timbul pertanyaan dalam hati kita: daerah mana di Sumatera Utara ini yang lebih dahulu ada penduduknya? Sianjur mula-mula di kaki Gunung Pusuk Buhit pusat Negeri Toba atau di Nagur (baca: Simalungun). Jadi tahun berapakah manusia pertama ada di Sianjurmula-mula di kaki Gunung Pusuk Buhit itu ? Satu persoalan yang penting untuk diketahui generasi penerus.
Selanjutnya kita mengikuti tulisan Batara Sangti Simanjuntak dalam bukunya berjudul Sejarah Batak yang mengatakan bahwa Si Raja Batak di Tanah Batak baru ada pada tahun 1305 Masehi atau awal abad ke-14 Masehi. Begitu juga tulisan Kondar Situmorang dalam Harian Sinar Indonesia Baru terbitan tanggal 26 September 1987 dan tanggal 03 Oktober 1987 serta tanggal 24 Oktober 1987 dengan judul “Menapak Sejarah Batak” yang mengatakan bahwa Si Raja Batak baru ada pada tahun 1475 Masehi. Kedua orang ini adalah penulis kondang dari suku Batak Toba, tetapi yang manakah keterangan mereka ini yang benar?
Jika dihubungkan dengan keterangan dari orang Toba dan Samosir, bahwa mereka sampai sekarang ini sudah ada 18 atau 20 generasi atau lebih kurang sama dengan 500 tahun, sebab setiap 100 tahun lahir 4 generasi. Sebagai contoh: Bapak-Anak-Cucu-Cicit.
Sebagai contoh yang paling dekat seperti :
Bapak Tuan Ramahadin Damanik Tuan Raja Sidamanik, anaknya Tuan Djorhatim Damanik, cucunya Tuan Sorimala Damanik (Sordam), cicitnya Tuan Mamman Damanik, SE. Tahun yang dijalani mereka ialah dari tahun 1900-2000 Masehi. Jadi dalam 100 tahun ada empat kali kelahiran manusia atau lazim disebut 4 generasi.
Jika dihubungkan dengan sejarah Nusantara, bahwa daerah Barus dan daerah pantai Samudera Hindia sebelah barat Pulau Sumatera adalah jajahan dari Kerajaan Sriwijaya dari Palembang, tetapi dengan kehancurannya Kerajaan Sriwijaya oleh Kerajaan Madjapahit tahun 1337 Masehi, maka orang-orang dari Barus berpindah ke arah pegunungan sekitar Danau Toba sampai ke pantai Danau Toba di kaki Gunung Pusuk Buhit dan mereka menyebut tempat itu dengan nama Sianjurmula-mula dan mengikut juga istilah Hindu kepada orang Barus itu seperti kata Dewata menjadi Debata, istilah Satia Ulan menjadi Tatea Bulan; mungkin juga istilah Sriwijaya menjadi Saribu Raja atau Sorimangaraja.
Kalau diperhatikan perjalanan sejarah Nusantara, di antara dua tulisan dari penulis kondang tersebut antara Batara Sangti Simanjuntak dengan Kondar Situmorang dapat ditarik kesimpulan bahwa tulisan Kondar Situmorang mendekati fakta sejarah.
Catatan :
1. Batara Sangti menulis Si Raja Batak ada tahun 1305 Masehi.
Si Raja Batak inilah kelak menjadi leluhur dari Suku Batak Toba, yaitu: Toba, Humbang, Samosir dan Silindung. Si Raja Batak mempunyai dua orang anak, yaitu Guru Tatea Bulan dan Sumba. Dari Guru Tatea Bulan inilah asalnya Saribu Raja, Limbong Mulana, Sagala Raja dan Silau Raja.
Dari Silau Raja ini asalnya:
Malau Raja
Manik Raja
Gurning Raja
Ambarita Raja
Mengikuti jalur generasi di atas mulai dari Si Raja Batak-Guru Tatea Bulan-Silau Raja-Manik Raja memakan waktu 100 tahun, berarti Manik Raja baru ada tahun 1600 Masehi dan kalau dihubungkan dengan pengakuan saudara-saudara kita dari Toba atau Samosir bahwa mereka baru ada 17 atau 18 generasi sampai tahun 2000 ini.
Sampai di sini dapat ditarik kesimpulan bahwa manusia di Samosir baru ada kira-kira 500 tahun yang silam saat tulisan ini diterbitkan.
Alasannya :
Sedangkan di Simalungun (baca: Nagur) menurut Jalatua Hasugian (bukan penulis dari suku Simalungun) bahwa manusia pendiri Kerajaan Nagur sudah ada sejak abad ke-6 Masehi. Jadi dalam hal ini dapat ditarik kesimpulan bahwa manusia yang lebih dahulu ada di Simalungun 1400 tahun yan silam saat tulisan ini diterbitkan.
Sumber: https://www.neosimalungunjaya.com/sejarah-kerajaan-nagur-pulo-pandan/
Gambus
Oleh
agus deden
| 21 Jun 2012.
Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual... |
Hukum Adat Suku...
Oleh
Riduwan Philly
| 23 Jan 2015.
Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dala... |
Fuu
Oleh
Sobat Budaya
| 25 Jun 2014.
Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend... |
Ukiran Gorga Si...
Oleh
hokky saavedra
| 09 Apr 2012.
Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai... |