Bangun Hijau tinggal bersama ayahnya. Ibunya telah meninggal ketika gadis itu masih kecil. Bangun Hijau mempunyai teman sebaya yang tinggal tak jauh dari rumahnya, bernama Bangun Merah. Bangun Merah tinggal bersama dengan ibunya. Ayahnya telah meninggal sejak gadis itu masih kecil.
Setiap hari Bangun Hijau dan Bangun Merah bermain-main bersama, pergi ke sawah atau sungai bersama-sama. Kadang berjalan-jalan ke hutan atau bermain seharian di atas bukit. Mereka terlihat sangat akrab.
Suatu hari, Bangun Merah sedang duduk di atas batu di bawah pohon rindang. Tak jauh dari situ Bangun Hijau berjongkok memetik bunga-bunga kecil berwarna kekuningan.
“Untuk apa bunga-bunga itu? Warnanya jelek, baunya tidak sedap!” kata Bangun Merah dengan ketus.
“Bangun Merah, bunga-bunga ini sangat indah. Aku akan menaruhnya di rumah. Aku dan ayah sangat menyukainya. Bunga-bunga kecil ini mengingatkan kami pada ibu. Ibu suka menaruh bunga-bunga ini di atas meja tempat tidurku dan tempat tidur ayah!” Bangun Hijau menjelaskan kepada sahabatnya.
“Hmm… sampai sekarang ayahmu masih mengingat ibumu?” tanya Bangun Merah.
“Ya…kami berdua selalu ingat ibu. Ibu baik sekali, tetapi Tuhan begitu cepat mengambilnya dari kami!” Jawab Bangun Merah sambil mengenang ibunya. Air mata Bangun Hijau menitik, membasahi pipinya.
“Sudahlah…jangan menangis. Waktu ayahku meninggal aku dan ibu tidak menangis!” Hibur Bangun Merah.
“Bangun Hijau, aku punya ide. Bagaimana kalau ayahmu dan ibuku kita jodohkan supaya persahabatan kita lebih akrab. Kita akan menjadi kakak adik!” kata Bangun Merah tiba-tiba.
Mendengar usul Bangun Merah, Bangun Hijau terdiam sambil berpikir. Bangun Hijau pernah melihat Ibu Bangun Merah marah-marah sambil memukul anaknya dengan rotan. Mengingat hal itu, Bangun Hijau ketakutan.
“Ayolah, ibuku baik, ayahmu juga baik! Mereka pasangan yang serasi!” Bujuk Bangun Merah.
Ketika sampai di rumah, Bangun Hijau terpaku menyaksikan makanan telah siap terhidang di atas meja makan. Ketika tudung dibuka, di atas meja telah terhidang seperiuk nasi, ikan goreng dan sambal. Tentu ayahnya yang menyiapkan itu semua.
“Sungguh baik Ayah. Kalau aku punya ibu tentu ayah tak akan repot-repot seperti ini! Kasihan ayah!” Gumam Bangun Hijau.
Tak lama kemudian ayahnya muncul.
“Sudah pulang? Ayo makanlah!” Suruh ayahnya.
“Ayah yang menangkap ikan sebesar ini?”
“Ya!”
Mereka makan malam bersama. Sembari makan, Bangun Hijau terngiang-ngiang supaya menyampaikan pesan Bangun Merah kepada ayahnya. Selesai makan Bangun Hijau menyampaikan pesan sahabatnya itu, “Alangkah baiknya jika ayah kawin dengan Ibu Bangun Merah! Bukankah dia tak bersuami lagi!”
Ayah Bangun Hijau terkejut lalu menjawab dengan tenang, “Aku tak akan beristri lagi. Kalau mempunyai ibu tiri, hidupmu akan sengsara!” kata ayah Bangun Hijau.
Keesokan berikutnya Bangun Hijau bertemu lagi dengan Bangun Merah. Mereka berdua mencari ikan di pinggir sungai.
“Bangun Hijau, sudah kamu sampaikan rencana kita?” tanya Bangun Merah tiba-tiba.
“Sudah kusampaikan kepada ayah!” Bangun Hijau menirukan jawaban ayahnya.
Bangun Merah berkecak pinggang, menatap Bangun Hijau dengan tajam, “Hei ibuku tidak akan menyengsarakanmu. Ibuku akan menyayangi kita berdua. Bukankah kita menjadi kakak-adik? Yakinkan itu kepada ayahmu, ya?” Pesan Bangun Merah lagi.
Pada sore hari Bangun Hijau kembali ke rumahnya. Perkataan Bangun Merah segera disampaikan.
“Ayah, Ibu Bangun Merah baik hatinya. Dia akan menyayangiku karena aku dan Bangun Merah menjadi bersaudara.” Bangun Hijau mendesak ayahnya. Gadis itu terus merengek-rengek.
“Ayolah ayah. Kawinlah dengan ibu Bangun Merah!”
“Ya…ya…aku akan kawin dengan ibu Bangun Merah!”
Esok harinya, ketika Bangun Hijau pergi ke sungai bertemulah dengan Bangun Merah.
Dengan mata berbinar-binar Bangun Hijau menyampaikan keputusan ayahnya, “Bangun Merah, ayahku mau memperistri ibumu!”
“Oh, benarkah!”” Bangun Merah terkejut. Gadis itu segera memeluk Bangun Hijau.
“Mulai sekarang engkaulah adikku!”
Beberapa hari kemudian ayah Bangun Hijau kawin dengan ibu Bangun Merah. Bangun Merah dan ibunya tinggal di rumah Bangun Hijau. Keluarga baru itu memulai kehidupan barunya. Bangun Hijau merasa senang sebab memiliki ibu dan saudara baru. Ayahnya pun tidak perlu bangun pagi untuk memasak nasi dan menyiapkan lauk. Semua diurus ibu Bangun Merah.
Hari demi hari pun berlalu. Bangun Hijau mulai merasakan kesusahan dan kesengsaraannya,. Ibu tirinya yang dulu menyayanginya kini mulai lain. Tabiatnya berubah. Pagi-pagi setelah ayah Bangun Hijau meninggalkan rumah, Bangun Hijau disuruh menyapu dan mencuci baju sendirian.
“Di mana kakak Bangun Merah? Bukankah kita sering mencuci bersama?” tanya Bangun Hijau kepada ibu tirinya..
“Mengapa harus ke sungai bersamamu? Bukankah ada kau, tukang cuci?” jawab Ibu Bangun Merah dengan ketus.
Ketika Bangun Hijau berjalan ke sungai bertemulah dia dengan sekawanan anak-anak gadis. Di situ ada Bangun Merah.
“Kakak, bantu aku mencuci!” Kata Bangun Hijau.
“Enak saja! Kami sedang bermain!” Jawab Bangun Merah dengan pongah.
“Ada pembantu baru rupanya!” Ejek teman Bangun Merah disusul anak-anak yang lain.
Akhirnya Bangun Hijau berjalan sendirian menuju ke sungai. Setelah mencuci, ibu tirinya memerintahkan Bangun Hijau untuk mengambil air, setelah itu mencari kayu ke hutan. Sebelum malam tiba ia harus menyiapkan makanam untuk ayahnya.
“Ini yang memasak anakmu Bangun Merah! Bagaimana rasanya?” Tanya Ibu Bangun Merah sambil menawarkan masakan yang tersaji di atas meja kepada ayah Bangun Hijau. Ibu Bangun Merah memuji-muji anaknya.
“Hmm…enak sekali, rasanya mirip dengan masakan Bangun Hijau!” kata Ayah Bangun Hijau spontan. Masakan itu sungguh lezat cita rasanya. Mirip dengan masakan mendiang istrinya yang diwariskan kepada Bangun Hijau. Sangkanya Bangun Merah belajar dari Bangun Hijau.
Mendengar pujian itu Ibu Bangun Merah terkejut, tenggorokannya seakan dicekat. Jawaban apa yang akan diberikan kepada suaminya karena sesungguhnya yang memasak adalah Bangun Hijau. Bangun Hijau tidak berani buka mulut. Jika rahasia ibu tirinya sampai bocor maka dialah yang akan menerima imbasnya.
Begitulah hari-hari Bangun Hijau. Bangun Hijau sesungguhnya menyesal telah memaksa ayahnya mengawini ibu Bangun Merah yang jahat.
* * *
“Tapi…tak ada gunanya menyesal. Semua telah terjadi!” desah Bangun Hijau lirih ketika menuruni tebing sungai.
Sesampainya di pinggiran sungai, Bangun Hijau duduk di atas sebongkah batu. Sambil merenung menatap jernihnya air sungai. Ikan-ikan kecil hilir mudik dalam aliran sungai, memakan lumut-lumut hijau yang tumbuh di dasar sungai. Bangun Hijau tiba-tiba berkeinginan untuk menangkap ikan-ikan itu. Tangannya segera memburu ikan-ikan itu. Tertangkaplah seekor ikan gabus sebesar tangannya.
“Lebih baik aku pelihara di sini!’ gumamnya.
Bangun Hijau membuat sebuah kolam kecil di pinggir sungai. Ikan gabus itu segera dilepas di kolam itu.
“Tinggallah di sini sampai kau besar!” katanya.
Setiap turun ke sungai Bangun Hijau selalu membawa sisa-sisa makanan untuk ikannya.
Jika Bangun Hijau menyanyi, ikan gabus itu segera keluar dari persembunyiannya.
“Si gabus gala ikanku, mari ambillah bekal untukmu!” Bangun Hijau menyanyi sambil menebarkan sisa-sisa makanan ke kolam. Ikan gabus itu segera mengapung lalu dengan cepat melahap butir demi butir makanan yang dilempar Bangun Hijau. Ketika duduk sambil menatap ikan gabusnya, sakit hatinya karena dimaki-maki ibu tiri menjadi lenyap.
Bila telah jemu bermain-main dengan ikan kesayangannya, Bangun Hijau segera meraih wadah airnya lalu dibawanya pulang.
Pada suatu hari Bangun Hijau kembali lagi ke sungai, sambil bernyanyi-nyanyi menebarkan sisa-sisa makanan untuk ikan gabusnya. Tanpa disadari Bangun Merah mengintipnya dari balik semak-semak yang tumbuh di tepian sungai. Bangun Merah mengawasi gerak-gerik Bangun Hijau. Anak itu tertegun melihat Bangun Hijau memelihara seekor ikan gabus besar.
“Mana mungkin Bangun Hijau memiliki ikan sebesar itu!” Desah anak itu tidak percaya, “Dari mana dia memperolehnya. Di sungai ini tak ada ikan gabus yang sebesar itu.”
Setiap hari Bangun Hijau memberi makan dan menyayangi ikan gabus itu sehingga dalam waktu singkat ikan gabus itu cepat membesar, memiliki ukuran lebih besar dibanding ikan-ikan sungai kebanyakan.
Sesampainya di dalam rumah, Bangun Merah segera mengadu kepada ibunya, “Bu, Bangun Hijau memelihara seekor ikan gabus di dalam kolam!” ujar Bangun Merah.
“Memelihara ikan? Pantas, sisa-sisa makanan kita tidak ada di tempat cuci piring. Pasti diberikan kepada ikannya itu!”
“Ya, benar Bu! Sekarang sudah besar sekali ikannya!”
“Oya? Nah, suatu saat nanti kita ambil ikan itu!” kata Ibu Bangun Merah sambil tertawa-tawa.
Pagi itu, Bangun Merah telah sepakat dengan ibunya. Mereka akan ke sungai untuk menangkap ikan gabus milik Bangun Hijau. Pagi-pagi sekali Bangun Hijau disuruh ke hutan mencari kayu.
“Ayolah, Bangun Merah bangunlah. Jangan sampai gagal rencana kita!’ kata ibu Bangun Merah sambil membangunkan anaknya.
Mereka berdua segera tiba di sungai. Dengan mudah kolam kecil di pinggir sungai itu ditemukan.
“Mana ikannya, Bangun Merah?” Tanya ibunya sambil menatap permukaan kolam.
“Sebentar, Ibu, saya akan memanggilnya! Biasanya setelah Bangun Hijau bernyanyi ikan itu akan muncul!”
“Kalau begitu, cepat panggil!” Suruh Ibu Bangun Merah tak sabar.
Bangun Merah segera bernyanyi sebagaimana pernah didengarnya dari Bangun Hijau.
Tak lama kemudian ikan gabus peliharaan Bangun Hijau muncul. Ikan itu berlenggak-lenggok berenang di dalam air lalu mengapung, menunggu remah-remah sisa makanan yang biasa ditabur oleh Bangun Hijau.
“Ah, besar sekali ikan piaraan Bangun Hijau!” ujar ibu Bangun Merah tak percaya. Matanya melotot menatap ikan itu.
“Benarkan apa kataku?” Sahut Bangun Merah sambil menaburkan sisa makanan.
“Aku akan menangkapnya, Merah!”
Ketika ikan itu melahap remah-remah sisa, Ibu Bangun Merah segera melayangkan kapaknya, tepat mengenai kepala ikan gabus itu. Ikan gabus itu menggelepar, berenang tak tentu arah, memutar-mutar kolam, kepalanya berdarah. Tak lama kemudian ikan yang telah terluka itu mati, mengapung di permukaan kolam. Ibu Bangun Merah mengambil ikan itu kemudian memasukaannya ke dalam loyang.
Tak lama kemudian mereka telah sampai di rumah. Ibu Bangun Merah segera memasaknya. Bangun Merah sebenarnya merasa kasihan kepada Bangun Hijau ketika melihat ibunya memotong-motong ikan itu kemudian menatanya di dalam periuk tanah. Bangun Merah menatap potongan-potongan ikan itu.
“Kenapa Bangun Merah? Kamu tidak suka ikan-ikan ini? Pasti lezat sekali kalau sudah matang! Lihatlah dagingnya tebal dan lunak!” kata Ibu Bangun Merah.
“Ibu, bagaimana kalau Bangun Hijau melihat ikannya telah hilang dan mengetahui kitalah yang mencuri ikannya?” Tanya Bangun Merah cemas.
“Usahlah, jangan pedulikan! Salah dia sendiri pelihara ikan di tepi kali!” Jawab Ibu Bangun Merah ketus.
Tak berapa lama kemudian ikan gabus itu telah masak. Setelah tercium bau sedap ikan, Ibu Bangun Merah segera mengangkat periuk berisi ikan gabus yang telah matang itu.
“Hmm… sudah matang! Mari kita habiskan sebelum Bangun Hijau dan ayahnya pulang.” Mereka berdua segera memakan ikan itu dengan lahap.
Akhirnya daging ikan itu habis mereka makan. Yang tersisa di atas meja tinggal tulang-tulangnya.
“Di mana harus kita buang tulang-tulang ini?” Tanya Bangun Merah.
Ibu Bangun Merah yang kekenyangan menjawabnya dengan nada malas.
“Sebaiknya kita sembunyikan dulu. Tanamlah dulu di dalam abu itu!”
Bangun Merah segera menanam tulang-tulang ikan itu ke dalam gundukan abu yang berada di belakang tungku.
“Nah, bagus! Pasti Bangun Hijau tak akan mengetahui!”
Sore harinya Bangun Hijau pulang dari hutan. Gadis itu menggendong seikat kayu bakar. Bangun Merah dan ibunya menyambutnya di depan rumah.
“Nah, sudah selesai tugasmu! Tinggal mengambil air!” ibu Bangun Merah melempar sebuah ember kayu kepada Bangun Hijau.
Setelah menurunkan kayunya, Bangun Hijau segera mengambil sisa-sisa makanan di dapur, kemudian meraih embernya dan membawanya ke sungai.
Seperti biasanya Bangun Hijau duduk di atas batu di pinggiran kolam. Bangun Hijau bernyanyi-nyanyi memanggil ikan gabusnya.
Bangun Hijau kelelahan bernyanyi, namun ikannya tak segera muncul.
Setelah mengambil air, Bangun Hijau segera meninggalkan sungai. Hari telah berganti dengan petang. Di sepanjang perjalanan Bangun Hijau tak berhenti menangis.
Ayahnya yang telah tiba di dalam rumah termangu-mangu menanti kepulangan Bangun Hijau. Alangkah terkejutnya ketika melihat Bangun Hijau membawa ember berisi air sambil menangis.
“Bangun Hijau, mengapa menangis?” sapa ayah Bangun Hijau.
“Mungkin disakiti teman-temannya!” Sahut ibunya.
“Tidak Bu! Tak ada teman-teman yang menyakitiku!” Jawab Bangun Hijau.
“Lalu…? Mengapa menangis anakku?”
“Ayah, ikan gabusku yang telah besar hilang dari kolam!”
“Hilang? Mana mungkin? Setahuku di kampung kita tidak ada orang yang suka mencuri.” kata ayah Bangun Hijau.
“Salah sendiri Bangun Hijau. Pelihara ikan di tepi sungai. Pasti ikanmu melompat ke sungai.” sahut Ibu Bangun Merah.
Selang beberapa hari, Bangun Hijau mulai melupakan ikan gabusnya yang telah hilang. Ketika mengambil air, gadis itu menangkap lagi seekor ikan gabus yang masih kecil kemudian dipeliharanya di kolamnya yang dulu.
Pada suatu hari setelah selesai makan, Bangun Hijau diperintah ibunya untuk menyiapkan makan siang. Mulailah Bangun Hijau memasak. Bangun Hijau membersihkan tungku yang telah penuh dengan abu. Ketika melihat belakang tungku telah penuh dengan gunungan abu, Bangun Hijau segera meraih sekop untuk membuang abu-abu itu.
Tanpa sengaja di dalam gundukan itu ditemukan tulang-tulang ikan besar yang telah dipotong-potong. Bangun Hijau meletakkan sekopnya, tangannya memungut tulang-tulang itu.
“Bukankah ini tulang ikanku?” katanya dalam hati. Dengan sedih Bangun Hijau menatap tulang-tulang itu. Tulang-tulang itu disusunnya berurutan.
“Tak salah lagi, ikanku sebesar ini!”
“Pasti Ibu dan Bangun Merah telah mencuri dan memakannya!” Perasaan Bangun Hijau menjadi sedih mengingat ikan kesayangannya.
Tulang-tulang ikan itu segera diambil Bangun Hijau. Air matanya tak tertahan lagi. Bangun Hijau berlari ke luar rumah. Melihat Bangun Hijau lari, Bangun Merah segera mengikutinya. Bangun Hijau masuk ke dalam hutan.
“Tunggu…Bangun Hijau!” Teriak Bangun Merah. Namun, Bangun Hijau semakin jauh meninggalkannya, berlari kencang menuju bukit.
Tulang-tulang ikannya dikubur di atas bukit itu. Dengan buraian air mata, Bangun Hijau termenung-menung sambil menunggu kuburan tulang-tulang itu. Telah tujuh hari tujuh malam Bangun Hijau berada di tempat itu.
Ketika Bangun Hijau terbangun dari tidurnya, di tempat itu berdiri sebuah istana yang megah. Bangun Hijau terperangah melihat bangunan besar berdiri di hadapannya. Bangunan itu begitu tinggi menjulang ke langit.
“Tak salahkah pandangan mataku?” Bangun Hijau tidak yakin dengan penglihatannya.
“Tidak! Kamu tidak salah!” Tiba-tiba ada seorang pemuda tampan yang menjawab kebingungannya. Pemuda itu mengenakan pakaian kebesaran yang sewarna dengan ikan gabusnya. Pakaiannya bermotif sisik-sisik ikan.
Semakin pemuda tampan itu mendekat, Bangun Hijau semakin tercengang-cengang.
“Kau pasti anak raja!” Bangun Hijau menduga.
“Ya, kau telah menghidupkanku kembali. Aku lah ikan gabus yang telah kamu pelihara dulu!”
Akhirnya Bangun Hijau tinggal di istana itu bersama pangeran itu. Bangun Hijau menceritakan kesengsaraan hidupnya kepada pangeran tampan itu. Bangun Hijau tak pernah kembali ke rumahnya. Perlahan-lahan Bangun Hijau lupa dengan keluarganya.
* * *
Bangun Hijau telah berbulan-bulan tidak kembali ke rumah. Ayahnya diselimuti kecemasan. Setiap hari, laki-laki itu mencarinya ke desa-desa yang lain, menelusuri sepanjang sungai sampai ke dalam hutan tempat Bangun Hijau biasa mencari kayu. Namun,tak juga ditemukan.
Bangun Merah dan ibunya digelayuti perasaan bersalah karena telah mencuri dan memakan ikan gabus Bangun Hijau sehingga mengakibatkan Bangun Hijau kabur dari rumahnya.
Suatu hari, seorang pencari kayu tergopoh-gopoh mendatangi rumah Bangun Hijau. Sehari-harinya lelaki itu menebang dan mencari kayu di hutan. Buru-buru laki-laki itu melapor kepada ayah Bangun Hijau.
“Aku melihat anakmu, Bangun Hijau!”
“Di mana anakku?” tanya ayah Bangun Hijau dengan mata berbinar.
“Anakmu yang cantik itu sekarang tinggal di dalam hutan, jauh di ujung bukit sana. Tinggal di sebuah istana megah bersama seorang pangeran!” laki-laki itu menjelaskan.
“Oh, benarkah?”
“Ya, aku tidak berbohong. Aku sendiri melihatnya!” Seru laki-laki itu.
Saat itu juga ayah Bangun Hijau meninggalkan rumah. Dengan langkah tergesa-gesa berjalan menuju bukit di tengah hutan yang ditunjukkan tetangganya. Dengan air mata berlinang, Bangun Merah dan ibunya mengikuti langkah ayah Bangun Hijau.
Mereka bertiga telah jauh meninggalkan rumah. Sesampainya di hutan memang terlihat bangunan sebuah istana megah yang berdiri menjulang tinggi ke langit, melebihi pucuk-pucuk pepohonan yang tumbuh di bukit itu.
“Benar yang dikatakan orang itu, itulah istana tempat tinggal Bangun Hijau!” kata ayah Bangun Hijau sambil terus memacu langkah kakinya.
“Oh, Bangun Hijau!” Desah ibu Bangun Merah dengan suara lirih disertai titik air mata penyesalan. Sungguh menyesal dirinya telah menyakiti hati Bangun Hijau.
Mereka terus melangkah menyusuri jalan setapak menuju bukit. Suara gemerisisk daun-daun kering terinjak-injak kaki mengiringi sepanjang langkah mereka. Ketika naik ke dataran yang lebih tinggi, mereka tercengang-cengang karena istana megah di puncak bukit tidak terlihat lagi.
“Ayah, dimana istana Bangun Hijau?” Tanya Bangun Merah.
“Ya, dimana istananya?” Imbuh Ibu Bangun Merah.
“Barangkali terhalang pepohonan!” jawab Ayah Bangun Hijau tidak yakin.
Tanpa merasa letih mereka menapaki jalan ke atas bukit. Sesekali istana Bangun Hijau terlihat jelas, sesekali menghilang kemudian muncul lagi, seperti menggantung di awan, lalu menghilang, muncul kembali berselubung kabut tebal.
“Sebentar lagi kita sampai. Di sanalah kita akan bertemu Bangun Hijau dan sang pangeran!” kata ayah Bangun Hijau.
Istana Bangun Hijau semakin dekat, bangunan tinggi menjulang semakin jelas tertangkap mata. Ujung-ujung puncaknya bersentuhan dengan langit, taman-tamannya menggantung begitu indah menghiasi setiap jendela kaca.
“Alangkah indahnya istana Bangun Hijau!” Bangun Merah mengagumi istana yang berdiri tak jauh di atas mereka.
Mereka bertiga tinggal melintas satu putaran jalan setapak yang melingkari bukit. Bangunan istana itu seakan menanti-nanti kehadiran mereka. Mereka semakin cepat memacu langkah. Namun, alangkah terkejutnya ketika kaki mereka tiba menapak puncak bukit, tak ada sebuah bata pun di situ. Bangunan istana yang mereka lihat telah lenyap.
Mereka bertiga mencari-cari istana Bangun Hijau. Ayah Bangun Hijau berlari-lari, berkeliling puncak itu sambil berseru, berteriak-teriak memanggil nama anaknya.
Ibu Bangun Merah terpekur, menjatuhkan tubuhnya ke tanah di bawah sebuah pohon menyerupai sisik ikan. Perempuan itu menangis sejadi-jadinya, begitu pula dengan Bangun Merah.
Ayah Bangun Hijau berteriak seperti orang gila, “Anakku, Bangun Hijau …!”
Suaranya melolong-lolong, menyayat hati. Namun istana Bangun Hijau tak pernah muncul.
Sumber: https://aning99.wordpress.com/page/1/
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja
Jembatan Plunyon merupakan bagian dari wisata alam Plunyon-Kalikuning yang masuk kawasan TNGM (Taman Nasional Gunung Merapi) dan wisatanya dikelola Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) setempat, yaitu Kalikuning Park. Sargiman, salah seorang pengelola wisata alam Plunyon-Kalikuning, menjelaskan proses syuting KKN Desa Penari di Jembatan Plunyon berlangsung pada akhir 2019. Saat itu warga begitu penasaran meski syuting dilakukan secara tertutup. Jembatan Plunyon yang berada di Wisata Alam Plunyon-Kalikuning di Cangkringan, Kabupaten Sleman. Lokasi ini ramai setelah menjadi lokasi syuting film KKN Desa Penari. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan zoom-in-whitePerbesar Jembatan Plunyon yang berada di Wisata Alam Plunyon-Kalikuning di Cangkringan, Kabupaten Sleman. Lokasi ini ramai setelah menjadi lokasi syuting film KKN Desa Penari. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan "Syuting yang KKN itu kebetulan, kan, 3 hari, yang 1 hari karena gunungnya tidak tampak dibatalkan dan diu...